Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group
SEJUMLAH gubernur dan kepala daerah akan berhenti serentak dalam hitungan hari ke depan. Itu karena akan dilakukan Pemilihan Umum (Pemilu) serentak untuk Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR/DPRD), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan kepala daerah seperti gubernur dan bupati. Pejabat (Pj) kepala daerah akan ditunjuk untuk masa sampai terpilihnya kepala daerah hasil Pemilu 2024.
Namun demikian, penunjukan Pj gubernur ini jangan sampai menimbulkan abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan – yang sering terjadi dalam praktik pemerintah daerah. Misalnya, tanpa sebab yang jelas, Pj gubernur mengganti dan memutasi pejabat ASN, dan bahkan mengganti direksi dan komisaris BPD sesuka hatinya. Bahkan, juga memerintahkan pengalihan dana kas daerah ke luar dari BPD yang notabene milik pemerintah daerah.
Penunjukan kepala daerah ini untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur – maka diangkatlah pejabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai pelantikan gubernur sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Dan, seperti pasal 174, ayat (7), UU Nomor 10/2016, ”Dalam hal sisa masa jabatan kurang dari 18 (delapan belas) bulan, Presiden menetapkan Gubernur dan Menteri menetapkan pejabat Bupati/Wali Kota”.
Apa kaitannya dengan direksi bank-bank pembangunan daerah (BPD)? Selama ini, tidak semua daerah, tapi hari-hari ini sudah menjadi semacam tren, ganti gubernur ganti direksi BPD-BPD. Hal ini sudah seperti “pampasan” perang. Kalau sudah jadi kepala daerah, yang dilakukan adalah mengganti posisi direksi BPD dan tentunya posisi dirut. Juga, sekalian komisaris.
Baca juga: Please! OJK Harus Menjadi Benteng GCG dari “Kesewenang-Wenangan” Pemegang Saham BPD
Menurut catatan Infobank Institute, tidak sedikit direksi BPD diberhentikan di sisa masa jabatan. Tidak peduli kinerja BPD-nya bagus atau tidak bagus. Semua harus tunduk kepada shareholder atau Pemegang Saham Pengendali (PSP) – yang sebagian besar adalah gubernur. Bahkan, ada beberapa BPD yang tidak punya dirut, seperti Bank Kalteng sudah dua tahun tak punya dirut, dan Bank Papua yang masih status Pjs dirut.
Lebih dari itu, beberapa direksi juga dicopot di tengah jalan. Itu adalah hak dari pemegang saham. Namun, dalam konteks yang lebih luas, pergantian yang tidak didasarkan pada tata kelola yang baik, akan menempatkan BPD pada komoditas “mainan” kepala daerah. Padahal, BPD adalah institusi bisnis yang hidup secara terus-menerus. Sedangkan kepala daerah hanya sementara, dan maksimal 10 tahun.
Pemerintah daerah tidak hanya punya BPD, tapi juga perusahaan daerah (PD), seperti PDAM atau percetakan dan perusahaan lain, seperti apotek. Jujur, hanya BPD yang menghasilkan sumbangan pendapatan asli daerah (PAD) yang besar. Sementara, perusahaan daerah tidak banyak yang untung, bahkan tidak sedikit yang babak belur alias rugi.
Entah karena BPD penghasil PAD terbesar maka diperlakukan seperti “harta” peninggalan Nabi Sulaiman. Tidak hanya oleh kepada daerah, tapi yang paling bikin sakit kepala adalah oleh tim sukses dengan dalih program “CSR” yang terkadang tidak masuk akal dan lebih untuk balas budi setelah Pemilu.
Kembali pada masalah ganti kepala daerah ganti direksi BPD. Jangan sampai Pj gubernur yang hanya berkuasa dalam hitungan bulan ini ke depan melakukan “praktik-praktik” yang tidak sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG), yaitu dengan main ganti saja para direksi yang tidak sesuai dengan “pembisiknya”.
Nah, di BPD itu “pembisik” banyak. Bisa jadi juga dalam satu tim direksi dan lebih banyak dari karyawan di bawahnya menjadi pembisik – apalagi yang merasa dekat dengan Pj gubernur. Bahkan, lebih ngeri lagi, pembisiknya “debitur” yang dekat dengan kepala daerah.
Problem BPD adalah shareholder. Sudah waktunya tidak lagi bicara soal shareholder, tapi stakeholder. Jadi, tidak melulu pemegang saham, tapi juga kepentingan pemerintah, nasabah, karyawan, dan keberlanjutan BPD ke depan. Jangan main jangka pendek. Bisnis bank adalah bisnis maraton, berjangka panjang. Dan, bisnis bank penuh risiko yang selalu dikalkulasi dan jangan diintervensi tergantung selera jangka pendek para Pj Gubernur ini.
