Oleh Paul Sutaryono
KINI kian banyak negara berupaya keras untuk menekan ketergantungan terhadap mata uang dolar Amerika Serikat (AS). Fenomena itu disebut dedolarisasi. Sejatinya, hal itu adalah salah satu upaya strategis dalam mengerek resiliensi ekonomi. Bagaimana implikasinya bagi bank nasional?
Bagaimana kisahnya sehingga dolar AS bisa menjadi mata uang dunia? Dolar AS pertama kali dicetak setahun setelah pembentukan Federal Reserve (The Fed) sebagai bank sentral berdasarkan Undang-Undang Federal Reserve pada 1913. Pembentukan The Fed merupakan tanggapan atas ketidakpastian sistem mata uang yang sebelumnya berdasarkan pada uang terbitan perbankan secara individual. Saat itu AS menjadi negara terkuat di dunia, melampaui Inggris. Meski demikian, perdagangan dunia masih berpusat di Inggris yang sebagian besar transaksi masih menggunakan poundsterling, mata uang Inggris.
Sebagian negara maju menyimpan cadangan dalam bentuk emas untuk melakukan stabilisasi mata uang mereka. Namun, ketika Perang Dunia I pecah pada 1914, banyak negara meninggalkan standar emas sehingga mereka dapat membayar belanja militer dengan uang kertas yang mendevaluasi mata uang mereka.
Namun, Inggris tetap menggunakan standar emas untuk menjaga posisi sebagai mata uang dunia. Oleh sebab itu, selama tiga tahun perang, Inggris untuk pertama kali meminjam uang. Inggris meninggalkan standar emas pada 1931 yang menyebabkan banyak pedagang dunia yang menggunakan poundsterling menjadi kewalahan. Sejak itu, dolar AS menggantikan poundsterling sebagai mata uang cadangan internasional.
Perjanjian Bretton Woods pada 1944 menjadi awal mula dolar AS berada di posisi saat ini. Sebelumnya, banyak negara di dunia menggunakan emas sebagai sentra simpanan sebuah negara. Negara-negara maju bertemu di Bretton Woods, New Hampshire, untuk mematok nilai tukar mereka terhadap dolar AS lantaran AS menjadi negara yang memegang emas terbesar ketika itu.
Perjanjian itu mengizinkan negara untuk mematok nilai tukar mereka dengan dolar AS ketimbang emas. Lantaran membutuhkan tempat untuk menyimpan dolar AS mereka, banyak negara mulai membeli obligasi pemerintah AS sebagai cara aman dalam menyimpan uang (Kompas.com, 22/11/2021).
Aneka Faktor Pendorong
Faktor pendorong apa saja sehingga banyak negara berupaya meninggalkan dolar AS? Apa implikasi dedolarisasi bagi bank nasional? Pertama, melalui perdagangan internasional, Tiongkok sudah jauh lebih awal dalam memperkuat yuan (renminbi). Simak saja, Jalur Sutra Tiongkok yang merupakan satu jalur perdagangan melalui Asia yang menghubungkan kawasan Timur dan Barat.
Jalur Sutra juga menjadi jalur pertukaran budaya, agama, dan ilmu pengetahuan. Jalur Sutra terbagi menjadi dua jalur: utara dan selatan. Rute utara melewati Bulgar-Kipchak ke Eropa Timur dan Semenanjung Krimea. Dari situ menuju ke Laut Hitam, Laut Marmara, dan Balkan ke Venezia. Rute selatan melewati Turkestan-Khorasan menuju Mesopotamia dan Anatolia, kemudian ke Antiokhia di selatan Anatolia menuju ke Laut Tengah atau melewati Levant ke Mesir dan Afrika Utara.
Penamaan Jalur Sutra mengacu pada perdagangan sutra yang dilakukan pedagang Tiongkok di sepanjang jalan tersebut semasa Dinasti Han pada 206 Sebelum Masehi hingga 220 Masehi. Selain sutra sebagai perdagangan terbesar, terdapat pula tekstil, rempah-rempah, biji-bijian, sayuran dan buah, kulit binatang, alat, pekerjaan kayu, pekerjaan logam, dan masih banyak lagi (Kompas.com, 15/1/2020).
Bahkan, Tiongkok membeli banyak surat utang AS sebagai jurus menekan dominasi dolar AS. Artinya, AS utang kepada Tiongkok. Inilah negara yang paling banyak memegang surat utang AS: Jepang memiliki US$1,1 triliun, Tiongkok US$859 miliar, dan Inggris US$668 miliar per awal 2023.
Kedua, tatkala Rusia invasi ke Ukraina mulai 24 Februari 2022, AS segera mengenakan sanksi ekonomi terhadap Rusia. Uni Eropa menendang Rusia dari jaringan Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT). Ada tujuh bank Rusia yang dikeluarkan dari SWIFT, yakni VTB Bank, Bank Otkritie, Novikombank, Promsvyazbank, Rossiya Bank, Sovcombank, dan VEB (Vnesheconombank). Pemutusan SWIFT itu dilakukan sebagai salah satu bentuk sanksi ekonomi kepada Rusia.
