Jakarta – PT Adira Dinamika Multi Finance (Adira Finance) membukukan laba bersih sebesar Rp1,6 triliun sepanjang tahun 2022. Jumlah tersebut mengalami kenaikan 32% dibandingkan pencapaian tahun sebelumnya, sebesar Rp1,2 triliun.
Kenaikan laba Adira Finance disokong penurunan biaya bunga dan biaya kredit. Tahun lalu, beban bunga perseroan turun 34%, atau menjadi Rp729 miliar dikarenakan adanya penurunan jumlah pinjaman dan biaya funding. Di lain sisi, biaya kredit mengalami penurunan 35%, atau menjadi Rp907 miliar. Penurunan biaya kredit sejalan dengan membaiknya kondisi ekonomi dan bisnis.
Di tahun 2022, bisnis Adira Finance tumbuh sejalan dengan kembali meningkatkan penjualan otomotif, sebut saja penjualan ritel mobil baru yang naik 17%, menjadi 1 juta unit. Sedangkan penjualan motor baru tumbuh tipis 4% menjadi 5,3 juta unit.
“Membaiknya pertumbuhan penjualan industri otomotif berdampak positif pada kinerja Adira Finance di 2022. Perusahaan mencatatkan pembiayaan baru meningkat sebesar 22% year on year menjadi Rp31,7 triliun, terutama didorong dari pertumbuhan segmen pembiayaan mobil. Di samping itu, Adira Finance berhasil membukukan pertumbuhan piutang yang dikelola sebesar 10%, menjadi sebesar Rp44,6 triliun, setelah sempat mengalami penurunan dalam dua tahun terakhir karena dampak pandemi Covid-19,” jelas I Dewa Made Susila, Presiden Direktur Adira Finance di Jakarta, Jum’at, 10 Februari 2023.
Dari sisi kualitas, pembiayaan juga menunjukkan perbaikan. Ini tercermin dari NPL yang bisa dijaga di posisi 1,7%, lebih rendah dibandingkan 2,3% di tahun sebelumnya.
Untuk menopang ekspansi pembiayaan, Adira Finance terus melakukan upaya diversifikasi sumber pendanaan (funding). Selain dukungan dari perusahaan induk, yakni Bank Danamon Indonesia, perseroan juga mendapat pinjaman eksternal, baik berupa pinjaman bank maupun obligasi. Per Desember 2022, Pembiayaan Bersama (joint financing) berkontribusi 47% terhadap piutang yang dikelola. Sementara itu, total pinjaman perseroan hingga Desember 2022 mengalami koreksi 4%, menjadi Rp 10,5 triliun, terdiri dari pinjaman bank baik dalam negeri dan luar negeri serta obligasi dan sukuk. Porsi pinjaman bank mencapai 48%, Sedangkan 52% berasal dari obligasi dan sukuk.
Di tengah tren kenaikan suku bunga saat ini, Made mengatakan pihaknya akan mencoba melakukan sejumlah aktivitas funding. Kebutuhan funding disesuaikan dengan pertumbuhan bisnis dan aset perusahaan.
“Tahun lalu kan kebutuhan dana naik 10% karena memang aset yang dikelola tumbuh 10%, Tahun ini kalau naik 10%-15%, kita tentu butuh tambahan funding, Salah satunya dengan penerbitan obligasii. Kita sedang mengkaji, tentu kita tetp negosiasi dengan bank juga. Berita baiknya inflasi sudah mulai turun, kita berharap biaya dana jangan naik lagi lah. Kalau naik lagi, lending rate naik, penjualan bisa turun lagi. Jadi menyeimbangkan antara kebutuhan konsumen denga kebutuhan kita itu sangat challenging,” jelasnya. (*) Ari Astriawan