Debat Terakhir Capres 2024, Faisal Basri: Anti Klimaks, Semua Main Aman!

Debat Terakhir Capres 2024, Faisal Basri: Anti Klimaks, Semua Main Aman!

Jakarta – Debat kelima Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 telah diselenggarakan pada Minggu (4/2) kemarin. Debat tersebut adalah debat terakhir yang diadakan oleh Komisi Pemelihan Umum (KPU) dalam rangkaian kampanye menuju Pemilu 2024 tanggal 14 Februari mendatang. Debat calon presiden (capres) terakhir itu dinilai sebagai antiklimaks dari debat-debat capres dan cawapres sebelumnya.

Setidaknya, hal itulah yang digambarkan oleh ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Faisal H. Basri, saat menanggapi hasil debat capres kelima. Faisal berpandangan bahwa semua capres hanya bermain aman dalam debat tersebut.

“Debat kelima ini adalah anti-klimaks karena semua main aman. Semua sadar bahwa karakteristik psikologis orang Indonesia itu tak suka sama orang yang nyinyir seperti saya. Oleh karena itu, mereka menjaga agar tak terkesan nyinyir di debat,” ujarnya pada acara diskusi publik bertajuk ”Tanggapan Atas Debat Kelima Pilpres” yang diadakan INDEF di Jakarta, Senin, 5 Februari 2024.

Baca juga: Politik Praktis Pemilu 2024, Ikatan Dosen Muda Muhamadiyah: Kaum Cendikia Rentan Diperalat

“Kalau INDEF nyinyir terkait dengan public policy, tunjukkan data. Kerangka teorinya apa, rekomendasinya apa. Nah, mereka tidak melakukan itu semua karena mereka menghindar untuk menilai selama presidensi Jokowi itu sudah lurus atau melenceng, apa yang dilakukan Jokowi sudah benar atau salah. Nomor satu dan tiga itu tak secara lugas mengatakan Jokowi sesat,” tambahnya.

Padahal, ia katakan, dirinya sebagai perwakilan INDEF menilai bahwa Jokowi telah gagal selama menjalankan kepemimpinannya sebagai presiden. Ia memberikan contoh salah satunya adalah soal bantuan sosial atau bansos. Dana bansos, ia katakan, meningkat di era Jokowi dibandingkan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Bahkan, peningkatan dana bansos terjadi ketimbang di masa pandemi Covid-19. Peningkatan dana bansos itu diartikan, semakin banyak masyarakat yang beban hidupnya berat. Oleh karenanya, Jokowi gagal mensejahterakan rakyat Indonesia karena semakin banyak rakyat yang menerima bansos.

“Yang nganggur, yang di-PHK, yang gagal panen, yang produknya kurang, dan sebagainya. Gagal Jokowi. Terbukti dari orang yang rentan hidupnya itu tak turut tercermin dari dana bansos yang naik terus. Tidak ada yang berani bicarakan itu kemarin,” tegas Faisal.

Ia lebih lanjut menyatakan, debat terakhir kemarin hanya berfokus pada elektabilitas ketimbang substansi. Setiap paslon berfokus untuk mengamankan citranya di publik dan media sosial. Contoh berikutnya ialah di sektor kesehatan. Ia sampaikan bagaimana tak ada yang berani menyinggung soal tingkat harapan hidup masyarakat Indonesia yang berada pada urutan ke-10 dari 11 negara di ASEAN.

“Berdasarkan World Population Review, tingkat harapan hidup kita hanya lebih tinggi dari Myanmar. Itu Ganjar dan Anies pasti tahu bahwa angka harapan hidup itu turun karena dapat infonya satu paket itu, tapi tak disebut. Jadi, kita sudah 70 tahun, sekarang tinggal 67 tahun harapan hidupnya. Lebih tinggi Timor Leste,” papar Faisal.

Menurutnya, hasil dari pembangunan adalah meningkatkan kualitas hidup manusia, bukan sekadar berapa kilometer jalan yang dibangun. Hal ini berimbas pada usia manusia yang tambah panjang, yang berarti tambah sehat seseorang.

Sementara itu, terkait sektor pendidikan, ia sebut, tak ada salah satu capres di debat kelima yang berani menantang apakah program Merdeka Belajar di bawah presidensi Jokowi itu salah atau tidak. Ia ungkapkan bahwa hasil dari program Merdeka Belajar saat ini adalah angka skor matematika Indonesia turun, skor science turun, dan skor reading atau membaca turun.

Terkait bansos, ia ungkapkan, juga tak ada yang berani menyatakan bahwa kebijakan bansos akan dibuat sebagai sistem terpadu dalam pengelolaan ekonomi atau menjadi social safety net (jaring pengaman sosial), sehingga penerapan bansos tidak temporer hanya untuk pemilu semata.

“Kalau dia (Jokowi) menyalahgunakan APBN demi bansos, Pak Jokowi harus dimakzulkan besok. Kalau itu uang dari APBN, penyalahgunaan APBN, pemakzulan. Jadi, jangan menunggu sampai Oktober,” tegas ekonom senior itu.

Baca juga: Jelang Pemilu 2024, Bijak Memilih Ajak  Generasi Muda Kritis Tentukan Pilihan

Tak ketinggalan, ia sedikit menyinggung capres dari paslon nomor urut dua, Prabowo Subianto, terkait pendirian pabrik handphone nasional yang disinggung Prabowo dalam debat kemarin. Menurutnya, hal itu tak masuk akal mengingat semua perangkat handphone, entah itu chip maupun layar, adalah produk impor dari luar.

“Jadi kembali ke perspektif ekonomi, norak benget kita bikin pabrik handphone di Indonesia, tapi 99 persen impor. Chip-nya dari mana, layarnya dari mana, Tiongkok aja tidak punya, apalagi Indonesia. Chip-nya dari Taiwan, layar dari Korea. Anda lebih suka pakai Samsung Galaxy kan. Nah, lebih mahal karena barang-barang-nya semua impor. Ini tidak dikritik oleh capres lain. Pokoknya hilirisasi, padahal hilirisasi itu konsep yang sesat,” cetusnya. Steven Widjaja

Related Posts

News Update

Top News