Jakarta – Wacana revisi Qanun Nomor 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Aceh terus bergulir. Ada yang mendukung bank konvensional beroperasi kembali di Aceh, tapi ada pula yang menilai bahwa revisi Qanun tersebut tak perlu dilakukan.
Seperti diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah. Menurutnya, revisi Qanun LKS tersebut mencuat ketika muncul permasalahan layanan Bank Syariah Indonesia (BSI) di Aceh. Permasalahan tersebut sejatinya tak lantas dijadikan alasan Pemerintah Provinsi Aceh untuk merevisi Qanun LKS dengan membuka peluang bank konvensional beroperasi kembali.
“Permasalahan di BSI bukan alasan untuk mengubah Qanun LKS,” kata Piter ketika dihubungi Infobanknews, Kamis, 25 Mei 2023.
Menurutnya, permasalahan yang harus dibenahi adalah soal teknologi atau sistem keamanan perbankan, terutama dalam menanggkal serangan siber. Kasus gangguan layanan BSI ini pun harus menjadi pembelajaran bagi semua bank yang ada di Indonesia.
“Permasalahan teknologi informasi di BSI pasti akan menjadi pembelajaran di BSI dan bank-bank lain. Otoritas pun pasti akan serius menindaklanjutinya. Jadi, Qanun-nya nggak harus dikoreksi,” jelas Piter.
Dari kasus ini, lanjut Piter, justru membuka peluang baru bagi bank syariah lain untuk mengibarkan benderanya di Aceh. Karena berkaca dari error-ya layanan BSI, makin mempertegas bahwa perbankan di Aceh tak bisa bertumpu pada satu bank (BSI).
“Kondisi ini juga menegaskan adanya peluang bank syariah lain. Di sana ada BPD dan bank syariah swasta lain. Peluang bagi mereka untuk bersaing dengan BSI,” ungkapnya.
Di sisi lain, apabila revisi Qanun terkabulkan, bank konvensional memang akan menjadi pilihan bagi masyarakat Aceh. Bahkan, diprediksi keberadaannya berpeluang besar untuk menguasai industri perbankan di Aceh.
“Kalau Qanun diubah dan bank konven masuk, bank konven berpeluang lebih menguasai perbankan di Aceh. Tanpa perlakuan khusus, bank syariah tidak mudah berkembang,” jelasnya.
Diketahui, sejak Qanun LKS diberlakukan pada 2018, semua bank konvensional harus angkat kaki dari Aceh. Hanya bank syariah yang beroperasi.
Ada dua bank syariah besar yang beroperasi di Aceh, yakni Bank Aceh Syariah (BAS) dan BSI. Selain itu, ada juga BCA Syariah dan BTN Syariah yang beroperasi di Aceh.
Piter melanjutkan, masuknya bank konvensional tak lantas membuat pertumbuhan ekonomi di Aceh meroket. Menurutnya, maju atau tidaknya perekonomian suatu daerah tidak ditentukan oleh keberadaan bank konvensional, khususnya di Aceh.
“Bank sifatnya follow the trade bukan sebaliknya. Bank hanya membantu. Semakin maju perekonomian, maka bank akan banyak yang hadir membantu. Kalau daerah itu ekonominya tidak berkembang, ya tidak akan banyak bank yang mau masuk,” jelas Piter.
Piter menilai, saat ini pertumbuhan ekonomi Aceh belum tumbuh dengan maksimal. Ini tak lepas dari Aceh yang hingga saat ini masih ketergantungan pada sektor komoditas perkebunan dan minerba. Mereka belum merambah ke sektor industri manufaktur, yang punya nilai tambah lebih.
“Untuk meningkatkan perekonomian Aceh harus didorong tumbuhnya industri manufaktur yang meningkatkan nilai tambah. Termasuk melakukan hilirisasi,” katanya.
Berdasarkan data laman resmi Provinsi Aceh, kinerja perekonomian Aceh pada triwulan I 2023 tumbuh kuat sebesar 4,63% year on year (yoy), meski melambat dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelumnya yang tercatat 5,60% (yoy).
Pertumbuhan dari sisi sektoral didorong oleh Lapangan Usaha (LU) Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor (sumber pertumbuhan 1,66%), serta LU Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (sumber pertumbuhan 0,92%).
LU Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan tercatat 3,30% (yoy), melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mampu tumbuh 11,40% (yoy).
Sementara LU Pertambangan dan Penggalian tercatat tumbuh negatif sebesar -6,26% (yoy), lebih dalam dari triwulan sebelumnya yang juga tumbuh negatif -1,03% (yoy).(*)