Jakarta – Jumlah penduduk muslim yang sangat besar menjadi magnet bagi perekonomian global. Begitupun dengan Indonesia. Hal ini bisa menjadi potensi bagi pertumbuhan ekonomi baru bagi setiap negara. Bahkan, dari berbagai catatan yang ada, sejak beberapa tahun terakhir ini, sejumlah negara terus bersaing dalam mengembangkan ekonomi syariah, mulai dari industri halal, hingga industri keuangan syariah.
Berdasarkan data yang dilansir State of the Global Islamic Economy Report 2022, sepanjang 2021 di mana dunia tengah dilanda pandemi, penduduk muslim dunia telah menghabiskan belanja sebesar USD2 triliun, atau tumbuh sebesar 8,9% dibandingkan 2020. Pada 2022, jumlah belanja diprediksi akan meningkat sebesar 9,1%, dan pada 2025 jumlah belanja diproyeksikan akan mencapai USD2,8 triliun. Hal ini tentunya menjadi potensi sendiri bagi Indonesia untuk menjadi pusat industri halal dunia.
Dengan jumlah penduduk muslim Indonesia yang menempati urutan ketiga di dunia, tentu Indonesia menjadi kekuatan yang besar. Sayangnya, hingga saat ini Indonesia masih menjadi konsumen, walau Indonesia dinilai mampu mempertahankan posisi keempat dalam pengembangan ekosistem ekonomi syariah. Pemerintah bersama Komite Nasional Keuangan Syariah (KNEKS) pun memiliki sejumlah program prioritas untuk pengembangan ekosistem ekonomi syariah salah satunya menguatkan rantai nilai halal (halal value chain) Indonesia.
Mengacu pada Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024, penguatan rantai nilai halal atau halal value chain (HVC) merupakan bagian dari strategi utama dalam mewujudkan Indonesia yang Mandiri, Makmur, dan Madani dengan menjadi Pusat Ekonomi Syariah Terkemuka Dunia. Direktur Bisnis dan Kewirausahaan KNEKS, Putu Rahwidhiyasa mengatakan, pihaknya menginterpretasikan masterplan ekonomi dan keuangan syariah 2019-2024 kedalam 13 program prioritas dan 17 program reguler.
“Alhamdulillah dari 13 program prioritas telah netes istilahnya itu 10 program prioritas,” ujar Putu dalam seminar bertajuk “Menuju Pusat Industri Halal Dunia: Prospek dan Tantangan Ekonomi dan Keuangan Syariah” yang digelar Infobank bersama KNEKS, di Jakarta Kamis 24 November 2022.
Salah satu program prioritas yang telah dilakukan KNEKS untuk mendukung penguatan halal value chain di Indonesia, adalah mengembangakn sertifikasi produk halal. Perusahaan tersertifikasi halal didominasi oleh sektor makanan sebesar 90% lebih dibanding sektor lainnya. Di samping itu, perusahaan tersertifikasi halal pada sektor farmasi dan sektor kosmetik terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.
“Terdapat empat fokus prioritas sertifikasi halal yang kita yang kita sebut zona kuliner halal aman dan sehat salah satunya di Rasuna Garden food Street Jakarta,” ungkap Putu.
Kemudian, KNEKS bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mendorong digitalisasi pariwisata ramah muslim melalui event digital event Islamic digital di 2022 dan penerbitan panduan pariwisata ramah muslim di lima destinasi favorit. “Saat ini ada tiga kawasan industri halal yang telah beroperasi yang pertama di Cikande Banten kedua di Sidoarjo Jawa Timur di Riau dan beberapa Kawasan Industri halal lainnya sedang mengajukan permohonan menjadi Kawasan Industri halal,” ucapnya.
Pengembangan ekonomi dan keuangan halal di tanah air juga tidak lepas dari tantangan. Salah satunya adalah masalah literasi dan inklusi yang masih rendah. Kendati demikian, literasi dan inklusi keuangan syariah masyarakat terus meningkat setiap tahunnya.
Sementara itu, Wakil Kepala Badan Bidang Industri Halal, BES Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Aman Suparman melihat bahwa industri halal saat ini sebagai peluang usaha yang harus dioptimalkan, terlihat dari angka industri halal dunia yang telah mencapai USD2,2 triliun. Meski begitu, masih terdapat tantangan terkait dengan pembiayaan oleh keuangan syariah dan sertifikasi halal bagi pelaku industri halal.
Dirinya juga mengatakan bahwa dengan adanya peluang industri halal dunia yang sangat potensial tersebut mampu mendorong industri halal di Indonesia juga dapat terintegrasi dengan keuangan syariah. “Harapannya industri halal didukung oleh bank syariah. Jadi selama ini di BSI (Bank Syariah Indonesia) mungkin produknya sudah sangat bagus tapi mungkin sudah bisa digali lagi potensi di industri halal ini khususnya kebutuhan modal kerja,” papar Aman.
