Oleh Wibowo dan Paul Sutaryono
Penulis adalah Dosen Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) dan Staf Ahli Pusat Studi Bisnis (PSB) Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), Jakarta.
PADA 14 Februari 2024, Indonesia akan melaksanakan pesta demokrasi melalui pemilihan umum (pemilu) yang luber-jurdil alias langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pada debat calon presiden (capres) pada 7 Januari 2024, tiap Tim Pemenangan Nasional (TPN) Pemilu sungguh-sungguh diuji sejauh mana mampu menyiapkan data dan informasi yang akurat. Data dan informasi itu sebagai peluru tajam untuk menyerang (balik), menangkis dan mempertahankan pendapat capres di medan laga! Bagaimana membentuk TPN Pemilu yang unggul?
TPN Pemilu terdiri dari beberapa orang yang mempunyai kompetensi, pengalaman dan keahlian untuk memenangkan persaingan dalam meraih calon pemilih sebanyak mungkin. Lingkungan strategis yang dihadapi selalu bergerak dinamis. Oleh karena itu, persaingan semakin sengit dan ketat. Dengan bahasa lebih bening, setiap TPN Pemilu harus mampu menjaga keunggulan kompetitif (competitive advantage).
Apa itu keunggulan kompetitif? Keunggulan kompetitif merujuk pada kualitas dan atribut yang membedakan dan mengungguli pesaing-pesaingnya. Ebert dan Griffin (2019) membedakan bentuk keunggulan kompetitif (competitive advantage) dalam keunggulan absolut (absolute advantage) dan keunggulan komparatif (comparative advantage). Keunggulan absolut merupakan kemampuan untuk menghasilkan sesuatu secara lebih efisien daripada para pesaingnya.
Sementara itu dalam suatu perusahaan, keunggulan komparatif adalah kemampuan perusahaan untuk menghasilkan beberapa produk secara lebih efisien daripada produk lainnya. Suatu perusahaan mempunyai keunggulan komparatif dalam barang yang dapat dihasilkan secara lebih efisien atau lebih baik daripada perusahaan lain.
Baca juga: Peneliti Tegaskan Capres dan Cawapres Perlu Dalami Isu Ekonomi Syariah
Membangun Tim yang Unggul
Tampak jelas pada debat capres ketiga tersebut terdapat TPN Pemilu yang bisa dianggap kurang matang dalam menyiapkan data dan atau informasi yang tepat. Konsekuensi logisnya, capres yang diusung menjadi kurang trengginas dalam menepis data para pesaingnya.
Padahal manakala TPN Pemilu yang bersangkutan telah menyiapkan data dan informasi dengan baik dan benar, sang capres akan begitu mudah dalam menangkis serangan yang beruntun. Namun masih ada kesempatan emas lainnya yang harus dimanfaatkan seefektif mungkin karena keterbatasan waktu debat.
Sesungguhnya, apa efek debat bagi terhadap pilihan seseorang? Riset Geer (1988) misalnya, menunjukkan bahwa debat dapat memengaruhi seseorang yang belum menentukan pilihan (undecided voters) dan yang mempunyai ikatan yang lemah kepada kandidat. Sementara Holbert (2005) berargumen bahwa debat hanya mempunyai efek yang minimal dalam mengubah pilihan seseorang dalam pemilu.
Cantu dan Carreras (2023) menunjukkan temuan lain bahwa efek debat akan berpengaruh dan punya peran penting dalam memengaruhi pilihan seseorang pada negara-negara dengan sistem kepartaian yang lemah seperti rendahnya kedekatan pemilih dengan partai dan tidak terlembaganya partai politik. Kesimpulan tersebut diambil dari analisis pada level agregat 32 pemilu di 14 negara Amerika Latin dari 2002 sampai 2019 (Arya Fernandes, Kompas, 5 Januari 2024).
Masalahnya, sekali lagi bagaimana langkah strategis dalam menyusun sebuah tim yang unggul? Untuk mengembangkan kinerja tinggi kebanyakan organisasi membangun tim. Tim terdiri dari sekelompok orang yang bekerja bersama untuk mencapai tujuan bersama.
Ada beberapa pilihan tipe tim yang dapat dikembangkan berdasarkan pada pendapat beberapa ahli. Colquitt, LePine dan Wesson (2011) mengelompokkan tim dalam Tim Kerja (Work Teams), Tim Manajemen (Management Teams), Tim Paralel (Parallel Teams) dan Tim Aksi (Action Teams).
Menurut Kreitner dan Kinicki (2010) terdapat Tim Virtual (Virtual Teams) dan Tim Dikelola Sendiri (Self-managed Teams). Robbins dan Judge (2010) mengemukakan tipe tim sebagai Tim Pemecahan Masalah (Problem Solving Team), Tim Dikelola Sendiri (Self-managed Team), Tim Lintas Fungsi (Cross-Functional Team) dan Tim Virtual (Virtual Team).
Masing-masing tim berbeda dan menghadapi tantangan yang berbeda pula. Tipe tim manapun akan menghadapi harapan tinggi dan merasakan tekanan rencana dan di atas semuanya adalah bagaimana mampu mengeksekusi rencana dengan jitu atau tepat sasaran.
Para pemimpin memahami betapa sulit menjalankan sebuah tim. Dengan demikian, mereka merasakan beban berat di pundak mereka. Oleh karena itu, mereka perlu berpikir untuk mencari cara yang lebih baik.
