Jakarta – Sektor keuangan di Amerika Serikat tengah didera masalah pelik. Salah satunya, bank terbesar ke-16 di Negeri Paman Sam, Silicon Valley Bank (SVB) dinyatakan bankrut usai perusahaan tersebut mengalami krisis selama 48 jam.
Bank yang menyimpan banyak deposit perusahaan start up sekaligus pemberi pinjaman itu ditutup otoritas berwenang Amerika Serikat pada Jumat (10/3/2023).
Berdasarkan informasi yang dihimpun Infobanknews, tumbangnya SVB bermula pada saat Federal Reserve (The Fed) menaikan suku bunga tahun lalu dalam menekan laju inflasi.
Alih-alih menekan inflasi, hal tersebut justru menyebabkan naiknya biaya pinjaman hingga melemahkan momentum saham teknologi yang selama ini menguntungkan pihak SVB.
Suku bunga tinggi juga menurunkan nilai obligasi jangka panjang SVB dan bank lain selama era suku bunga rendah dan mendekati nol.
Portofolio obligasi SVB senilai US$21 miliar menghasilkan rata-rata 1,79%, imbal hasil Treasury 10 tahun saat ini adalah sekitar 3,9%.
Di saat bersamaan, modal ventura pun juga mongering (membuat orang takut) dan menyebabkan penarikan dana besar-besaran yang dipegang SVB oleh masyarakat.
Akibatnya, saham bank mulai rontok pada Kamis (9/03) pagi hingga pada sore harinya menyeret saham bank lain turun secara bersamaan.
Sejumlah analis pun memperkirakan sektor perbankan bakal menghadapi berbagai masalah karena menimbulkan berbagai kekhawatiran di sektor-sektor keuangan tersebut.
“Mungkin akan ada pertumpahan darah minggu depan karena para short-sellers ada di luar sana dan mereka akan menyerang setiap bank, terutama yang lebih kecil,” kata Ketua Whalen Global Advisors Christopher Whalen.
Menteri Keuangan AS Janet Yellen sendiri sudah menginstruksikan Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) untuk menjamin seluruh dana nasabah SVB bisa diakses mulai Senin (13/3/2023) pagi. Dengan begitu, semua dana nasabah SVB Rp2.712 triliun yang tersangkut di dalamnya bisa kembali.
“Sistem perbankan AS tetap tangguh dan memiliki landasan yang kokoh, sebagian besar karena reformasi yang dilakukan setelah krisis keuangan yang memastikan perlindungan yang lebih baik untuk industri perbankan,” katanya, dikutip dari CNN. (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra