Oleh Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank
NAMA-NAMA yang lolos menjadi Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK OJK) sudah diumumkan. Ada 33 nama yang lolos tahap II. Pada tahap II – seleksinya – antara lain meliputi rekam jejak, masukan masyarakat, dan makalah. Tahap III test assesment dan kesehatan, gugur empat nama. Kini calon yang akan ikut seleksai tahap IV sebanyak 29 calon. Mereka akan ikut test wawancara, dan pada akhirnya akan ada 21 nama yang dikirim ke Presiden.
Ketua Panselnya, tetap sama, seperti periode sebelumnya, Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan. Anggota Pansel periode 2022-2027, ada Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjoyo, Dody Budi Waluyo, Kartiko Wirjoatmodjo, Suahasil Nazara, M. Chatib Basri, A. Prasetyantoko, Ito Warsito dan Julian Noor.
Tidak diragukan Tim Pansel. Kredibilitasnya tingkat “dewa”. Namun, ketika melihat nama-nama yang lolos tahap II, masyarakat sektor keuangan bertanya-tanya, kok yang lolos kebanyakan dari BI dan Kemenkeu – termasuk para pensiunannya. Sementara, yang dari OJK gugur sebelum perang.
Menurut data Infobank Institute, pada tahap II, ada 6 orang dari BI, 6 orang dari Kemenkeu, 5 profesional non-BUMN, BUMN dan entitas terkait 7 orang, dan 5 orang dari kementerian dan lembaga. Sedang dari OJK ada 5 calon. Dua patahana dan tiga pejabat OJK dari BI dan Kemenkeu serta profesional. Meski test tahap III (tes kesehatan dan asesmen), ada empat yang gugur, dua orang dari ex-Kemenkeu, satu orang profesional dan satu orang dari OJK (ex-Kemenkeu)
Keputusan panitia seleksi bersifat final, mengikat dan tidak dapat diganggu gugat. Namun Jika dipetakan dari asal usulnya, termasuk para pensiunan, unsur BI dan Kemenkeu mendominasi.
Banyak sudut pandang melihatnya. Satu, tidak ada yang lolos dari OJK (meski sudah 10 tahun berkarir di OJK) di tingkat deputi komisioner atau kepala departemen – di bawah komisioner pengawasan; Pansel memandang atau menganggap pengawasan industri jasa keuangan (IJK) belum berhasil. Sedang yang lolos bukan dari pengawasan, melainkan dari support. (untuk ditingkat kepala departemen)
Tapi, kenapa Tirta Segara dan Hoesen lolos, bisa jadi, periode sebelumnya, Ketua Panselnya sama, Sri Mulyani Indrawati – sehingga tak bisa “meragukan” pilihannya. Atau, paling tidak lolosnya dua nama itu untuk kesinambungan OJK, seperti Nuraida yang tetap untuk melanjutkan dua periode. Apakah ini nanti dua nama, atau satu nama. Kata Ebiet G. Ade, ”Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang”.
Dua, dominasi orang BI dan Kemenkeu bisa jadi karena dua lembaga itu yang dinilai paham regulasi dan pengawasan. Pada periode pertama OJK 2012-2017 mungkin iya. Namun, sekarang, setelah 10 tahun, orang OJK tentu tahu dunia nyata di pengawasan. Pengawasan OJK itu mikroprudensial, dan BI makroprudensial. Kemenkeu urusan fiskal.
Tiga, ke depan, dengan adanya perubahan Undang-Undang BI dan UU OJK serta UU LPS, di mana pemerintah “ngotot” melakukan revisi RUU PPSK. Apakah ini motif “tersembunyi” untuk “menguasai” sektor keuangan yang kini asetnya mencapai lebih dari Rp20.000 triliun? Logikanya, dengan menguasai OJK, maka dengan mudah pemerintah melakukan apa saja. Atau, dengan kata lain mencari orang-orang yang bisa “dikontrol”. Pun, bisa jadi secara moral “kalah abu” dengan “superior” Menkeu.
