Jakarta – Gejolak harga sejumlah komoditas pangan yang terjadi belakangan ini, mengingatkan kembali akan ketahanan pangan yang rapuh karena masih bergantung impor. Klaim soal swasembada pangan yang kerap digembor-gemborkan Pemerintah pun dipertanyakan sejumlah pihak. Alih-alih hanya mengklaim keberhasilan, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian diminta serius membenahi produksi komoditas pangan.
Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) Firman Subagyo mengungkapkan, bahwa parlemen sudah jauh-jauh hari mengingatkan pemerintah khususnya Kementan soal pentingnya produksi pangan untuk ketahanan pangan nasional. Bahkan, sebelum datangnya pandemi dan konflik Rusia – Ukraina yang membuat harga komoditas pangan terdongkrak. Untuk itu, dirinya menyarankan agar persoalan ini bisa dievaluasi kembali.
“Inikan selalu menjadi satu kontroversi. Kalau kita mengatakan produksi pangan kita baik kenapa Indonesia mesti mengimpor. ini yang harus dievaluasi. jangan kita bilang surplus, tetapi barangnya tidak ada. Kalau memang ada surplus, barangnya ada dimana? Ayo kita cek dan lihat secara bersama-sama. Kita tidak cukup hanya dengan statemen,” ujar Firman dikutip 8 Maret 2022.
Melihat hal ini, ia pun mempertanyakan kinerja Pemerintah yang seharusnya fokus mengamankan produksi pangan. “Kalau kita tidak menyiapkan diri sebaik-baiknya maka akan muncul dua krisis besar di dunia ini yaitu krisis energi dan juga krisis pangan,” ucapnya.
Ia melihat, produksi pangan Indonesia belum bisa diharapkan. Menurutnya, untuk mencapai swasembada pengan memang bukan perkara mudah. Tapi, Indonesia harus mempersiapkan dengan maksimal. Langkah yang seharusnya dilakukan pemerintah, kata Firman, adalah menginventaris seluruh lahan yang memungkinkan untuk digunakan sebagai lahan produksi pangan.
“Ukurannya sangat sederhana. Kalau 2019 yang lalu, anggaran (Kementan) kan sekitar Rp6 triliun, sekarang sudah puluhan triliun. Dengan anggaran puluhan triliun itu sangat mudah mengukurnya. Kementan itu outputnya produksi pangan, kalau sampai sekarang itu kita masih impor, berarti itu kegagalan, ada miss management,” tandasnya.
Polisi Partai Golkar ini merujuk pernyataan PBB yang sempat merilis soal pentingnya mengantisipasi kebutuhan pangan, sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat signifikan. Negara dengan jumlah penduduk yang besar seperti Indonesia pun diminta bersiap karena diyakini akan lebih merasakan dampaknya. “Kita tidak boleh bergantung pada negara lain karena impor,” paparnya.
Senada, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas menuturkan, gejolak kenaikan harga sejumlah komoditas yang terjadi belakangan, lebih banyak terjadi akibat faktor dari perdagangan komoditas secara global. Kenaikan harga makin terasa mengingat untuk komoditas pangan, Indonesia sangat mengandalkan pasokan impor.
“Gandum, bawang putih hampir 100% impor, kedelai 97% impor, gula 70% impor, daging lebih dari 50% impor. Ketika harga dunia naik setelah pandemi, pasti kita akan kena imbas,” tambah Ketua Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) itu.
Kerentanan akan ketahanan pangan makin membesar, kata Dwi, dengan sejumlah peristiwa yang tak terprediksi dan di luar kemampuan pemerintah untuk mengontrolnya. Ia mencontohkan, hal ini terjadi pada komoditas kedelai yang harganya tetiba melonjak karena turunnya produksi dunia. Dengan kurangnya produksi, tak hanya harga kedelai yang naik, harga minyak nabati lainnya, seperti minyak sawit, pun ikut terkerek naik.
Idealnya, kata Dwi, kebutuhan pangan dalam negeri bisa dipenuhi oleh petani dalam negeri. Namun, lanjutnya, hal ini sangat sulit terjadi karena tingginya disparitas harga pangan produsi dalam negeri dengan produk impor. Ia pun melihat, upaya peningkatan produksi dalam negeri sendiri terutama oleh Kementerian Pertanian, baru sebatas retorika belaka.
“Memang ada contohnya jika Kementerian Pertanian pernah berhasil? Segala macam program, hanya sekadar program semata. Kebijakan (wajib tanam) dan target swasembada bawang putih saja, gak jelas lagi hasilnya,” jelas Dwi.
Ketidakberhasilan peningkatan produksi sendiri, kata Dwi, bisa dilihat dari data impor 8 komoditas pangan utama yang terus meningkat. Ia menyebut, pada tahu 2008, ada 8 juta ton komoditas pangan yang diimpor. Sepuluh tahun kemudian, volumenya melonjak mencapai 27,6 juta ton.
Sedikit menurun di tahun 2019 menjadi 25 juta ton, kemudian kembali meningkat menjadi 26 juta ton di 2020 dan naik lagi menjadi 27,7 juta ton di 2021. Selain meningkatnya permintaan, kenaikan impor pangan ini terjadi karena adanya disparitas harga komoditas pangan lokal dan impor.
Lebih murahnya harga komoditas pangan dengan sejumlah insentif tarifnya, lanjut Dwi, membuat petani pun lama kelamaan enggan berproduksi.
Akibat rendahnya produksi pangan, Peneliti INDEF Rusli Abdullah menyatakan, importasi pun mau tak mau jadi andalan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus meningkat. Sayangnya, importasi sendiri, menurut Rusli kerap dilakulan tanpa timing yang tepat. “Selama pandemi tidak ada timeline yang benar soal impor, justru dilakukan saat panen (dalam negeri) berlangsung,” tuturnya.
Menurutnya, untuk melakukan impor dengan tepat, Kementan sudah sehatusnya menyediakan data yang valid. Ia menegaskan, data yang valid dibutuhkan agar ketika impor dilakukan tidak menggempur harga petani. “Kalau kita butuhnya 40, impornya 60, ya kasihan petaninya,” kata Rusli.
Ia mencontohkan, pada tahun 2018, Pemerintah sudah mengunakan citra satelit untuk menghitung luas lahan padi. Hal ini menghasilkan hitungan yang lebih akurat terkait lahan dan produksi beras. “Sekarang beras aman.Tak ada kisruh kenaikan harga sejak 2018. Karena data yang valid dikeluarkan oleh BPS. Jadi tak bisa main-main lagi sekarang,” imbuhnya. (*)