Oleh Paul Sutaryono
TAHUN 2022 telah merekah dengan pelbagai tantangan dan peluang di tengah pandemi Covid-19. Lagipula, tahun ini masih sarat dengan ketidakpastian global. Bagaimana tantangan Bank Indonesia (BI) pada 2022?
Meskipun fungsi pengaturan dan pengawasan industri perbankan nasional sudah beralih dari BI kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) efektif 31 Desember 2013, namun BI tetap memiliki tugas dan wewenang yang tidak kalah penting. Katakanlah, BI mempunyai tugas untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter seperti suku bunga, nilai tukar rupiah, inflasi. Pun, BI memiliki tugas untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran.
Aneka Langkah Strategis
Lantas, apa saja tantangan BI pada 2022? Apa saja langkah strategis bagi BI untuk mampu menjawab tantangan tersebut?
Pertama, kini BI dan OJK masing-masing memiliki wewenang untuk menjalankan kebijakan makroprudensial dan mikroprudensial. Beberapa instrumen kebijakan makroprudensial adalah Countercyclical Capital Buffer (CCB) yang merupakan tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer).
Hal itu bertujuan untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit dan/atau pembiayaan perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan.
Intinya, BI akan meningkatkan CCB ketika ekonomi sedang ekspansi. Sebaliknya, BI akan menurunkan CCB tatkala ekonomi sedang kontraksi. Hal itu sejalan dengan kebijakan OJK tentang permodalan untuk memperkuat daya tahan perbankan.
Selain itu, BI juga berwenang untuk mengatur rasio loan to value (LTV) atau financing to value (FTV). LTV/FTV merupakan rasio nilai kredit/pembiayaan yang diberikan bank umum terhadap nilai agunan. BI pun berwenang untuk menetapkan rasio intermediasi makroprudensial (RIM). Hal itu merupakan instrumen makroprudensial yang ditujukan pada pengelolaan fungsi intermediasi perbankan agar sesuai dengan kapasitas dan target pertumbuhan perekonomian dan tetap menjaga prinsip kehati-hatian.
Sementara itu, kebijakan mikroprudensial yang dimiliki OJK merupakan kebijakan untuk mengatur lembaga keuangan secara individu. Hal itu bertujuan untuk mencegah potensi risiko berupa krisis individu lembaga keuangan yang dapat merugikan lembaga keuangan dan nasabah, konsumen atau investor.
Kedua, Amerika Serikat (AS) sebagai negara adi kuasa sedang mengalami inflasi cukup tinggi 6,2% pada Oktober 2021 naik dari 5,4% pada September 2021. Angka itu merupakan inflasi paling tingggi sejak November 1990 dan di atas prediksi 5,8%.
Ekonomi tumbuh 4,9% per kuartal III atau September 2021 anjlok dari 12,20% pada periode sebelumnya pada 2020. AS merupakan negara dengan ekonomi terbesar. Tetapi pada dua dekade terakhir seperti kasus di banyak negara maju lainnya, tingkat pertumbuhan ekonomi negara itu menipis.
Oleh karena itu, bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) bakal melakukan pengurangan pembelian aset finansial (tapering). Akibatnya, suku bunga acuan AS (The Fed Fund Rate/FFR) yang kini 0,25% diprediksi akan mengalami kenaikan. Sudah barang tentu, suku bunga acuan BI (BI 7 day reverse repo rate) yang saat ini mencapai 3,5% kemungkinan besar akan berubah. Inilah tantangan serius bagi BI.
Kemudian, apa potensi risikonya ketika FFR mendaki pelan namun pasti? Bisa jadi, dana panas di negara berkembang (emerging markets) termasuk Indonesia akan terbang kembali ke AS (capital flight). Akibatnya, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS bisa mengalami depresiasi.
Ujungnya, cadangan devisa bisa tertekan yang kini US$ 145,9 miliar per 30 November 2021 naik sedikit dari US$ 145,5 miliar per akhir Oktober 2021. Mengapa? Karena BI kemungkinan akan melakukan operasi pasar tatkala nilai tukar rupiah bergejolak.
Pengetatan moneter AS itu akan dapat memengaruhi tingkat inflasi Indonesia yang menyentuh 1,75% per akhir November 2021 naik dari 1,66% per Oktober 2021. Target inflasi 3% plus minus 1%.
Ketiga, untunglah, BI telah menerapkan kebijakan penyelesaian transaksi bilateral dengan mata uang lokal (local currency settlement/LCS) dengan negara lain. Sebut saja, LCS dengan China, Jepang, Malaysia dan Thailand.
Penerapan LCS itu akan bermanfaat bagi pelaku usaha lokal seperti biaya konvensi transaksi menjadi lebih efisien, tersedianya alternatif pembiayaan ekspor dalam mata uang lokal. Juga tersedianya alternatif instrumen lindung nilai (hedging) dalam mata uang lokal dan diversifikasi eksposur mata uang yang digunakan dalam penyelesaian transaksi. Di sisi moneter, LCS dapat menekan gejolak kurs rupiah.
Keempat, kini saatnya bagi BI untuk mengembangkan ekonomi hijau (green economy). Apa yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi hijau? Pertumbuhan ekonomi hijau adalah pertumbuhan ekonomi yang kuat, namun ramah lingkungan dan inklusif secara sosial.
