Jakarta – Pengalaman kurang menyenangkan dialami oleh penumpang sebuah maskapai penerbangan di Tanah Air saat melakukan perjalanan dari Jakarta – Kuala Lumpur – Pekanbaru.
Di mana, ia mengaku bahwa barang bawaan yang dibawanya terlantar di bandara lantaran tidak tertangani oleh pihak maskapai penerbangan. Seperti apa kisah yang dialami oleh Muhammad Reza Wijaya, warga Bekasi, Jawa Barat?
Melansir dari laman mediakonsumen, Jumat (6/10), berikut kronologis kejadiannya.
Terima kasih kepada Media Konsumen yang telah memberi ruang agar saya dapat bersuara. Baru-baru ini, saya mengalami kejadian yang sangat mengecewakan.
Super Air Jet (selanjutnya SAJ), maskapai yang lumayan sering saya gunakan untuk ke sekian kalinya mengecewakan saya. Walau dengan embel-embel “maskapai millennial”, saya sebagai millennial akan mengutarakan kekecewaan dan kekesalan saya dalam tulisan ini.
Saya pernah mengalami hal buruk bersama SAJ tahun lalu, yaitu delay 3 jam dan mengudara 1 jam lebih lama dari seharusnya, serta menahan penumpang 45 menit dalam pesawat dengan alasan tangga sedang digunakan di T3 SHIA di waktu bersamaan. Namun hal yang baru saya alami ini yang terparah.
Nama saya Muhammad Reza Wijaya. Saya tidak akan menuliskan PNR (kode booking) di sini dengan alasan keamanan data. Saya melakukan perjalanan dari Jakarta – Kuala Lumpur – Pekanbaru dengan waktu layover 1 malam dan terbang dari CGK tanggal 29 September 2023.
Saya melakukan hal tersebut agar saya bisa jalan-jalan di Kuala Lumpur (KL) dengan harga tiket direct yang sama harganya. Penerbangan ke KL menggunakan maskapai lain, dengan bagasi 18 Kg + kardus yang saya modifikasi sesuai maksimal kabin dan saya melewatinya tanpa masalah.
Namun saat saya akan check in penerbangan, check in saya ditolak, sehingga mengharuskan saya untuk berangkat ke bandara lebih awal dikarenakan saya tidak dapat memilih kursi.
Setibanya di bandara Kuala Lumpur International Airport (KLIA), saya check in dan meminta kursi terdepan dan jendela jika ada, dan akhirnya diberi 1F. Namun memasuki ruang tunggu, tiba-tiba notifikasi tiket saya muncul tulisan “change seat“, sehingga petugas pun meminta boarding pass saya dan memindahkan saya ke kursi 11F.
Perlu diketahui, sistem KLIA dan bandara di Indonesia berbeda. Jika di Indonesia, perobekan tiket dilakukan sebelum memasuki pesawat, sementara di KLIA perobekan tiket dilakukan sebelum memasuki ruang tunggu dan masuk pesawat tanpa pengecekan tiket.
Kembali lagi ke cerita, saat itu saya menenteng kardus yang sudah saya modifikasi tersebut dan mereka mencegat saya. Alasannya? Penerbangan pada saat itu dikatakan full (meskipun row saya duduk kosong) dan untuk pencegahan agar penumpang lain mendapatkan tempat kompartemen kabin.
Setelah negosiasi sedikit, akhirnya saya diizinkan untuk membawanya asal kru pesawat mengizinkan. Namun selang beberapa saat saya sudah masuk ke ruang tunggu, saya dicari oleh petugas yang sama. Saya diminta ke pintu ruang tunggu, tempat saya scan dan perobekan tiket dan diminta membawa kardus tersebut.
Di sana, saya dipaksa agar memasuki kardus tersebut ke dalam bagasi. Awalnya mereka membuat saya bingung, karena isinya adalah peralatan yang akan saya gunakan untuk lomba di Pekanbaru (PKU) dan sangat rapuh (fragile).
Lalu oleh petugas yang lainnya dijanjikan akan diberi stiker fragile dan diletakkan di cargo paling depan (di bawah kokpit). Karena merasa teryakinkan, akhirnya saya iyakan saja.
Penerbangan yang seharusnya 14.40 sudah boarding, ternyata tidak kunjung dipanggil. Saya cek di aplikasi flightradar24, ternyata pesawat dari PKU belum mendarat dan masih berada di sekitar langit Shah Alam.
Setelah saya lihat flightradar24, barulah diumumkan pesawat delay hingga 15.30 waktu Malaysia, tanpa adanya kompensasi apa pun. Penerbangan pun baru take off sekitar menjelang pukul 17 waktu Malaysia. Tiba di PKU pada pukul yang sama.
Saat di conveyor, saya kaget karena barang saya terakhir keluar dan dari 3 yang di bagasi, hanya 2 yang keluar. Saya pun langsung spanning karena di dalam kardus itu terdapat barang untuk keperluan lomba. Saya coba tanya customs, di dalam pesawat sudah tidak ada.
Lalu, saya pergi ke area informasi bandara dan diarahkan ke check in. Namun lucunya, area check in “Super Group” (SAJ) maupun Lion Group (Lion, Wings dan Batik) tidak ada counter check in yang buka, meskipun masih ada penerbangan beberapa jam kemudian.
Lalu saya tanya ke ruang konsiliasi bagasi, diminta untuk ke counter yang ada orang menggunakan lanyard SAJ sibuk menghitung uang. Saya tanya, tetapi ia tak mau membantu ataupun bertanggung jawab. Parahnya sempat mengatakan “Bukan tanggung jawab saya”.
Lalu pergilah saya ke area customer service di lantai bawah keberangkatan dan lucunya, counter yang buka hanya Garuda Indonesia. Lion Air, Batik, Wings maupun SAJ pun tidak ada tanda-tanda orang (lampu mati dan tutup).
Akhirnya saya ke kedatangan domestik dan menanyai apakah barang saya ada di sana apa tidak. Saya dibantu oleh petugas bandara dan bukan pihak maskapai.
Petugas bandara PKU dapat kontak WA pihak SAJ di KLIA. Parahnya, terinfo bahwa barang saya tergeletak begitu saya di KLIA dan tali yang saya lilitkan untuk membawa kardus pun hilang.
Walaupun barang saya baru tiba di tanggal 1 Oktober (sehari setelah saya tiba) berkat bantuan petugas bandara PKU, saya sudah merasa maskapai ini sudah keterlaluan.
Saya sempat cari nomor telepon CS, tapi dialihkan ke WA. Padahal, kardus tersebut tidak memiliki nomor bagasi yang dimasukkan ke sistem (mereka menulisnya menggunakan spidol pada label panjang putih kosong). Sehingga saya tidak bisa berbuat apa-apa, selain berharap ke petugas bandara PKU.
Bagi SAJ, tolong agar kru kalian dilatih untuk serius dalam bekerja. Saya sangat kecewa dengan kejadian yang alami dan hampir merugikan saya karena isi dari kardus tersebut adalah peralatan kompetisi saya.
Tidak hanya itu, tolong agar bertanggungjawab, bukan asal lepas tangan pesawat take off, petugas maskapai menghilang begitu saja. Jujur, kemungkinan saya menggunakan SAJ ke depan semakin kecil.
Sekian surat “cinta” saya terhadap Super Air Jet, maskapai yang mengklaim “millennial”.
Muhammad Reza Wijaya
Bekasi, Jawa Barat