Sudah seharusnya para Pj gubernur ini tidak diberi kekuasaan untuk mengganti direksi BPD di tengah jalan. Selama ini dasar pergantian tidaklah jelas dan subjektif. Jangan sampai para pembisik Pj gubernur ini agenda pertamanya mengganti direksi dan komisaris BPD. Pergantian mendadak direksi dan komisaris BPD yang dilakukan selama ini lebih banyak karena faktor subjektif. Soal selera dan kepentingan politik. Tidak ada yang menyangkut persoalan hukum.
Untuk itulah, pihak Kemendagri dan tentu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dapat menjadi benteng bagi para direksi dan komisaris BPD. Tidak hanya main ganti dengan alasan yang dicari-cari. Sepanjang tidak ada masalah integritas, dan hukum yang sudah terbukti, pergantian direksi dan komisaris BPD oleh Pj gubernur harus dihentikan. Apalagi, BPD-nya berkinerja “sangat bagus”, sesuai dengan key performance indicator (KPI) yang sudah ditargetkan.
Jujur, harus diakui, BPD merupakan BUMD yang relatif sehat, karena bisa jadi diawasi oleh OJK dan Bank Indonesia (BI). Banyak aturan yang mengatur dan mengawasi jalannya bank. Tidak seperti BUMD lainnya, tidak ada pengawasan dan lebih tidak jalan tata kelolanya dibandingkan dengan bank. Bahkan, BUMD selain bank dikelola bak toko kelontong.
Untuk itu, pihak Kemendagri sudah seharusnya “rela” perbankan dikecualikan dari PP No.54 Tahun 17 tentang Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Itu juga harus didukung oleh OJK, karena OJK dasarnya adalah Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) lebih tinggi dari PP. Sudah sewajarnya OJK berani pasang badan pada BPD karena termasuk yang diawasi dengan tata kelola yang baik sesuai ketentuan OJK. Jangan biarkan problem share holder ini menjadi masalah dan “mengkerdilkan” BPD. Kementrian Dalam Negeri terlalu ikut cawe-cawe yang tidak semestinya yang tertuang dalam PP 54 Tahun 2017.
Baca juga: Bos BPD DIY: Rawan Politisasi, Bankir Harus Berintegritas
Apalagi tantangan bank, termasuk BPD, ke depan tidak ringan. Perlu transformasi digital agar tetap tumbuh berkelanjutan. Namun, yang diperlukan para bankir di era digital ini tidak hanya visi jangka panjang, tapi juga culture digital – tidak cukup hanya bisa bertahan, tapi juga mampu beradaptasi.
Tidak lagi pasif, tapi dapat menjaring ekosistem customer. Tidak lagi melulu produk, tapi sudah bicara platform yang dapat menggabungkan online dan offline. Bahkan, dibutuhkan ide-ide baru, plus ketajaman untuk meraih pasar baru, sekaligus dapat mengarungi dunia yang makin tidak pasti.
Semua itu dibutuhkan konsistensi dalam kebijakan transformasi, yang saat ini juga sedang dilakukan hampir semua BPD. Perlu keberlanjutan kepemimpinan. Tidak main “potong”, dan main ganti. Jangan lagi ada istilah ganti gubernur, apalagi hanya Pj, ganti direksi-direksi BPD. Itu akan mengacaukan proses transformasi digital yang saat ini sedang dilakukan bank-bank, termasuk BPD.
Sudah waktunya Mendagri dan Presiden menjaga “muruah” tata kelola bank. Karena, BPD itu juga bank, bukan PDAM. Karena, bank tidak cocok dengan PP 54 Tahun 2017 – yang jujur saja, isinya “pengerdilan” BPD. Jangan lagi ada kesewenang-wenangan di BPD dengan main “copot”, hanya untuk kepentingan sesaat dari Pj gubernur yang akan bertugas di awal September 2023 ini.
Harapannya, para Pj gubernur yang akan bertugas tidak melakukan abuse a power atau penyalahgunaan kekuasaan/wewenang dari filosofi peralihan karena akan dilakukan Pemilu serentak di 2024. Jangan abuse a power – sebab kekuasaan Pj ini tidak mendapat mandat dari rakyat.
Langkah menjaga keberlanjutan BPD jauh lebih penting untuk proses transformasi saat ini. Pak Presiden Jokowi harus “cawe-cawe” menjaga BPD sebagai “soko guru” ekonomi di daerah dan sekaligus sebagai tangan untuk literasi dan inklusi di daerah-daerah. (*)