Jakarta – Pemimpin negara-negara G20 dan komunitas bisnis global didesak untuk lebih aktif dalam mempromosikan tata kelola berkelanjutan (sustainable governance) dalam bisnis, untuk mendukung inisiatif Environmental, Social and Governance (ESG). Perubahan iklim yang terjadi secara masif telah menjadi masalah menyeluruh yang terus mempengaruhi kehidupan global. Hal ini adalah salah satu masalah paling mendasar yang dibahas dalam rangkaian Presidensi G20 Indonesia pada tahun 2022.
Terkait hal ini, Ketua Dewan Pengurus Nasional Ikatan Akuntan Indonesia (DPN IAI) Mardiasmo dalam webinar internasional yang bertema “Optimizing Sustainability Governance through a Single Set of High-Quality Global Sustainability Reporting Standards” mengatakan, profesi akuntan harus memainkan perannya untuk berkontribusi pada upaya global dalam mengurangi emisi karbon. Akuntan dinilai memiliki skill set yang tepat untuk melakukan mitigasi perubahan iklim melalui pelaporan keberlanjutan (sustainability reporting).
“Saya percaya, untuk mencapai target net zero emission dalam mengatasi perubahan iklim dan menjaga keberlanjutan, keberadaan tata kelola berkelanjutan (sustainable governance) yang kuat dan kokoh sangat penting,” jelas Mardiasmo, seperti dikutip Selasa, 12 April 2022.
Mardiasmo mengungkapkan, para pemangku kepentingan utama seperti IFAC dan IFRS Foundation, serta para pemimpin G20, telah mengambil langkah aksi guna mencapai solusi yang dapat diberikan khususnya dari profesi akuntansi. Pada November 2021, IFRS Foundation mengumumkan inisiasi untuk membentuk International Sustainability Standards Board (ISSB) yang akan mengembangkan baseline global yang komprehensif sebagai standar pengungkapan berkualitas tinggi untuk memenuhi kebutuhan investor.
Fakta bahwa pembentukan ISSB berada di bawah struktur tata kelola IFRS Foundation dimana International Accounting Standards Board (IASB) beroperasi sebagai standard setter, semakin menyoroti peran penting IAI yang saat ini diamanatkan sebagai penyusun Standar Akuntansi Keuangan, untuk memimpin implementasi atas inisiatif ISSB. Karena itu, pada Desember 2020 IAI telah membentuk Task Force Comprehensive Corporate Reporting (TF CCR) IAI yang beranggotakan multistakeholder di Indonesia termasuk regulator, penyusun laporan keuangan, dan organisasi profesi akuntansi.
Mardiasmo menambahkan, dinamika global akhir-akhir ini telah menghadirkan ancaman yang semakin signifikan terhadap bisnis dan lingkungan sosial. “Dunia membutuhkan kita, akuntan profesional untuk memitigasi semua ini. Akuntan harus memimpin pelaporan iklim dan pengungkapan ESG lainnya, karena akuntan berada di pusat informasi; akuntan memiliki keterampilan dan kompetensi yang relevan; akuntan terhubung secara global; dan akuntan tunduk pada kode etik yang diterima secara global,” pungkasnya.
Pada kesempatan yang sama, Chair B20 Indonesia Shinta W. Kamdani memandang pentingnya pelaporan keberlanjutan untuk kalangan bisnis. Pelaporan ini, jelas dia, menunjukkan dukungan komunitas bisnis terhadap upaya global dalam perubahan iklim. Menurut CEO Sintesa Group itu, upaya membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius, mencapai ekonomi dengan net zero emission, mengakhiri ketergantungan bahan bakar fosil, dan mengurangi dampak iklim kepada masyarakat, memerlukan sistem pemeriksaan serta pelaporan yang sistematis dan berkualitas tinggi.
Selain itu, pelaporan keberlanjutan ini juga membantu bisnis untuk mengevaluasi kemampuan adaptasinya terhadap transformasi ekonomi. Dunia sedang mengantisipasi perubahan dalam penawaran dan permintaan bisnis, alokasi dan pengeluaran modal, biaya produksi, model bisnis dan tata kelola karena adanya transformasi hijau besar-besaran. Laporan keberlanjutan akan membantu bisnis untuk mencerminkan strategi bisnis, tentang apa yang salah dan apa yang telah dilakukan dengan benar. Terutama dengan standar pelaporan yang berkualitas tinggi, bisnis akan dilengkapi dengan baik dengan gambaran yang cukup besar.
Tidak kalah penting, pelaporan berkelanjutan akan meningkatkan kehadiran bisnis di antara pelanggan. Mengutip studi terbaru oleh IBM Institute for Business Value, Shinta mengatakan bahwa keberlanjutan telah mencapai titik kritis di mana konsumen semakin merangkul penyebab sosial dan lingkungan dalam konsumsi mereka. Enam dari konsumen bersedia mengubah kebiasaan belanja mereka untuk mengurangi dampak lingkungan dan lebih dari 70 persen akan membayar lebih untuk merek dan produk berkelanjutan.
Haryanto Budiman, Chairman TFIC pun menambahkan, TFIC memiliki dua policy action utama terkait sustainable reporting. Pertama adalah meningkatkan langkah-langkah tata kelola yang berkelanjutan dimana TFIC merekomendasikan G20 untuk mendukung langkah-langkah keberlanjutan standar dalam upaya kepatuhan untuk bisnis di berbagai sektor. Di dalam prakarsa tersebut juga terdapat berbagai penekanan untuk mendorong langkah-langkah keberlanjutan.
Kedua, mengoptimalkan aspek pengungkapan dan pemantauan kepatuhan tata kelola yang berkelanjutan. Menurut Haryanto, poin ini sangat menekankan negara-negara G20 untuk mendukung upaya berkelanjutan untuk mempromosikan pedoman pelaporan keberlanjutan yang terstandarisasi dan diterima secara global, penerapan praktik pelaporan terintegrasi antara kinerja keuangan dan non-keuangan, inisiatif dalam memberikan assurance terhadap laporan yang telah ditetapkan; dan upaya sosialisasi di daerah. (*)