Jakarta – Akses pembiayaan yang tidak merata ternyata menjadi salah satu sebab banyaknya masyarakat Indonesia terjebak ke dalam kasus pinjol (pinjaman online) dan investasi ilegal. Hal ini sangat dirasakan oleh pengusaha kecil, mikro, atau ultra mikro, yang bisnisnya layak untuk dibiayai, tetapi tidak dapat mengakses pembiayaan karena tidak memenuhi syarat perbankan.
“Bagi mereka, pinjaman online jadi sumber alternatif pembiayaan. Meskipun mereka tidak dapat membedakan mana yang legal, mana yang ilegal. Terlebih lagi dalam masa pasca pandemi, banyak yang usahanya terpuruk dan sangat membutuhkan pembiayaan untuk bangkit kembali. Akan tetapi, mereka sulit mendapatkan akses pembiayaan,” ujar Tirta Segara selaku Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Untuk Edukasi dan Perlindungan Konsumen, di acara diskusi virtual, Kamis, 10 Februari 2022.
Hal itu, menurut Tirta, dipicu oleh kebijakan restrukturisasi pembiayaan yang sudah disalurkan, dan untuk sementara tidak menyalurkan pembiayaan baru. Padahal, kebutuhan akan pembiayaan telah dikonfirmasi oleh survei Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2020, bahwa modal usaha adalah bantuan yang paling dibutuhkan oleh UMKM dalam menghadapi pandemi.
“Namun demikian, dari 83,7% yang membutuhkan bantuan, hanya 16,1% UMKM yang menerima bantuan tersebut. Kondisi ini kemudian diperparah fakta adanya kemudahan bagi para pelaku pinjaman online dan investasi ilegal untuk membuat aplikasi digital,” terangnya.
Ia pun menjelaskan bahwa Satgas Waspada Investasi telah menutup ribuan pinjaman online, investasi, dan praktik pegadaian ilegal. Namun, ada ribuan pula investasi dan pinjaman online ilegal yang baru muncul di media digital. Perkembangan teknologi informasi yang mempermudah pembuatan aplikasi online ditenggarai menjadi pendorong meluasnya praktik pinjol dan investasi ilegal.
“Jika dulu penawaran pinjaman dan investasi ilegal itu hanya dilakukan di lingkungan sekitar. Dengan perkembangan dunia digital, penawaran pinjaman atau investasi dapat dilakukan tanpa mengenal batas wilayah, dan tanpa mengenal batas waktu. Lebih dari itu, dengan teknologi, mereka tidak perlu kantor yang representatif atau SDM berjumlah banyak,” pungkasnya. (Steven Widjaja)