Oleh Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank
JADI bankir Bank Pembangunan Daerah (BPD) itu tak cukup hanya pintar, tapi harus pintar-pintar. Nasibnya tak menentu. Rapat biasa soal kinerja bisa saja berujung pada pencopotan. Tapi, kalau “pintar-pintar” bisa sampai tiga periode. Kinerja bukan lagi sebuah ukuran untuk terus bisa duduk di kursi direksi. Nasib bank selanjutnya seperti tak dihiraukan.
Semua tergantung pemegang saham. Hari-hari ini sering terdengar pencopotan direksi BPD secara mendadak. Sebut saja di Bank Sumut yang secara mendadak mencopot Rahmat F. Pohan sebagai Dirut Bank Sumut.
Rahmat, bankir yang sebelumnya dari Danamon ini, berhasil mencatatkan laba tertinggi untuk Bank Sumut sejak Bank Sumut lahir. Juga, berhasil memperoleh izin mencatatkan saham Bank Sumut di pasar modal. Namun, sehari setelah izin go public keluar, nasib bankir satu ini pun tamat, dan tak tahu kesalahannya apa.
Kasus Rahmat merupakan salah satu contoh. Contoh berikutnya di Bank NTT, yang juga mencopot dirutnya. Kasus pencopotan kini masuk ranah hukum. Rapat yang sebelumnya membahas kinerja kredit berubah menjadi pencopotan Izhak Eduard sebagai dirut. Nasib jadi dirut tak menentu.
Kekosongan posisi dirut di sejumlah BPD sering terjadi. Copot dulu, baru diangkat pelaksana tugas (plt) dirut. Bahkan, ada yang sampai posisi dirut lowong lebih dari satu tahun. Hal ini bisa jadi karena nama-nama pengganti direksi dianggap kurang memenuhi syarat. Atau, tidak lulus uji kepatutan di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Saat ini BPD menghadapi empat masalah besar. Pertama, masih ada sejumlah BPD yang belum memenuhi modal minimum Rp3 triliun. Kedua, problem shareholder yang selalu menjadi penghambat bagi BPD untuk berlari. Ketiga, perubahan perilaku bisnis masyarakat yang memaksa BPD mengubah bisnis modelnya. Keempat, pengembangan sumber daya manusia (SDM).
Problem shareholder merupakan problem terbesar. Struktur kepemilikan yang bercampur politik menjadi sangat mungkin memicu perang terbuka. Jadi, tambah runyam bila gubernurnya dari partai kuning atau hijau, sementara wakilnya dari merah atau biru. Belum lagi pemegang saham kedua dan ketiga warnanya beda-beda.
Itu pula maka profesionalisme dan pencapaian kinerja tidak akan bergandengan tangan dengan sikap politik. Like and dislike. Di mana-mana ada. Namun, dalam pengelolaan bank menjadi malapetaka. Hampir seluruh BPD pernah mengalami “gegar” kepemilikan ini.
Apalagi, ada bank yang masih belum punya modal minimum Rp3 triliun. Bayangkan saja, ketika gubernur sudah menjelang injure time masa tugasnya, laba yang harusnya ditahan untuk kebutuhan modal, bisa ditarik 100 persen. Tidak peduli bagaimana ke depan banknya.
Lebih tak masuk akal lagi BPD harus tunduk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Lahirnya PP tentang BUMD itulah yang membuat situasi makin runyam. Setelah rumit campur tangan pemda, kini pemerintah pusat juga mulai melirik “rumput basah” BUMD.
Beleid turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 ini menjadi dasar hukum baru bagi BUMD, termasuk di dalamnya BPD yang jujur saja banyak berbenturan dengan asas-asas pengelolaan bank yang disyaratkan OJK. Soal kepemilikan bank, misalnya.
Lebih tidak masuk akal, pengelolaan BPD yang notabene adalah bank disamakan dengan BUMD lainnya. Beleid baru ini akan mengerdilkan BPD. Ibaratnya BPD akan masuk kandang kasir pemda dan menjadi terisolasi kembali. Untuk itu, ada baiknya OJK tegas akan PP 54 yang jujur saja mengebiri BPD ini.
Jumlah BUMD di Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 829 perusahaan. Ragam sektor usahanya. Sektor keuangan, termasuk di dalamnya perbankan yang terdiri atas BPD dan BPR jumlahnya 200 perusahaan. Jumlah BPD di Indonesia ada 27 bank.
Menurut data Biro Riset Infobank (birI), pada 2002 aset seluruh BPD Rp105,58 triliun. Tahun lalu, jumlah asetnya menjadi Rp916,73 triliun. Naik hampir sembilan kalinya. Kontribusi BPD terhadap perusahaan daerah merupakan penyumbang terbesar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Entah itu pulalah BPD menjadi rebutan. Dijadikan semacam warisan nenek moyangnya.
Ke depan ada baiknya untuk menghindari campur tangan yang lebih jorok oleh pemda, maka akan lebih baik mulai go public. Juga, untuk bank-bank yang modalnya cekak, ada baiknya ikut Kelompok Usaha Bank (KUB). Model KUB merupakan salah satu opsi penting untuk memenuhi modal Rp3 triliun di 2024.
Ketegasan OJK dalam “memelorotkan” Bank Prima Master dari kasta bank umum menjadi BPR harusnya membuat para pemegang saham mawas diri. Tapi, mana ada yang peduli di tahun politik seperti sekarang?
Tuan-tuan sudah waktunya tidak menjadikan BPD bak warisan nenek moyang. Untuk direksi BPD tetaplah pegang profesionalisme dan tata kelola yang baik, karena pada akhir-nya yang bertanggung jawab tetap direksi dan bukan pemegang saham yang suka berebut minta jatah CSR untuk konstituennya. (*)