Hal itu berbeda dari model pembangunan konvensional yang mengandalkan praktek yang tidak berkelanjutan seperti pengurasan dam penghancuran sumber daya alam. Pertumbuhan ekonomi hijau merupakan suatu gerakan terkoordinasi yang terdiri dari pertumbuhan ekonomi, keberlanjutan lingkungan, penurunan tingkat kemiskinan dan keterlibatan sosial yang didorong oleh pengembangan dan pemanfaatan sumber daya global secara berkelanjutan (Bappenas).
Sejauh mana bank papan atas telah menyalurkan kredit ke ekonomi hijau? PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau Bank BRI telah mengucurkan kredit ke ekonomi hijau Rp 607,7 trilkun (65,3% dari porsi kredit). Lalu, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk atau Bank Mandiri Rp 187,4 triliun (23%), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI Rp 140,5 triliun (24,7%) dan PT Bank Central Asia atau BCA Rp 143,1 triliun (23,6%) (Koran Kontan, 7 Desember 2021).
Terkait dengan itu, BI bekerja sama dengan OJK sudah selayaknya memberikan insentif bagi bank umum yang telah menyalurkan kredit ke ekonomi hijau. Upaya itu dapat memperderas kucuran kredit di masa mendatang.
Kelima, sejatinya insentif tersebut dapat diterapkan pula bagi bank umum yang telah menyalurkan kredit ke segmen usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Mengapa kredit ke segmen UMKM? Data Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa segmen UMKM mampu menyerap 119,56 juta tenaga kerja (96,92% dari pangsa tenaga kerja) pada 2018-2019.
Inilah rinciannya. Usaha mikro mampu menyerap 109,84 juta orang (89,04%), Usaha Kecil 5,93 juta orang (4,81%) dan Usaha Menengah 3,79 juta orang (3,07%). Bandingkan dengan Usaha Besar yang “hanya” sanggup menyerap 3,81 juta orang (3,08%). UMKM memang luar biasa!
Untuk itu, BI telah meluncurkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/13/PBI/2021 tentang Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) efektif 31 Agustus 2021. PBI tersebut mewajibkan bank umum untuk menyalurkan kredit UMKM minimal 30% yang dapat dicapai secara bertahap. Tahap 1: 20% pada akhir Juni dan Desember 2022. Tahap 2: 25% pada akhir Juni dan Desember 2023. Tahap 3: 30% sejak akhir Juni 2024.
Keenam, namun bank umum hendaknya bukan hanya menyalurkan kredit ke UMKM, tetapi juga memberdayakan mereka. Bagaimana kiatnya? Bank umum dapat memberikan pelatihan tentang manajemen keuangan terutama penyusunan laporan keuangan, manajemen pemasaran dan manajemen risiko.
Ditambah lagi, pelatihan tentang digitalisasi perdagangan dan pemasaran sehingga pelaku UMKM dapat memasarkan produk dan jasa dengan lebih luas. Perlu pula dilengkapi dengan pelatihan tentang ekspor, impor dan bank garansi. Upaya itu dapat mendorong pelaku UMKM untuk naik kelas menjadi eksportir.
Dengan bahasa lebih bening, hal itu merupakan langkah strategis untuk menggairahkan sektor riil terutama UMKM. Ketika UMKM dan korporasi makin kencang bergerak, maka pemulihan ekonomi akan makin cepat tercapai. Langkah itu juga bertujuan untuk menekan tingkat pengangguran.
Ketujuh, BI telah menerbitkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 23/15/PADG/2021 tentang Standar Nasional Open API (Application Programming Interface) Pembayaran atau SNAP efektif 17 Agustus 2021. Aturan itu bertujuan untuk menciptakan industri Sistem Pembayaran yang sehat, kompetitif dan inovatif dan mendorong integrasi, interkoneksi, interoperabilitas, keamanan dan keandalan insfrastruktur sistem pembayaran serta meningkatkan praktik pasar yang sehat, efisien dan wajar.
Tetapi jangan lupa bahwa BI wajib terus meningkatkan kewaspadaan untuk menepis potensi risiko. Katakanlah, penyalahgunaan data dan serangan siber (cyber crime) yang merupakan ancaman nyata masa kini dan masa mendatang.
Kedelapan, selain itu, pada 2022 Indonesia dipercaya untuk memegang Presidensi G-20. Agenda lengkap prioritas jalur keuangan dalam Presidensi G-20 Indonesia 2022 meliputi (i) exit strategy untuk mendukung pemulihan ekonomi, (ii) mengatasi dampak berkepanjangan untuk mengamankan pertumbuhan di masa depan, (iii) sistem pembayaran di era digital, (iv) keuangan berkelanjutan, (v) inklusi keuangan digital dan (vi) perpajakan internasional.
Karena itu, SNAP itu terkait erat dengan agenda prioritas jalur keuangan butir ketiga: sistem pembayaran di era digital dan butir kelima: inklusi keuangan digital.
Lugasnya, BI memainkan peran sentral dalam melaksanakan 6 agenda itu. Keberhasilan itu akan berdampak positif bagi Indonesia di mata dunia dan pemulihan ekonomi nasional. Nah, ketika aneka langkah strategis itu dapat dilakukan dengan jitu, posisi BI sebagai penjaga gawang moneter akan kian perkasa.
*) Penulis merupakan Staf Ahli Pusat Studi BUMN, Pengamat Perbankan & Mantan Assistant Vice President BNI