Jakarta – Penggunaaan Kecerdasan buatan atau AI (Artifical Intelligence) memiliki potensi lebih lanjut untuk digunakan pada kegiatan produksi, seperti sektor manufaktur. AI sudah menjadi bagian dari implementasi transformasi ekonomi industri 4.0 di Indonesia, yang dapat bermanfaat dalam membantu proses produksi. Namun di sisi lain, masih terdapat tantangan untuk Indonesia dalam penerapan AI ini.
Head of Center of Digital Economy and SME’s INDEF Eisha M. Rachbini mengatakan, aplikasi AI pada sektor manufaktur akan didorong untuk lima sektor industri prioritas guna mempercepat ekonomi, yaitu industri makanan dan minuman, industri tekstil dan produk tekstil, industri farmasi, alat Kesehatan dan kosmetik, industri transportasi dan industri alat listrik, elektronik dan ICT.
“Karena di lima sektor industri prioritas tersebut berkontribusi besar pada 70% PDB industri, 65% ekspor industri, dan 60% tenaga kerja industri di Indonesia,” ujar Eisha dalam sebuah webinar si Jakarta, Kamis, 9 Maret 2023.
Ia menyebutkan, dampak dari penggunaan AI pada industri antara lain, mengurangi biaya produksi, konektivitas tak terbatas antara manusia, computer, dan data akan mendorong produksi lebih tinggi, menumbuhkan dan mempercepat inovasi.
“Ini ada dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi dimana penggunaan AI, robotics dan teknologi lainnya bisamemberikan revitalisasi sektor manufaktur yang dapat memberikan nilai tambah terhadap ekspor,” katanya.
Berdasarkan data, pangsa nilai tambah produk Medium-High Tech Industry terhadap total nilai tambah sektor industri di Indonesia masih tergolong rendah. Data dari World Bank 2022 menunjukan untuk negara berkembang Indonesia masih di level 37,32%. Sementara, nilai ekspor Medium-High Tech Industri Indonesia berada di level 30,71%.
“Kemudian berdasarkan global innovation index Indonesia masih rangking 87 dibandingkan dengan negara lain, jadi memang butuh peningkatan dari inovasi teknologi untuk Indonesia, ini tantangan yang pertama,” ungkap Eisha.
Kedua, AI kedepannya bisa memberikan kesenjangan karena adanya perubahan struktur, baik antar sektor di ekonomi, antar wilayah, dan antar gender. Ketiga, belum ada atau masih minimnya regulasi dan pengaturan penerapan AI, terutama hukum legal status dan standard yang berlaku untuk AI developers dan penggunaan dalam penerapan AI.
“Di satu sisi, peraturan tersebut perlu mengantisipasi dampak penggunaan AI, terutama potensi dampak negatif, namun perlu juga melihat dampak positif penggunaan AI dalam mendorong inovasi dan pertumbuhan ekonomi,” pungkasnya.
Sehingga, menurut Eisah, diperlukan pemahaman bersama bahwa teknologi dan inovasi (AI) berfungsi sebagai alat bantu manusia dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Serta, dibutuhkan kebijakan dan strategi dalam penerapan industri 4.0 dalam mendorong investasi, membangun Infrastruktur, pengembangan SDM, dan ekosistem inovasi serta research dan development. (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra