Keran Ekspor CPO Dibuka, Potensi IPO Perusahaan Sawit Semakin Besar

Keran Ekspor CPO Dibuka, Potensi IPO Perusahaan Sawit Semakin Besar

Jakarta – Kebijakan pemerintah membuka kembali keran ekspor CPO saat ini memberikan potensi besar bagi perusahaan sawit untuk mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) guna mendapatkan tambahan modal baru melalui penawaran saham umum perdana (IPO).

Head Of Equity Research PT Ekuator Swarna Sekuritas David Sutyanto mengatakan, selain dukungan dari kenaikan harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), kinerja produsen minyak sawit akan meningkat karena pemerintah telah mengembalikan kebijakan ekspor CPO.

“Ini (membuka kembali ekspor-red) menjadi potensi besar bagi saham-saham yang mau IPO. Tetapi memang perlu dicermati juga iklim investasinya bagaimana. Tapi kalau emiten sawit sih, saat ini sedang booming, pasti ada saja yang mau beli,” ujarnya, dikutip 17 Juni 2022.

Sebelumnya, di awal tahun pemerintah menaikkan batas maksimal ekspor (domestic market obligation/DMO) dari 20 persen menjadi 30 persen dari total produksi. Saat ini, kebijakan kembali ke DMO 20 persen sejak 23 Mei 2022.

Dia mengatakan, untuk saham emiten sawit yang sudah terlebih dahulu tercatat di BEI hampir semua mencatatkan kenaikan harga. Dia mencontohkan, sejak awal tahun, harga saham PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) naik dari 9.000 menjadi 12.000 per saham. Saham PT London Sumatera Tbk (LSIP) menguat dari 1.100 menjadi 1.200 per saham.

Namun, David mengemukakan kenaikan harga saham emiten sawit memang tidak sebesar kenaikan harga CPO. Kondisi ini, menurutnya, terjadi karena pasar masih mencermati konsistensi kebijakan pemerintah. Sejumlah perusahaan sawit juga masih perlu waktu menegosiasikan kontrak baru yang sempat terputus akibat kebijakan menambah kuota larangan ekspor di awal tahun.

“Potensi kenaikan harga saham emiten sawit besar. Tetapi belum melonjak karena adanya kebijakan tadi. Nanti ada ngga boleh ekspor, ada DMO dan sebagainya. Ini yang membuat harganya melonjak tidak terlalu signfikan,” ujar David yang juga Ketua Umum Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI).

David pun meyakini dengan diterapkannya mekanisme pasar terbatas atau menambah kuota ekspor CPO menjadi 80 persen kembali, kinerja perusahaan sawit akan meningkat tahun ini dan cepat atau lambat akan diikuti oleh kenaikan harga saham emiten CPO.

“Pasti akan meningkatkan kinerja perusahaan sawit. Bayangkan saja, harga CPO di dunia meningkat signifikan. Otomatis di dalam negeri juga harganya ikut naik,” tambahnya.

Data Chicago Mercantile Exchange Group menunjukkan harga CPO naik signifikan sejak akhir 2020. Pada Desember 2020, harga CPO naik ke atas USD1.000 per Metrik Ton (MT) untuk pertama kali sejak Oktober 2012, yaitu ke posisi USD1.016,37  per MT. Kenaikan harga terus berlanjut dan untuk kontrak perdagangan tanggal 13 Juni 2022, harga CPO telah mencapai USD1.339,25 per MT.

Di sisi lain, dia mengatakan selain meningkatkan pendapatan produsen sawit, kebijakan pemerintah menerapkan mekanisme pasar juga akan mendapatkan harga efisien di dalam negeri. Tetapi, memang perlu pengawasan DMO 20 persen agar kemampuan industri di dalam negeri terlindungi.

Keuntungan lain, jelas David, mekanisme pasar akan mengurangi bahkan menghilangkan praktik mafia atau suap menyuap kebijakan ekspor karena tidak terjadi disparitas harga di dalam dan di luar negeri. Kondisi ini akan membantu masyarakat mendapatkan harga efisien.

Secara terpisah, sebelumnya Komisaris PT Nusantara Sawit Sejahtera (NSS), Robiyanto, mengatakan perusahaan perkebunan sawit ini juga akan menjadikan momentum kenaikan harga CPO untuk melepas saham ke publik di tahun ini. “Tujuannya adalah meningkatkan kapasitas bisnis dan memastikan tata kelola perusahaan menjadi lebih akuntabel dan transparan karena menjadi milik publik,” terang Robiyanto.

Manajemen menargetkan perolehan dana sebanyak-banyaknya Rp 900 miliar. Dana hasil IPO akan digunakan untuk membiayai kegiatan penanaman baru, baik di lahan inti, maupun meningkatkan kualitas tanaman plasma petani, serta pembangunan pabrik baru.

Dalam lima tahun ke depan atau tahun 2027, NSS menargetkan sudah memiliki lahan plasma seluas 9.500 ha, sebanyak 3 PKS dengan kapasitas masing-masing 60 ton per jam.

Sejalan perbaikan dari sisi industri sawit, pihaknya meyakini upaya perusahaan memenuhi sertifikat penerapan program lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG), yaitu ISPO, juga akan memperkuat kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di NSS. (*)

Related Posts

News Update

Top News