Pentingnya Manajemen Risiko Operasional yang Ideal dan Selalu Dimutakhirkan

Pentingnya Manajemen Risiko Operasional yang Ideal dan Selalu Dimutakhirkan

Oleh Togi B. Girsang, Praktisi Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Kepatuhan 

Terdapat benang merah dari krisis Sambo (2022), krisis moneter (1998), dan krisis “Code Red” dalam film “A Few Good Man (1992)”. 

DALAM ketegangan yang dipicu Sambo, situasi krisis muncul ketika hierarki komando harus dijalankan secara mutlak. Sudah lebih dari satu motif dan skenario yang diidentifikasikan, namun semuanya membutuhkan pembuktian secara hukum dalam sidang pengadilan. Masyarakat pun makin memahami aturan dan norma yang berlaku karena makin dibiasakan untuk tidak memublikasikan informasi yang belum diuji kebenarannya dan pada akhirnya masyarakat telah menjadi bagian dari SDM yang dewasa dan bijaksana. 

Film “A Few Good Man” merupakan cerita fiksi yang memiliki banyak kemiripan dengan tokoh asli bernama David Cox. Film ini menceritakan seorang marinir (angkatan laut) dibunuh menggunakan skenario Code Red. Definisi asli dari Code Red adalah a violent extrajudicial punishment atau dapat disebut sebagai hukuman atas suatu tindakan yang dilakukan tanpa prosedur hukum yang wajar. Dalam kalimat yang lebih inklusif diinterpretasikan dengan tanda/sinyal untuk melaksanakan perintah khusus, yaitu hal yang tidak biasa, tidak melalui prosedur ideal, dan sekaligus perintah langsung yang sulit untuk dibantah dalam rangka memenuhi parameter/ukuran yang ditetapkan pimpinan pada saat itu. Dalam film ini, krisis yang ditimbulkan Code Red berujung pada kematian dan menimbulkan keguncangan tentang bagaimana menguji keabsahan perintah yang didasarkan hierarki komando. 

Uniknya, dari dua krisis ini terdapat beberapa nama tokoh yang memiliki makna yang sangat agamis dan bermakna mulia, baik makna terkait hubungan sesama manusia maupun dengan Sang Pencipta. Nama Yoshua dan Eliezer bersanding dengan nama Nathan dan Matthew. Ini menegaskan bahwa telah terjadi krisis identitas yang diletakkan orang tua atau pemberi nama yaitu ketika ditubrukkan dengan psycho-hierarchical dan psycho-politics.  

Pada tahun 1997 dan memuncak di tahun 1998, Indonesia mengalami krisis moneter yang sangat berat. Beberapa penyebab krisis yang telah dipublikasikan antara lain: 

  1. Situasi politik yang memanas dan mengganggu reputasi negara (country risk). 
  2. Sistem devisa yang bebas tanpa pengawasan memadai.  
  3. Masyarakat bebas membuka rekening valas untuk luar negeri dan dalam negeri. 
  4. Nilai mata uang rupiah melemah, khususnya terhadap dolar AS. 
  5. Perusahaan tidak dapat membayar utang jatuh tempo beserta bunganya. 

Di tahun yang sama terdapat 16 bank dinyatakan sebagai Bank Dalam Likuidasi, 4 bank BTO, 10 bank BBO, dan 39 bank BBKU. Bank Indonesia (BI) juga sudah menggelontorkan dana lebih dari Rp147 triliun. Banyak kesan yang diekspos bahwa kegagalan puluhan bank tersebut secara dominan dipicu oleh timbulnya kredit macet yang berawal dari kegagalan debitur membayar utang jatuh tempo dan bunganya. Baik regulator maupun praktisi memosisikan kredit macet semata-mata sebagai bagian dari risiko kredit. 

Jika ditelusuri lebih mendalam, maka terdapat banyak kelemahan dan gap yang sengaja atau tidak sengaja dibiarkan terbuka, khususnya dalam sistem penyelenggaraan perbankan saat itu. Perintah pimpinan, keinginan pemilik bank, superioritas pejabat setingkat cabang, hingga penyimpangan perilaku konsumtif sejumlah risk owner merupakan fakta-fakta yang dapat memperburuk tata kelola perusahaan yang dijalankan. Semua hal tersebut digiring oleh benturan kepentingan yang masif. Banyak persetujuan dan pencairan pinjaman (kredit/pembiayaan) ditengarai dilakukan oleh oknum pejabat bank kepada perusahaan atau oknum yang terafiliasi. 

Eksposur risiko operasional makin diperburuk pula dengan penetapan pejabat dan pelaksana fungsi pengendalian internal atau Satuan Kerja Audit Internal. Saat itu, satuan kerja ini dianggap sebagai pelengkap sehingga posisi-posisi ini diisi oleh SDM yang kurang kompeten, menuju masa pensiun, bahkan oknum yang tidak dapat diandalkan pada bidang apa pun.  

Merujuk pada definisi (paragraf dua), terdapat empat aspek utama dari manajemen risiko operasional yang berbenturan dengan Code Red, yaitu SDM, sistem atau TI, proses internal, dan kejadian eksternal. Kualitas SDM pemangku jabatan membutuhkan prosedur penyegaran (refreshment), baik terkait kompetensi (soft and hardskill) maupun komparasi pelaksanaan tugas dan fungsi yang ideal.

Sistem atau TI telah menjadi alat baku untuk mendukung keputusan, yaitu yang didasarkan pada parameter yang telah diuji dan dikalibrasi secara berkelanjutan. Proses internal berkaitan langsung dengan pedoman kerja atau sering disebut SOP. Kewajiban pemutakhiran SOP secara berkala telah ditegaskan dalam regulasi yang diterbitkan OJK. Tujuan spesifiknya adalah untuk mencegah dan mendeteksi secara dini kelemahan-kelemahan internal yang sangat mungkin disalahgunakan oknum tertentu.

Kejadian eksternal sering kali berada di luar kendali pemangku jabatan maupun pelaksana lapangan. Namun, kelemahan atau eksposur dari kejadian eksternal cenderung dapat dibatasi tingkat kerusakannya seiring dengan kuatnya proses internal, SDM, dan sistem yang mendukung operasional.

Kelemahan, kegagalan, dan/atau kealpaan menjaga kualitas empat aspek utama di atas berakibat langsung pada kerusakan tatanan dan kualitas yang sudah dibangun organisasi, termasuk manajemen risiko kredit/pembiayaan dan manajemen risiko lainnya. Tindakan teknis pengelolaan dan pengukuran risiko operasional dapat dilakukan melalui beberapa cara, misalnya menyelenggarakan Risk Control Self-Assessment, mencatat dan menganalisis Risk/Loss Event, dan menerapkan Key Risk Indicators.

Idealnya, sistem komando (hierarki/struktur organisasi) merupakan bentuk perintah untuk melaksanakan suatu keputusan, yang didasarkan pada prinsip-prinsip kehati-hatian, pemenuhan unsur kepatuhan, dan berdampak positif terhadap pencapaian rencana bisnis (kerja) yang dilaporkan secara berkala setiap tahun di November. Tendensi pemangku jabatan untuk bertindak melampaui kaidah, norma, dan peraturan yang sudah ditetapkan dapat diredam melalui penyelenggaraan manajemen risiko operasional yang ideal dan termutakhirkan secara berkala. (*)

Related Posts

News Update

Top News