Sri Mulyani Restui Suntik Mati PLTU Batu Bara Pakai APBN, Ekonom Celios: Jangan Jadi Beban Utang Baru

Sri Mulyani Restui Suntik Mati PLTU Batu Bara Pakai APBN, Ekonom Celios: Jangan Jadi Beban Utang Baru

Jakarta – Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira angkat suara perihal kebijakan pemerintah dalam pembiayaan program transmisi energi menggunakan anggaran pendapatan belanja negara (APBN).

Sebelumnya, Sri Mulyani telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 103 Tahun 2023 tentang Pemberian Dukungan Fiskal Melalui Kerangka Pendanaan dan Pembiayaan dalam Rangka Percepatan Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan.

Beleid yang diteken pada 4 Oktober 2023 itu merestui pembiayaan pensiun dini PLTU batu bara mempergunakan anggaran negara. 

Baca juga: Bos OJK Incar 99 PLTU Berbasis Batu Bara Ikut Perdagangan Bursa Karbon

Ia mengatakan, hadirnya regulasi teknis cukup penting dalam mengakomodir dukungan pendanaan APBN dalam percepatan penutupan PLTU batubara. 

“Selama ini komitmen untuk mempercepat penutupan PLTU batubara sering terhalang oleh kecilnya mobilisasi dana domestik terutama dari APBN,” kata Bhima dalam keterangan resmi, dikutip Jumat (20/10).

Menurutnya, bentuk dukungan dari APBN ini dapat berbentuk pengalihan subsidi energi berbahan bakar fosil kepada program penutupan PLTU batubara PLN. 

Asumsinya,  satu PLTU batubara dengan kapasitas setara PLTU Cirebon-1 membutuhkan dana Rp13,4 triliun untuk pensiun dini. Maka, penghematan belanja subsidi energi senilai 28% dari alokasi subsidi energi APBN 2024 sebesar Rp189 triliun menghasilkan penutupan 4 PLTU batubara. 

“Penghematan subsidi energi tentu tidak selalu berbentuk kenaikan harga atau pengurangan kuota bagi konsumen. Salah satunya bisa berbentuk menutup kebocoran BBM solar, dan kebocoran subsidi LPG3kg yang selama ini terjadi,” jelasnya.

Lebih lanjut kata dia, ada cara lain yang dapat dipakai untuk mendapatkan sumber pendapatan transisi energi, salah satunya dengan pajak karbon.

“Regulasi pajak karbon sudah ada, jadi tinggal di eksekusi secepatnya,” jelasnya.

Di samping itu, pemerintah bisa mengurangi berbagai insentif perpajakan dari sektor berbasis fosil sehingga tercipta ruang fiskal yang lebih lebar untuk pendanaan transisi energi. 

Pemerintah perlu memastikan agar proses pendanaan dari dana publik -APBN bersifat transparan dan partisipatif. Misalnya untuk pendanaan early retirement dari PLTU batubara juga memasukkan dana kompensasi kepada masyarakat sekitar dan pekerja yang terdampak. 

Baca juga: Waduh! 2 PLTU Beraset Rp25 Triliun Bakal Disuntik Mati Pemerintah

Bentuk dana kompensasi bisa berupa dana tunai kepada masyarakat, tambahan dana ke BPJS Ketenagakerjaan, dan reskilling atau peningkatan skill dari pekerja existing. 

Pihaknya menegaskan, seluruh bentuk pendanaan dalam transisi energi perlu dipastikan tidak menciptakan beban utang baru, di saat rasio pembayaran bunga dan pokok utang di 2024 mencapai lebih dari 42% dari total pendapatan negara. 

“Jangan ada persepsi transisi energi artinya meminjam utang lebih banyak, karena akan mendapatkan resistensi dari pembayar pajak,” pungkasnya. (*)

Editor: Galih Pratama

Related Posts

News Update

Top News