Jakarta – Duta Besar RI untuk Swiss dan Liechtenstein Muliaman D. Hadad mengungkapkan sejumlah tantangan di tengah fragmentasi ekonomi global pada 2023. Seperti diketahui, saat ini ekonomi global tengah mengalami fragmentasi atau situasi di mana ekonomi global yang sedang tidak menentu dan bergejolak.
Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini mengungkapkan konflik di Ukraina semakin memperburuk kondisi ekonomi global yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi Covid 19. Selain itu, tekanan inflasi juga terus berlanjut diiringi dengan suku bunga yang meningkat menjadi tantangan bagi pemulihan ekonomi tahun depan.
“Bahkan ada kemungkinan pertumbuhan (ekonomi global) kurang dari 2 persen tahun depan. Dan ini bukan hal yang bagus,” ujarnya dalam acara ESG Public Discussion bertajuk “Global and National Outlook for Resilience Amid Recession and Digitalization,” yang digelar Impac+, Senin 5 Desember 2022.
Seperti diketahui, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) memproyeksikan tingkat pertumbuhan ekonomi global hanya 2,7% untuk 2023. Sedangkan Bank Indonesia (BI) memperkirakan bahwa ekonomi global akan turun menjadi 2,6%. Sementara itu, ekonomi China tumbuh 5%, melampaui rata-rata 3,7% untuk negara berkembang, rata-rata negara maju (G10) hanya 0,3%.
“Ini menjadi indikasi terjadinya fragmentasi ekonomi global dimana setiap negara menghadapi tantangan yang berbeda-beda dengan berbagai risiko ke depan,” ungkapnya.
Muliaman melanjutkan, kebijakan ketat ekonomi AS yang berlanjut hingga 2024 menjadi tantangan global. Selain itu, kenaikan harga energi di Eropa yang mengimpor 57,5% dari total konsumsi energinya di tahun 2020 menyebabkan kenaikan 20% hingga 30% biaya hidup.
Menurutnya, negara-negara berkembang perlu menghadapi dampak pengetatan moneter yang agresif dengan kebijakan makroprudensial untuk membendung arus keluar yang tiba-tiba dan menstimulus investasi.
“Kenaikan harga pangan dan energi maaih menjadi tantangan di 2023 dan 2024. Membuat kita sulit untuk pulih dan mengembangkan pembiayaan karena keterbatasan pendanaan oleh lembaga jasa keuangan,” ungkapnya. (*) Dicky F.