Jakarta – Sembilan pemimpin bisnis senior menceritakan pengalamannya dalam menyelesaikan krisis di perusahaan di buku The Art of Leadership in Crisis yang ditulis Karnoto Mohamad. Mereka adalah Mochtar Riady (memimpin BCA pada 1975), Dahlan Iskan (memimpin Jawa Pos pada 1982), Mu’min Ali Gunawan (memimpin PaninBank pada 1998), dan Djohan Emir Setijoso (memimpin BCA pada 1999).
Kemudian, Agus Martowardojo (memimpin krisis di Bank Mandiri pada 2005), Batara Sianturi (memimpin Citi Hungaria pada 2008), Elia Massa Manik (memimpin Elnusa pada 2011), Tigor Siahaan (memimpin Bank CIMB Niaga pada 2016), dan Ridha Wirakusumah (memimpin PermataBank pada 2017).
Salah satu yang menarik dari isi buku ini adalah sepak terjang Elia Massa Manik yang ibarat memiliki “tangan midas” dalam memperbaiki perusahaan yang bermasalah. Dengan filosofi kepemimpinannya speed, gut, and knowledge, Massa Manik berhasil menyelesaikan krisis di Elnusa pada 2011 dan PTPN III pada 2016, namun hanya setahun memimpin Pertamina karena diberhentikan di tengah jalan.
Di bawah kepemimpinannya pada April 2016-2017, PTPN III yang mengelola 14 perusahaan perkebunan negara berhasil melakukan restruktusasi manajemen dan utang. Direksi PTPN yang masing-masing memiliki empat sampai lima direktur dipangkas menjadi tiga orang.
Baca juga: Top 100 CEO 2023: Infobank Berikan Penghargaan Kepada 100 CEO Terbaik di Sektor Keuangan dan BUMN
Kemudian total utang PTPN Group yang totalnya Rp15 triliun, berhasil direstrukturisasi sebesar Rp9,9 triliun. Kerugian yang dialami PTPN III secara berturut-turut sebesar Rp613,26 pada 2015 dan Rp1,38 triliun pada 2016 berhasil dihentikan. Pada 2017, PTPN III meraih mencetak untung Rp736 miliar.
Meskipun bukan berlatar belakang sebagai bankir, dia juga pernah diminta manajemen Bank Negara Indonesia untuk menangani kredit macet pada Agustus 2015 hingga April 2016. Dengan proses pengambilan keputusan yang cepat, tim yang mobile tersebut menjemput persoalan di 32 wilayah BNI. Hanya dalam sembilan bulan, bisa berhasil menghidupkan Rp16 triliun kredit bermasalah.
Yang paling fenomenal adalah ketika Massa Manik berhasil membuat turnaround di Elnusa, perusahaan raksasa jasa energi nasional yang pada 2011 dalam kondisi setengah karam karena dari sisi keuangan maupun operasional sudah negatif.
Massa berhasil mengatasi Elnusa yang didera arus kas negatif dan melepaskan Elnusa dari bekapan utang jumbo dengan bunga mencekik. Dalam waktu setahun, di bawah kepemimpinannya, likuiditas Elnusa meningkat sehingga memiliki dana hingga Rp1 triliun untuk diinvestasikan.
Namun, Pertamina bukanlah Elnusa atau PTPN III, yang saat mulai dinahkodai Massa Manik sedang dilanda krisis keuangan. Kendati sama-sama badan usaha milik negara (BUMN), kalau perusahaan dalam kondisi krisis, seorang CEO biasanya lebih bisa bekerja dengan authority penuh. Tidak akan ada yang mengganggu dan pemegang saham menyerahkan seluruhnya cara penyelesaiannya kepadanya.
Di perusahaan BUMN yang sedang krisis, partai politik juga malu meminta kue Corporate Social Responsibility (CSR). Begitu juga orang yang mencari kedudukan sebagai direksi atau komisaris, tidaklah tertarik. Perusahaan krisis pastinya menuntut kerja keras, dedikasi, dan pengorbanan.
Sebagai CEO, Massa Manik selalu berani memperjuangkan apa yang diyakininya benar untuk kepentingan lembaga yang dipimpinnya. Karena banyak silang pendapat antaranya dirinya dengan pemerintah, Massa Manik pun tahu akan dicopot.
Baca juga: Cerita Dirut Jasa Raharja Bantu Bank Bukopin Lewati Krisis
Pada 20 April 2018, pemerintah memberhentikan Massa Manik dari kursi direktur utama Pertamina, bersama empat direksi lainnya. Sepanjang tahun 2018, laba Pertamina merosot 60 persen, dari Rp34,16 triliun menjadi Rp13,70 triliun. Penurunan kinerja yang pasti sudah diprediksi Massa Manik karena Pertamina harus menalangi biaya untuk menjual BBM di bawah harga ekonomis menjelang tahun politik 2019.
Sebagai pemimpin bisnis, orientasi Massa Manik adalah fundamental perusahaan. Kinerja keuangan yang dihasilkan merupakan indikator paling obyektif untuk menunjukkan seorang CEO berhasil atau tidak. Karena itu Massa Manik menolak menjadi “petugas” negara dan mengorbankan fundamental perusahaan yang dipimpinnya.
Terbiasa bekerja cepat dan efektif, dia merasa telah membuang-buang banyak waktu ketika harus melakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan DPR sebanyak 37 kali dalam 13 bulan memimpin Pertamina. Elia Massa Manik is a corporate leader. (Redaksi)