oleh Agung Galih Satwiko
PROGRAM Quantitative Easing (QE) yang dimulai oleh AS pascakrisis subprime mortgage tahun 2008 lalu berhasil membawa kembali sektor ketenagakerjaan AS menjadi lebih baik. Tingkat pengangguran di AS yang sempat menyentuh level tertinggi pascakrisis 2008 yaitu di sekitar 10% pada bulan Oktober 2009, terus turun hingga mencapai 5%, data terakhir. Demikian juga dengan data klaim pengangguran (jobless claim) yang sempat menyentuh 665.000 pada bulan Maret 2009 terus menurun hingga data terakhir menyentuh level 267.000 orang, level yang bahkan lebih rendah daripada sebelum krisis. Sementara itu pertumbuhan eknomi AS yang sempat kontraksi terdalam pada Q2 2009 terus meningkat dan stabil di sekitar 2%.
Kombinasi kebijakan penurunan tingkat bunga acuan dan pembelian asset termasuk UST oleh the Fed tampaknya mampu menambah likuiditas yang berdampak ke pemulihan ekonomi dan tidak hanya berputar di pasar keuangan, walaupun spill over ke pasar keuangan global tetap ada. Dampak QE memang tidak hanya terasa di AS namun juga di Negara lain khususnya Negara berkembang yang mengalami peningkatan harga aset finansial.
Kebijakan QE kemudian diikuti oleh Eropa dan juga Jepang. Namun demikian hasil yang diperoleh dari penerapan kebijakan QE di Eropa dan Jepang tidak seperti yang diharapkan sebagaimana terjadi di AS. QE di Jepang yang dimulai pada tahun 2013 dan diperluas pada Oktober 2014, pada awalnya sempat membuat Yen melemah terhadap USD, sehingga membantu ekspor dan ekonomi Jepang, namun belakangan seiring meningkatnya volatilitas asar keuangan dan gloomy outlook terhadap pertumbuhan ekonomi global, mata uang Yen justru menguat karena dipandang sebagai safe haven.
Efektivitas QE di Jepang juga dipertanyakan karena dampaknya terhadap ekonomi yang minim. Inflasi sejak pertengahan tahun 2014 terus turun dan berada di sekitar 0% sejak pertengahan tahun lalu. Pertumbuhan ekonomi tidak stabil dan trennya menurun, Q4-2015 tercatat sebesar 0,7%. Kurs JPY terhadap USD yang sempat melemah sejak September 2012 justru kembali menguat sejak Agustus tahun lalu. Bahkan Yen saat ini lebih kuat dibandingkan sebelum ekspansi QE pada bulan Oktober 2014.
Para ekonom dan juga pembuat kebijakan di Jepang saat ini tengah menimbang berbagai opsi yang tersedia untuk memulihkan ekonomi Jepang dan meningkatkan efektivitas QE. Apresiasi Yen dan juga pelemahan di pasar saham belakangan ini membuat ekonom mencoba melihat kembali opsi kebijakan yang tersedia, yang sebagaimana dilaporkan Bloomberg, antara lain mencakup:
1. Memperluas pembelian obligasi negara/ JGB (Japan Government Bonds)
Opsi ini meningkatkan likuiditas uang beredar di pasar keuangan dan diharapkan dapat meningkatkan inflasi serta ekonomi secara keseluruhan. Namun demikian investor menyampaikan komplain bahwa pembelian obligasi telah membuat yield menjadi semakin rendah dan semakin negatif, mengurangi likuiditas JGB di pasar sekunder, dan meningkatkan volatilitas. Dominasi yield yang semakin rendah dan negative mendistorsi ekonomi karena obligasi korporasi pun yield-nya turut menjadi semakin rendah, yang tidak sesuai dengan fundamental korporasi tersebut. Memperluas pembelian JGB akan membuat JGB semakin terbatas bagi investor, dan membuat pasar JGB tersaturasi dengan pemegang terbesar adalah BOJ.
2. Menurunkan tingkat bunga lebih dalam (lebih negatif)
Kebijakan tingkat bunga negative dilakukan pertama kalinya di Jepang oleh BOJ pada bulan Januari lalu, dimana untuk excess reserves di bank sentral akan dikenakan bunga minus 0,10%. Meskipun secara teoritis (interest rate parity) kebijakan ini seharusnya memperlemah Yen, namun dalam kenyataannya tidak seperti yang diharapkan. Yen justru menguat, bahkan year to date 2016 Yen menguat sekitar 10% terhadap USD. Penurunan tingkat bunga acuan menjadi lebih negative sempat disebutkan oleh Gubernur BOJ merespons dampaknya terhadap ekonomi yang belum terlihat. Gubernur BOJ menyebutkan bahwa BOJ siap untuk menurunkan tingkat bunga acuan hingga menjadi minus 0,50% jiika diperlukan. Meskipun hal ini menunjukkan respons yang baik bahwa bank sentral akan melakukan langkah yang diperlukan untuk memulihkan ekonomi, namun penurunan lebih dalam akan semakin membuat profitabilitas bank turun dan menekan pasar uang.
3. Memperluas pembelian aset mencakup aset berisiko
Memperluas pembelian aset berisiko yang mencakup ETF dan saham merupakan opsi lain yang tersedia. BOJ sudah melakukan pembelian aset berisiko tersebut dalam jumlah yang moderat. Memperluas cakupan pembelian aset berisiko akan mengurangi tekanan likuiditas pada pasar JGB, namun kembali akan menekan likuiditas pasar ETF dan saham. Belum lagi jika memperhitungkan bahaya yang mungkin timbul pada neraca BOJ akibat penurunan harga ETF atau saham di kemudian hari.
4. Helicopter money.
Opsi ini belum merupakan opsi radikal, dimana Pemerintah Jepang menerbitkan obligasi kepada BOJ dengan tingkat bunga super rendah bahkan 0%, kemudian Pemerintah akan menggunakan dana tersebut untuk melakukan belanja fiscal yang lebih tepat sasaran, dan menyentuh langsung kepada masyarakat. Kebijakan seperti subsidi, bantuan langsung tunai, dan program lain yang bersentuhan langsung dengan kesejahteraan masyarakat diharapkan akan meningkatkan daya beli sehingga ekonomi dapat bergerak. Namun demikian kebijakan ini pun bukan tanpa sisi negative, dimana debt to GDP Jepang yang sudah di atas 200% (227,9% pada akhir tahun 2015) dan saat ini adalah yang tertinggi di seluruh dunia, tentu akan semakin meningkat dan mengancam ketahanan fiskal Jepang. Utang per kapita Jepang saat ini sudah mencapai 8 juta Yen per orang. Selain itu hal ini juga menimbulkan pertanyaan independensi bank sentral yang menjadi sumber pembiayaan Pemerintah.
Opsi kebijakan manapun yang diambil nantinya tentu harus disesuaikan dengan kondisi spesifik di suatu Negara. Kebijakan QE yang cukup berhasil di AS tidak serta merta akan memberikan dampak yang sama di Negara lain karena perbedaan fundamental ekonomi, kondisi pasar keuangan, bahkan perbedaan budaya.
(Disarikan dari Bloomberg dan sumber lainnya)