Jakarta – Di tengah pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19, Indonesia telah diprediksi akan menghadapi ancaman hiper inflasi di bulan September 2022, akibat dari adanya lonjakan harga pangan dan energi.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI), Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan, laju inflasi Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Stastitik (BPS) hingga Juli 2022 berada di level 4,94% dari 4,35% di bulan sebelumnya. Angka tersebut juga diprediksi akan meningkat sekitar 5-6% pada bulan Agustus.
“Laju inflasi Indonesia berada di level 4,94% dan pada bulan Agustus diprediksi akan meningkat pada kisaran 5-6%. Bahkan pada bulan September 2022, kita diprediksi akan menghadapi ancaman hiper-inflasi, dengan angka inflasi pada kisaran 10-12%. Laju kenaikan inflasi, disertai dengan lonjakan harga pangan dan energi, semakin membebani masyarakat yang baru saja bangkit dari pandemi Covid-19,” ujar Bamsoet dalam Sidang Tahunan MPR-RI di Jakarta, 16 Agustus 2022.
Di sisi lain, ia juga menambahkan data beberapa kondisi fiskal dan moneter, pada pembayaran kupon dan jatuh tempo utang pemerintah, akan berdampak pada pengurangan cadangan devisa. Namun, posisi cadangan devisa Indonesia pada bulan Juli ini, masih senilai lebih dari dua kali lipat dari standar kecukupan internasional.
“Berdasarkan data bulan Juli 2022, kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri Indonesia sebesar 21,6 miliar US dollar per bulan. Lebih lanjut, posisi cadangan devisa Indonesia pada bulan Juli ini, masih senilai lebih dari dua kali lipat dari standar kecukupan internasional,” ungkap Bambang.
Oleh karena itu, Bambang menegaskan bahwa kondisi fiskal dan moneter Indonesia perlu menjadi perhatian dalam menghadapi potensi krisis global dan ketidakpastian masa pemulihan. Sehingga, diperlukan adanya strategi jangka pendek dan panjang untuk memastikan kondisi fiskal dan moneter tetap terjaga.
Baca juga : Krisis Rusia-Ukraina Ancam Stabilitas Pasar Keuangan Global
“Sebagai strategi jangka pendek, penyusunan prioritas dan re-alokasi anggaran secara tepat diperlukan. Kebijakan burden sharing tidak hanya dengan moneter, tetapi juga dengan dunia usaha, dapat menjadi opsi dalam upaya pembiayaan ketidakpastian di masa mendatang. Sementara itu, strategi jangka panjang membutuhkan perencanaan pembayaran utang setidaknya untuk 30 tahun kedepan, dan pada saat yang bersamaan, memastikan kondisi fiskal dan moneter tetap terjaga,” imbuhnya.(*) Khoirifa