Solo – Problem utama Bank Perkreditan Rakyat (BPR) terkait permodalan bisa diatasi jika regulasi terkait rural bank itu diubah. Yakni, dengan memperbolehkan BPR/BPRS melantai di bursa untuk mendapatkan dana segar dari publik.
Saran tersebut disampaikan oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Institute, dalam diskusi “Memperkuat Industri BPR/BPRS Menuju Go Public” yang diselenggarakan oleh Paguyuban Pemegang Saham dan Komisaris BPR/BPRS Solo Raya, di Solo, Rabu, 25 Mei 2022.
Dalam diskusi yang diawali dengan acara soft launching buku biografi “Kepeloporan dan Keteladanan Bankir Wymbo Widjaksono” itu, Eko menegaskan perlunya amandemen Undang-Undang Perbankan.
“Undang-undang Perbankan Tahun 2010 perlu diamandemen dengan Undang-undang Cipta Kerja. Ini menjadi syarat mutlak dan menjadi pintu masuk bagi BPR/BPRS bisa melantai di bursa saham,” ujar Eko B. Supriyanto.
Seperti diketahui, sesuai UU Perbankan tahun 2010, BPR/BPRS tidak diperkenankan dimiliki oleh asing, sehingga peluang mendapatkan permodalan melalui go public menjadi tertutup.
”Sektor UMKM tidak boleh dimiliki asing sudah tidak relevan lagi. Itu kan asalnya UU Perbankan tahun 1968 dan terus dibawa sampai UU Perbankan tahun 2010. Zaman sudah berubah, apalagi sering kita dengar BPR kurang modal, kalau kurang modal salah satunya ya go public,” tegas Eko yang juga menyebut aturan BPR tak berbeda dari bank umum.
Padahal, kata Eko, permasalahan utama BPR/BPRS selama ini adalah terkait permodalan. Diperlukan suntikan modal besar agar BPR/BPRS bisa berkompetisi dengan perbankan umum, fintech, dan lembaga pembiayaan, yang sekarang semakin kencang penetrasinya ke kantong-kantong BPR/BPRS.
Apalagi, sesuai POJK No 5/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimun BPR, BPR/BPRS mempunyai kewajiban untuk memenuhi persyaratan modal ini.
Merujuk pada POJK tersebut, modal inti BPR minimal Rp3 miliar sampai tahun 2019, dan Rp6 miliar sampai akhir tahun 2024. Jika ini diterapkan secara saklek, akan banyak BPR/BPRS yang akan gulung tikar, atau dijual.
“Dijual pun susah, karena investor lokal yang memiliki kapital besar tidak banyak. Kalau pun ada, mereka sudah investasi di bank umum atau lembaga keuangan lainnya yang memiliki potensi berkembang lebih cepat,” tegas Eko.
Saat ini, investor yang masih memiliki peluru banyak untuk investasi di sektor keuangan di Indonesia adalah investor asing. Hanya melalui mekanisme pasar modal investor asing bisa masuk ke BPR/BPRS, dan sayangnya, itu terhambat dengan regulasi yang melarang kepemilikan asing.
“Padahal, dengan suntikan modal besar, BPR/BPRS akan semakin kompetitif menghadapi persaingan dengan bank umum, fintech, dan lembaga keuangan lainnya. BPR/BPRS bisa melakukan ekspansi secara masif,” ujar Eko.
Eko berharap, pemerintah dan DPR membuka peluang untuk melakukan amandemen terhadap UU Perbankan tahun 2010 yang masih “membelenggu” ruang gerak BPR/BPRS. Hanya dengan amandemen, persoalan utama dan klasik di BPR/BPRS bisa menemukan titik terang.
”Itu bisa diikutkan dalam revisi UU Bank Indonesia, UU Perbankan, dan UU OJK serta UU LPS. Pasal BPR boleh dimiliki asing jangan dilupakan,” lanjutnya
“Sudah saatnya BPR/BPRS go public. Semua pihak perlu mendorong hal ini. Sudah saatnya BPR/BPRS diberi ruang gerak yang sama dengan lembaga keuangan yang lain untuk memberi pembiayaan masyarakat khususnya sektor UMKM,” tutup Eko. (*) DW