Baca juga: INDEF: 3 Capres-Cawapres Masih ‘Cuek’ Terhadap Pasar Modal Syariah Indonesia
Model Pengembangan Tim Lima Tahap
Paul Gustavson dan Stewart Liff (2014) dalam bukunya “A Team of Leaders” merekomendasikan Model Pengembangan Tim Lima Tahap (The Five-Stage Team Development Model). Model ini mengidentifikasi adanya lima tahapan dalam pengembangan tim.
Pada tahap pertama, merupakan cara yang sekarang kebanyakan unit atau tim bekerja. Team leader berinteraksi dengan masing-masing anggota tim, satu per satu. Tim pada hakikatnya mulai ketika setiap keputusan dilakukan supervisor atau team leader.
Team leader harus lebih banyak terlibat dari sebelumnya untuk memastikan bahwa orang memahami bagaimana tim berkembang, menunjukkan bidang ketidakpastian dan menghadapi masalah yang tidak dapat ditangani tim.
Pada tahap kedua, secara perlahan tim akan menjadi kurang fokus pada pemimpin. Tim akan mulai berjuang dengan apa yang menjadi tujuan dan sasaran dan berusaha memastikan bahwa setiap orang adalah sama. Transisi ini biasanya tidak akan terjadi secepat yang diinginkan.
Team leader tetap harus melakukan banyak koordinasi dan mentoring. Team leader mulai secara pelan-pelan meninggalkan kewenangan penuh.
Pada tahap ketiga, sambil merasa “frustasi”, anggota mulai belajar peran mereka dan secara bersama. Gambaran besar mulai menjadi lebih jelas bagi tim dan anggotanya dan beberapa individu bahkan akan melangkah dan menjalankan serta mengatasi beberapa keterbatasan.
Selanjutnya, tim masih fokus pada kinerja. Supervisor akan tetap terlibat membantu menyelesaikan tantangan, karena anggota tim biasanya tidak tahu apa yang harus dilakukan dan tidak nyaman dengan konflik.
Pada tahap keempat, tim benar benar mulai bergaung. Kebanyakan anggota tim dapat melangkah ke atas dan memimpin paling tidak dalam satu bidang spesifik. Tingkat keterlibatan dan keterikatan juga meningkat dan tim akan bertanggung jawab pada semua proses dan prosedur. Mereka bekerja terutama dalam bidang pemecahan masalah (problem solving) dan resolusi konflik (conflict resolution).
Pada tahap kelima, tim akan mengelola diri sendiri. Setiap orang akan terlibat dalam manajemen tim. Anggota tim individual tidak lagi menjadi pengikut. Mereka hanya akan menerima kinerja unggul dan melampaui. Akhirnya, tingkat enerji tim luar biasa tinggi karena anggota akan mengetahui apa yang perlu mereka lakukan. Mereka akan berkomitmen melakukannya dan akan bekerja bersama mengusahakan kinerja terbaik.
Semua perubahan akan memungkinkan team leader untuk memfokus sesuatu yang lain disamping kinerja tim. Sekarang leader semakin menjadi anggota kurang penting dari tim dan bebas bekerja pada masalah yang lebih besar seperti analisis, perencanaan dan masalah lintas fungsi.
Pada tahap kelima itu, ketika setiap orang adalah leader, perannya sangat berbeda. Orang tidak lagi sebagai pekerja, mereka semua secara aktif dalam setiap aspek operasi tim.
Paul Gustavson dan Stewart Liff berkesimpulan bahwa sebaiknya setiap organisasi sampai pada tahap kelima. Ketika setiap anggota dapat menjadi team leader sehingga menjadi tim berkinerja tinggi.
Baca juga: Target Pertumbuhan Ekonomi para Capres Dinilai Terlalu Optimistis
Pendapat tersebut sejalan dengan gagasan Gary Hamel dan Bill Green (2007) bahwa pada pasar makanan skala besar, pekerja paling depan (frontliner) yang menentukan apa yang harus dijual sedangkan tim yang menentukan penerimaan pekerja.
Di pasar semacam itu, sebagai dasar unit organisasi bukan tokonya, melainkan timnya. Intinya, masing-masing tim bekerja seperti pusat keuntungan (profit center) dan diukur menurut produktivitas pekerja.
Sedang dalam perusahaan yang dipimpin oleh Bill Gore tidak ada orang menggunakan kata boss, executive, manager atau vice president. Meskipun tidak ada peringkat atau jabatan, beberapa rekan kerja mempunyai panggilan sederhana leader. Sebagai catatan pinggir, Bill Gore (1912-1986) adalah seorang pengusaha di AS yang ikut mendirikan WL Gore and Associates bersama istrinya Genevieve.
Senior leader tidak menunjuk junior leader. Tidak ada leader ditunjuk dari atas, tetapi anggota tim memilih leader-nya sendiri. Rekan kerja menjadi leader ketika rekan kerjanya mempertimbangkan bahwa dia memiliki kemampuan dan layak menjalankan peran tersebut. Menurut Hamel, redistribusi kekuasaan merupakan satu sarana utama untuk membuat organisasi lebih adaptif, inovatif dan sangat menjanjikan.
Sungguh, tidak dapat disangkal bahwa debat calon presiden dan atau wakil presiden merupakan salah satu batu ujian yang sangat penting bagi TPN Pemilu dari masing-masing pasangan calon presiden dan wakil presiden. Oleh karena itu, TPN Pemilu menjadi pilar yang sentral dan strategis dalam memenangi pemilu! Semoga tulisan sederhana itu menginspirasi TPN Pemilu supaya mampu berupaya dengan lebih gesit lagi! (*)