Oleh Ryan Kiryanto, Ekonom dan Staf Ahli Otoritas Jasa Keuangan
DALAM Majalah Finance and Development, terbitan Dana Moneter Internasional (IMF), edisi Juni 2022, Eswar Prasad, seorang profesor di Cornell University dan peneliti senior di Brookings Institution, Amerika Serikat (AS), mengatakan bahwa dolar AS mungkin tergelincir, tetapi akan terus mendominasi.
Pandangan Prasad rasanya tidak berlebihan. Faktanya, dalam situasi dan kondisi global seperti apa pun, dolar AS tetap dan selalu menjadi rujukan untuk berbagai kepentingan. Itu berlaku ketika sistem moneter internasional mungkin berada di ambang perubahan yang signifikan, dari kombinasi kekuatan ekonomi, geopolitik, dan teknologi.
Namun, perubahan lanskap global itu apakah akan menjatuhkan dolar AS dari posisinya sebagai mata uang internasional yang dominan, yang telah ada selama sebagian besar periode pasca-Perang Dunia II? Sejauh ini dolar AS tetap mendominasi setiap aspek keuangan global.
Hampir 60% dari cadangan devisa bank sentral dunia pada dasarnya diinvestasikan dalam aset berdenominasi dolar AS. Hampir semua kontrak komoditas, termasuk untuk minyak, dihargai dan diselesaikan dalam dolar AS. Singkat kata, dolar AS digunakan untuk mendenominasi dan menyelesaikan sebagian besar transaksi keuangan internasional.
Keunggulan dolar AS memberi AS kekuatan dan pengaruh yang besar. Lantaran hampir setiap transaksi menggunakan dolar AS dan selalu melibatkan sistem perbankan AS, maka pemerintah AS dapat menghukum berat negara-negara, seperti Iran dan Rusia, dengan menjatuhkan sanksi yang membatasi akses mereka ke ekosistem keuangan global. Itu juga berarti bahwa kebijakan fiskal dan moneter pemerintah AS memengaruhi seluruh dunia karena pengaruh dolar AS.
Perubahan yang terjadi
Seiring berjalannya waktu, tanpa disadari, sesungguhnya supremasi ekonomi AS terhadap perekonomian global sudah menyusut. Ekonomi AS sekarang menyumbang sekitar 25% dari produk domestik bruto (PDB) global atau turun dari sebelumnya yang sebesar 30% pada tahun 2000. Memang, fokus kekuatan ekonomi, yang diukur dengan pangsa output dan perdagangan global, telah bergeser ke arah ekonomi pasar negara berkembang, yang dipimpin oleh Tiongkok, selama lebih dari dua dekade.
Saat ini kontribusi ekonomi Tiongkok sebesar 17,8% terhadap PDB global. Posisi selanjutnya ditempati Jepang dan Jerman yang masing-masing berkontribusi sebesar 5,4% dan 4,5%. Inggris menyusul di posisi selanjutnya dengan kontribusi sebesar 3,3%.
Kekuatan ekonomi AS yang terbesar di dunia itulah yang memosisikan dolar AS menjadi basis alat pembayaran internasional, dalam hal ini dolar AS berstatus sebagai mata uang kuat yang sering dipergunakan (hard currency).
Perlu diketahui bahwa hingga saat ini setidaknya terdapat 180 mata uang yang diakui oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Dari sekian banyak mata uang ini, mata uang yang paling banyak diperdagangkan di dunia adalah dolar AS (US$). Sebabnya, banyak mata uang yang menggunakan dolar AS sebagai acuan dalam menentukan tinggi-rendahnya nilai tukar mata uang masing.
Dalam sistem perdagangan internasional, aktivitas ekspor dan impor menggunakan dolar AS sebagai basis pembayaran, kecuali di perjanjian lain. Beberapa negara secara bilateral membuat perjanjian terkait penggunaan mata uang yang dipakai sebagai alat pembayaran. Sistem local currency swap menjadi dasar penggunaan mata uang bagi dua negara yang melakukan kegiatan ekspor dan impor. Akibatnya, ketergantungan pada dolar AS akan menurun.
Seiring dengan perubahan tersebut, keunggulan dolar AS dalam denominasi berbagai transaksi akan menurun. Sebagai contoh, penetapan harga kontrak minyak dalam dolar AS menjadi kurang penting, dalam hal ini Tiongkok dapat menggunakan renminbi untuk membayar pembelian minyaknya dari Rusia atau Arab Saudi.
