Ahead The Curve, Sebuah Cerita Awal

Ahead The Curve, Sebuah Cerita Awal

 

Oleh Mukhamad Misbakhun, Anggota Komisi XI DPR RI

SEBAGAI Anggota DPR RI Komisi XI yang menjadi mitra kerja Bank Indonesia (BI), sejak menjadi Gubernur BI pada 2018, ada yang sangat spesifik yang disampaikan Perry Warjiyo sebagai key words policy, yaitu ahead the curve. It’s magic words. Sejenis kalimat mantra yang kemudian menjadi panduan bagi setiap monetary policy di bank sentral.

Terbukti, dua minggu setelah dilantik sebagai Gubernur BI, kebijakan (policy) loan to value (LTV) langsung diubah. Kebijakan yang mempunyai dampak langsung pada uang muka, down payment (DP), pembelian sektor perumahan dan otomotif langsung berubah. Di pasar properti dan otomotif ada kebijakan baru yang menjadi game changer atas kemandekan pertumbuhan di sektor tersebut. Sehingga, begitu kebijakan LTV diubah, maka terjadi kontribusi pergerakan sektor riil dari dua sektor tersebut pada pertumbuhan makro-ekonomi yang saat itu sangat membutuhkan darah segar dalam bentuk perubahan kebijakan.

Padahal, sejak 2014, ketika kembali masuk ke DPR periode 2014-2019, saya selalu menyuarakan kepada Gubernur BI saat itu, Agus D.W. Martowardojo, untuk melakukan perubahan terhadap dua hal, yaitu menurunkan BI Rate dan mengubah kebijakan soal LTV, supaya dorongan dari sisi fiscal policy dikombinasikan dengan monetary policy menjadi twin turbo booster penggerak pertumbuhan ekonomi. Namun, Gubernur BI saat itu bergeming. Tidak ada perubahan apa pun. Tekanan politik dari Komisi XI DPR RI tidak dianggap sebagai sebuah seriously concern oleh Gubernur BI saat itu.

Dalam diskusi dengan banyak senior mantan sentral bank high level officers, saya mendapatkan banyak dukungan soal perlunya BI melakukan perubahan kebijakan pada LTV dan BI Rate saat itu. Sampai saya punya kesimpulan yang sangat pribadi soal itu, sumbernya adalah politik. Karena Gubernur BI 2013-2018 dipilih dari periode presiden yang berbeda dengan kepentingan politik yang berbeda maka sangat mungkin juga punya agenda politik yang berbeda, walaupun BI menurut UU Dasar 1945 adalah lembaga bank sentral yang independen. Namun, siapa tahu isi dalamnya hati manusia.

Setelah terpilihnya Perry Warjiyo itu, pada 2018, setelah policy LTV dibongkar total, maka uang muka (DP) rumah dan mobil menjadi mungkin 0%, tergantung kondisi-situasi individual kinerja laporan keuangan lembaga pembiayaan yang memfasilitasi pembiayaan sektor tersebut ke konsumen. Berlanjut secara gradual BI Rate turun. Kemudian, istilah BI Rate berubah menjadi BI 7-day (Reverse) Repo Rate. Semacam bunga acuan The Fed Fund Rate di Amerika Serikat. Walaupun, penurunan BI 7-day (Reverse) Repo Rate tidak kemudian secara drastis ikut menurunkan lending rate kredit perbankan. Sebab, industri perbankan kita yang sangat suka dengan net interest margin (NIM) yang masih tinggi karena susah menekan efficiency cost sehingga menjadi beban debitur, yang ujungnya cost of fund jadi mahal.

Beban permasalahan cost of fund yang mahal bukan lagi di sisi pengambil kebijakan di makroprudensial, melainkan di sisi industri yang belum bisa membangun industri jasa keuangan yang efisien dan masih menjadikan suku bunga kredit yang tinggi sebagai sumber penerimaan pokok. Ini menjadi salah satu penyakit utama industri jasa keuangan kita sehingga perannya sebagai salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi makro bisa diukur limitasi. Kurang tendangannya. Apalagi setelah pelaku bisnis perbankan asyik menikmati instrumen Surat Utang Negara (SUN) sebagai sumber pendapatan baru yang menguntungkan dengan risiko minimum ketimbang menyalurkan dana pihak ketiga (DPK) menjadi kredit ke sektor riil.

Itu hanyalah sebuah light story. Cerita ringan dari sebuah magic words, ahead the curve. Sim salabim…abrakadabra… 

*) Tulisan ini adalah pandangan pribadi penulis.

Related Posts

News Update

Top News