Lebih lanjut ia juga menyatakan bahwa, kunci dari industri halal di Indonesia dapat terus berkembang adalah melalui sertifikasi halal yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH) yang memandatkan sertifikasi halal sebagai kewajiban. Namun, kenyataannya masih banyak pelaku usaha yang membuat logo halalnya sendiri, karena kesulitan dalam mendapatkan sertifikasi tersebut.
“Dengan adanya UU JPH muncul BPJPH atau Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal dengan target yang luar biasa 10 juta sertifikasi, tapi nyatanya masih 47 ribu sudah bulan November, ini yang menjadi kendala,” imbuhnya.
Aman menjelaskan fakta yang terjadi di lapangan adalah pelaku usaha membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mengurus sertifikasi namun tak kunjung mendapatkan sertifikasinya, juga dari pembiayaan yang masih menjadi tantangan. “Kita dunia usaha berharap bahwa industri halal itu menjadi lokomotif yang disupport sama keuangan syariah karena sistem syariah itu sistem yang berdasarkan nilai-nilai islam, bukan ownership,” tambah Aman.
Direktur Retail Banking Bank Syariah Indonesia (BSI), Ngatari mengatakan, Indonesia saat ini telah mewakili 11,34% dari pengeluaran ekonomi halal global dengan makanan menempatkan posisi terbesar belanja Indonesia yaitu sebesar USD135 miliar. Menurutnya, dengan peluang yang ada, BSI mampu mengejar market capital (kapitalisasi pasar) menjadi peringkat 10 dari peringkat 14 dunia di tahun 2025.
“Kita ada potensi di 46% penduduk Indonesia yang preferensi syariah, Jadi ada 20,6% preferensi halal syariah dan 25,6% dari universalist preferensi fungsional dan sosial,” ujar Ngatari.
Meski begitu, ia menunjukan data bahwa market perbankan syariah Indonesia masih terpantau rendah yakni baru sebesar 6,8% per Juli 2022, untuk pembiayaan sebesar 7,42%, serta dari sisi dana pihak ketiga (DPK) sebesar 7,43%. Tidak hanya itu, jaringan bank syariah di Indonesia saat ini baru mencapai 10% dari jaringan bank konvensional, yang artinya bank syariah baru memiliki sekitar 2.664 jaringan dari bank konvensional yang sebanyak 28.342 jaringan. Sehingga hal tersebut mendorong rendahnya literasi keuangan syariah.
“Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia market sharenya sudah 30,1%, Indonesia itu baru 6,74%, padahal penduduk islamnya banyak kita. Marilah kita membantu meningkatkan market share perbankan sharia di Indonesia,” katanya.
Chief Financial Officer Prudential Syariah Paul Kartono pun mengungkapkan, Indonesia sebagai negara yang memiliki penduduk muslim terbesar masih terbilang kecil dari segi aset keuangan syariah. Ada beberapa tantangan dalam mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah di Tanah Air.“Kalau kita bandingkan dengan Malaysia saja Malaysia itu jumlah penduduk muslimnya seperlima dari Indonesia mereka 40 juta, kita ada 250 juta tetapi aset keuangan syariahnya mereka lebih besar,” tambah Paul
Menurutnya, tantangan yang masih harus dihadapi oleh Indonesia untuk mengembangkan keuangan syariah yakni terkait dengan literasi sistem keuangan syariah yang berbeda dengan sistem keuangan konvensional. Pasalnya, para praktisi dari sistem keuangan syariah masih membandingkan untuk menawarkan produknya dengan konvensional tapi tidak menjelaskan secara keseluruhan mengenai sistem syariah.
“Itu yang menurut saya adalah tantangan terbesar padahal sebenarnya kalau kita melakukan literasi syariah secara langsung itu dampaknya akan lebih baik. Sebagai contoh bahwa pada saat menjual produk asuransi pada saat orang menjual asuransi yang ditawarkan adalah manajemen risiko asuransi sama dengan payung setelah Jelaskan baru belakangan menjelaskan ada yang versi syariah, itu akan menjadi hambatan,” jelasnya.
Melihat potensi jumlah penduduk muslim
yang besar dan indikator lainnya sudah
semestinya Indonesia bisa menjadi salah
satu pemain atau produsen industri halal
dunia dan jasa keuangan syariah. Namun
demikian, banyak pekerjaan rumah yang
mesti segera diselesaikan oleh segenap
stakeholders terkait. Mulai dari tingkat
literasi keuangan syariah yang masih
rendah, hingga masih kurang maksimalnya
pembiayaan syariah bagi pelaku industri
halal. (*)