Bisa jadi, belajar dari pengalaman pada krisis di awal COVID-19 – di mana BI dan OJK “menyelamatkan” diri masing-masing karena urusan independen. Bahkan, waktu itu sempat ada wacana pembubaran OJK dan mengubah BI tidak independen dengan mengeluarkan perppu. Akhirnya BI menyerah, dengan “burden sharing” situasi mereda dan Lapangan Banteng serta Thamrin kembali “mesra”.
Empat, ada spekulasi yang tidak mendasar di kalangan dalam OJK sendiri jika pengawasan bank akan dikembalikan ke BI, dan pengawasan IKNB tetap pada OJK. Spekulasi ini tidak mendasar karena pembentukan OJK itu untuk mengawasi seluruh sektor keuangan dalam satu pengawasan terintegrasi. Tapi, bukan tak mungkin spekulasi itu ada benarnya karena wacana ini pernah ada.
Revisi UU OJK, Revisi Tata Cara Pemilihan
Sektor perbankan yang menguasai 83% pangsa pasar (market share) sektor keuangan tentu mendapat perhatian paling khusus. Keguncangan sektor perbankan akan menimbulkan dampak yang sistemis. Jangan sampai, pengawasan perbankan menimbulkan keguncangan. Selama periode lima tahun terakhir, bank-bank bermasalah dapat diselesaikan tanpa menimbulkan gejolak. Namun, Pansel tidak melihat keberhasilan ini.
Ke depan, ada baiknya dalam amandemen UU OJK yang baru – tata cara pemilihan OJK lebih baik dengan model BI. Tidak semua komisioner habis masa tugasnya secara bersama. Sehingga terjaga kelangsungan kebijakan, dan tidak terjadi silo-silo. Dan, tidak bergejolak dan tidak menimbulkan saling “tikam” di dalam OJK sendiri. Saling melempar “kotoran” ke masing-masing calon dari dalam yang dibiarkan terbuka. Bahkan, bisa saja para calon menyuruh pihak lain, membuat press release dan menakuti-nakuti urusan kerugian negara.
Belum lagi, tata-cara pemilihan komisioner OJK yang terbuka ini memberi kesempatan “pensiunan politisi” – yang tak lolos anggota DPR, atau orang-orang politik duduk sebagai komisioner OJK, tentu cerita menjadi lain. Pola yang dipakai dalam memilih Gubernur BI dan para deputy lebih baik, meski dalam pemilihan deputy BI terakhir agak menganggetkan, karena Presiden hanya menngirim satu nama. Dan, DPR RI pun hanya mengangguk saja.
Pada periode ini sepertinya Pansel OJK mengendus pertikaian ini. Pansel sepertinya menggunakan penjelasan Pasal 15 (a) UU OJK untuk tidak meloloskan calon – tanpa mengklarifikasi. Pasal 15 (g) tentang pengalaman dan pengetahuan. Punya pengetahuan yang cukup bisa lolos, tanpa pengalaman pengawasan pun bisa.
Apa pun yang terjadi – semoga OJK tetap independen – berkualitas dan tidak “membebek” dan membabi buta “menghamba” dengan pemerintah. Dan, jangan sampai juga, secara moral ada di bawah BI dan “super menteri” Menteri Keuangan — yang akan menjadi semacam Ketua Dewan Moneter zaman Orde Baru. Pengawasan bank yang tidak independen pernah terjadi sebelum reformasi (1997/1998) – yang menghasilkan beban Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Ke depan sektor keuangan dan khususnya perbankan, tantangannya tidak ringan. Jangan sampai terjadi good vision without good execution is not good leader. Nah, ini yang ditakutkan. Hanya berwacana, tidak berani mengambil keputusan. Semoga yang terpilih adalah good leader, dan tentu setelah yang well proven, terutama di sektor perbankan, beberapa nama tidak terpilih. Dunia pengawasan sektor keuangan dan perbankan itu bukan dunia wacana. (*)