Di luar dolar AS sebagai mata uang untuk transaksi pembayaran lintas negara, masih terdapat beberapa mata uang yang juga sering dijadikan alat pembayaran internasional. Sebut saja euro Eropa (EUR), yen Jepang (JPY), pound Inggris (GBP), franc Swiss (CHF), dolar Kanada (CAD), dan dolar Australia (AUD).
Dengan dimasukkannya renminbi Tiongkok sebagai salah satu mata uang global oleh IMF, maka kini renminbi juga bisa dijadikan sebagai mata uang pembayaran internasional, mengacu pada perjanjian kontrak tata cara pembayaran.
Hingga saat ini renminbi telah memiliki beberapa kemajuan sebagai mata uang internasional. Mata uang Tiongkok ini telah digunakan untuk sebanyak 3% dari transaksi pembayaran internasional, dan sebanyak 3% dari cadangan devisa global disimpan dalam renminbi.
Langkah-langkah keunggulan renminbi seperti itu hampir pasti akan meningkat ketika ekonomi Tiongkok dan pasar keuangannya tumbuh dan investor asing, termasuk bank sentral, mengalokasikan sebagian besar portofolio mereka ke dalam aset berdenominasi renminbi, sekaligus sebagai strategi diversifikasi. Ketegangan politik AS dan Tiongkok menyusul perang dagang telah menimbulkan kekhawatiran bahwa penggunaan renminbi di negara-negara luar kontinental AS akan semakin menguat.
Prospek ke Depan
Untuk masa mendatang, kemungkinan tetap akan ada permintaan yang kuat dan bahkan meningkat untuk ketersediaan dolar AS sebagai aset aman (safe heaven) yang likuid, didukung oleh negara berkekuatan ekonomi terbesar di dunia dengan sistem keuangan tepercaya. Meskipun demikian, diversifikasi terhadap mata uang kuat non-dolar AS tetap menjadi kebutuhan taktis mengacu pada perjanjian kontraknya.
Valuasi dolar AS terhadap mata uang kuat dunia lainnya pun relatif terjaga dan cenderung stabil mengacu pada fundamentalnya. Masuk akal apabila bank-bank sentral di negara-negara berkembang cenderung memupuk cadangan devisa dalam denominasi dolar AS untuk pemenuhan kewajiban internasional negara tersebut, terutama untuk pembayaran utang luar negeri dan pembayaran kebutuhan impor.
Investor asing, termasuk bank-bank sentral, memegang sekitar US$8 triliun surat utang pemerintah AS. Secara keseluruhan kewajiban keuangan AS kepada seluruh dunia berjumlah US$53 triliun. Karena kewajiban ini dalam mata uang dolar AS, maka penurunan nilai dolar AS tidak akan membuat perbedaan tajam dengan jumlah utang AS, tetapi akan mengurangi nilai aset tersebut dalam mata uang negara-negara yang memilikinya. Kepemilikan Tiongkok atas obligasi pemerintah AS, misalnya, akan bernilai lebih rendah dalam renminbi.
Alhasil, peran dolar AS sebagai mata uang cadangan yang dominan diperkirakan tetap eksis. Dengan demikian, meskipun posisi AS adalah debitur bagi seluruh dunia, namun penurunan nilai mata uangnya akan memberikan “berkah” bagi AS dan sebaliknya “kerugian” besar bagi seluruh dunia selaku kreditur.
Pun, ketika ekosistem perekonomian global stabil, posisi dolar AS juga relatif stabil terhadap mata uang kuat dunia lainnya. Namun, ketika lanskap perekonomian global mengalami ketidakpastian (seperti terjadi saat ini seiring dengan kenaikan risiko geopolitik perang Rusia-Ukraina), maka kebutuhan dolar AS meningkat signifikan. Valuasi dolar AS pun melonjak drastis. Di lain sisi, mata uang kelompok negara sedang berkembang tertekan terhadap dolar AS.
Kesimpulannya, baik sebuah negara maupun sebuah korporasi harus mampu menjaga kecukupan posisi kepemilikan dolar AS-nya untuk berbagai kebutuhan bisnis. Maklum, dalam situasi apa pun, memegang dolar AS dirasakan lebih nyaman daripada tidak memegang sama sekali, meskipun kepemilikan mata uang denominasi non-dolar AS berlimpah-limpah. (*)