SWIFT merupakan suatu jaringan komunikasi internasional antarbank atau lembaga keuangan di sektor jasa keuangan di dunia. Jaringan komunikasi internasional yang berpusat di Belgia itu telah menghubungkan 11.000 bank dan lembaga keuangan di lebih dari 200 negara.
SWIFT menjadi sarana utama dalam melakukan perdagangan internasional karena mampu menjamin keamanan dan kecepatan tinggi dalam melakukan transaksi. Nah, ketika jaringan SWIFT diputus, bank atau lembaga keuangan akan mengalami kesulitan untuk berbisnis.
Sanksi ekonomi itu sangat mengganggu perekonomian Rusia dan rantai pasokan global. Akibatnya, Rusia membalas sanksi ekonomi itu dengan menetapkan aturan perdagangan dengan Rusia harus menggunakan mata uang Rusia: rubel. Hal itu bertujuan mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS.
Manfaat
Ketiga, dunia sudah sangat tergantung pada dolar AS. Artinya, ketika dolar AS menguat (apresiasi), hampir semua mata uang negara lain melemah (depresiasi). Makin tinggi fluktuasi nilai tukar dolar AS terhadap mata uang negara lainnya, makin tinggi pula guncangan yang dihadapi hampir semua negara.
Demikian pula ketika The Fed melakukan kenaikan suku bunga acuan (The Fed Fund Rate/FFR) yang kini mencapai 5%-5,25%, level tertinggi dalam 15 tahun terakhir setelah naik 25 basis points (bps) atau 0,25% pada 3 Mei 2023. Kenaikan FFR itu bertujuan mengendalikan laju inflasi AS yang masih tinggi (4,9%) per April 2023, meski telah turun dari 5% per Maret 2023.
The Fed bertekad untuk menurunkan tingkat inflasi pada level 2%. Target itu amat sulit untuk dicapai. Apalagi, muncul kasus ambruknya Silicon Valley Bank (SVB) pada 10 Maret 2023 yang menyulut jatuhnya Silvergate Bank dan Signature Bank. Tanpa diduga, First Republic Bank pun kolaps pada awal Mei 2023.
Keempat, apa manfaat dedolarisasi itu? Dengan menggunakan mata uang lokal, maka transaksi perdagangan akan kian efisien karena tidak terdampak fluktuasi nilai tukar dolar AS.
Dengan bahasa lebih bening, transaksi perdagangan internasional akan lebih efisien karena tak perlu lagi melakukan konversi mata uang lokal ke dalam dolar AS.
Kelima, Indonesia sudah menjalin kerja sama dalam local currency transactions (LCT) dengan Thailand, Jepang, Malaysia, Tiongkok, dan Korea Selatan. Dalam KTT G-20 di Bali, lima negara ASEAN, yakni Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina, menjalin kerja sama transaksi pembayaran lintas batas sejak November 2022.
Keenam, kini BRICS yang meliputi Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, sedang mengajak negara lain untuk menggunakan mata uang BRICS. Ada 41 negara yang sudah berminat, seperti Afghanistan, Aljazair, Argentina, Bahrain, Bangladesh, Belarus, Mesir, dan Indonesia.
Implikasi bagi Bank
Ketujuh, ternyata dedolarisasi juga membawa implikasi bagi bank. Dari sisi transaksi perdagangan internasional (trade finance), seperti ekspor, impor dengan letter of credit (L/C), bank garansi, dan transaksi derivatif lainnya, implementasi LCT itu bisa menekan pendapatan bank karena tak ada lagi konversi mata uang lokal ke dolar AS yang selama ini menjadi pendapatan nonoperasional (fee based income) bagi bank.
Namun, bank masih menikmati pendapatan dari biaya trade finance. Fee based income dari transaksi trade finance bisa memberikan kontribusi sekitar 35% dari total pendapatan. Fee based income bank antara lain bersumber dari cash management, wealth management, dan remittances. Plus pengelolaan rekening giro, tabungan dan deposito, kartu debit, kartu kredit, ATM, mobile banking, internet banking, dan phone banking. Jangan lupa, bank pun bermain valas melalui transaksi treasury. Katakanlah transaksi money market, foreign exchange, dan fund placement.
Kedelapan, apakah dominasi dolar AS akan segera berakhir? Memang, penggunaan dolar AS akan berkurang. Namun, dominasi dolar AS tak akan surut secepat yang kita bayangkan karena AS memiliki emas paling besar di dunia.
Kesembilan, akan lebih strategis ketika ada kerja sama antarbank sentral dalam money market. Upaya itu bertujuan agar Bank Indonesia (BI) mampu mengendalikan nilai tukar rupiah sebab telah memiliki “cadangan” valas di bank sentral negara mitra. Buahnya, BI tidak mengalami kesulitan tatkala nilai tukar rupiah melemah berat terhadap dolar AS.
Ringkas tutur, dengan LCT, perdagangan internasional akan lebih efisien dan menekan risiko fluktuasi mata uang dolar AS. Resiliensi ekonomi pun kian tinggi!
*) Penulis adalah pengamat perbankan, Assistant Vice President BNI (2005-2009), Staf Ahli Pusat Pariwisata Berkelanjutan Indonesia (PPBI) Unika Atma Jaya, & Staf Ahli Pusat Studi Bisnis (PSB) Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama).