Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat, ada 34 bank yang masih memiliki rasio LFR (Loan to Funding Ratio) dibawah 78%. Padahal ketentuan dari bank sentral sendiri berada pada rentang 78%-92%.
Adapun 34 bank tersebut terdiri dari bank pembangunan daerah (BPD), bank asing dan bank swasta. Atas dasar itu, BI membuat kebijakan dengan menaikan batas bawah rasio kredit terhadap pendanaan atau LFR ini menjadi 80%.
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Filianingsih Hendarta mengatakan, berdasarkan data yang dimiliki BI, ke-34 bank tersebut masih sangat minim dalam penyaluran kredit. Padahal, bank-bank ini memiliki likuiditas yang cukup longgar.
“Artinya bank-bank itu memiliki space (ruang) untuk naikkan kreditnya. Makanya kita ingin dorong itu. Kami mencatat ada 34 bank yang memiliki rasio LFR di bawah 78%,” ujar Filianingsih di Gedung BI, Jakarta, Selasa, 22 Juni 2016.
Menurutnya, bank-bank yang memiliki likuiditas longgar dan malas menyalurkan kreditnya, rata-rata pertumbuhan kreditnya hanya sebesar 6% per April 2016 kemarin. Oleh sebab itu, BI berharap dengan ketentuan LFR ini, bank-bank itu bisa giat menyalurkan kreditnya.
“Sehingga, pertumbuhan kredit ini, nantinya akan membantu pertumbuhan ekonomi kita ke depannya. Inikan kebijakan makroprudensial,” tukasnya.
Dia menilai, bank-bank tersebut masih memiliki ruang untuk menyalurkan kreditnya lebih deras lagi. Hal ini tercermin pada himpunan dana pihak ketiga (DPK) yang masih tinggi. Selain itu rasio return on asset (ROA) dan rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) yang masih dalam batas normal.
Namun demikian, kata dia, BI mencatat masih ada bank yang rajin dalam menyalurkan kreditnya. Menurutnya, ada 40 bank yang memiliki rasio LFR sesuai dengan ketentuan yakni 78%-92%. Selain itu ada 32 bank yang mencatat rasio LFR di atas 92%. Bank-bank ini mencatat pertumbuhan kreditnya minimal 10%.
Sebagai informasi, pada Agustus 2016 nanti, BI akan menaikkan batas bawah LFR tersebut dari 78% menjadi 80%. Sedangkan batas atas tetap dipertahankan di level 92% untuk menjaga prinsip kehati-hatian pengelolaan likuiditas bank. Kebijakan ini tidak lepas dari lambatnya pertumbuhan kredit.
Oleh sebab itu dia mengingatkan, bahwa selain mencari keuntungan, bank juga harus dapat menjalankan fungsi intermediasinya, dengan menyerap dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya menjadi kredit. (*)