Oleh Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank Group
LEBIH dari dua dekade (23 tahun), soal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) bak cerita bersambung. Sudah enam pemerintahan – cerita BLBI tak juga kunjung tamat. Sejak pemerintahan Soeharto hingga Presiden Joko Widodo, “sinetron” BLBI makin menarik dengan bumbu penyedap yang makin kaya rasa. Padahal, biaya krisis tahun 1917/1998 sudah terbayarkan dengan membaiknya bank-bank dan ekonomi setelah krisis moneter. Salah satu kontribusi BRI dalam mengisi kas Negara.
Entah sangking banyaknya bumbu penyedap sehingga hilang esensi tujuan kebijakan BLBI dan penerbitan obligasi rekap untuk menghidupkan bank-bank. Juga, untuk mendorong dan memulihkan ekonomi yang negatif. Kebijakan penanganan krisis itu adalah agar bank-bank hidup kembali, memberikan kredit, sektor riil hidup. Juga, ada tenaga kerja yang terserap dan pada akhirnya pajak untuk negara.
Bayangkan jika tidak ada kebijakan BLBI dan obligasi rekap. Sudah tentu Indonesia tidak punya bank-bank yang tergabung dalam Himbara. Keempat bank BUMN, yakni BRI, BNI, BTN, dan Mandiri, merupakan produk krisis dengan obligasi rekap. Benar, keempat bank itu tidak diguyur BLBI, tapi mereka menelan obligasi rekap yang tidak kecil. Angkanya Rp282,319 triliun untuk menghidupkan kembali keempat bank pelat merah itu.
Bank-bank swasta juga diguyur BLBI dan obligasi rekap. Sejumlah bank pembangunan daerah (BPD) pun menelan obligasi rekap. Jika tidak ada kebijakan BLBI dan obligasi rekap, Indonesia tak punya BCA, Danamon, CIMB Niaga, Maybank, juga PermataBank. Juga, tak punya Bank DKI, Bank Jateng, Bank Jatim, dan sejumlah BPD lainnya.
Kebijakan BLBI dan obligasi rekap membuat bank-bank itu tidak ditutup, memberikan kredit, sektor riil hidup lagi, ekonomi bergerak, dan pajak yang dibayar ke negara juga meningkat. Ada dividen dan ada pajak yang dibayar untuk bank-bank BUMN. Untuk swasta, banknya bayar, pemegang sahamnya juga bayar pajak – baik yang timbul karena pajak dividen maupun pajak dari karyawan yang digaji.
Kebijakan penanganan krisis tidak bisa dilihat dari berapa untung-rugi seperti pedagang kelontong. Misalnya, negara sudah keluar Rp647,13 triliun, maka harus kembali Rp647,13 triliun, atau ada yang menghitung plus bunga. Harusnya yang dilihat adalah berapa ongkos paling kecil untuk menangani krisis.
Setiap krisis ada ongkosnya – tapi tentu ongkosnya itu dapat dipertanggungjawabkan. Kebijakan tidak bisa dikriminalisasi dan dipolitisasi. Dan, jika ada penumpang gelap dalam kebijakan itu tentu lain cerita. Penanganan BLBI dan obligasi rekap sudah jelas. Yang kooperatif dan ada surat keterangan lunas (SKL) dianggap beres. Sedang yang tidak kooperatif dan buron urusannya pidana. Beres.
BRI Sudah Berkontribusi Rp556,3 Triliun
Sejak krisis moneter tahun 1997/1998, kebijakan BLBI dan obligasi rekap selalu diceritakan sisi gelapnya. Bahkan, para pengamat atau anggota DPR RI yang waktu zaman BLBI masih duduk di bangku SMP pun berkomentar miring soal kebijakan BLBI dan obligasi rekap. Jarang ada yang bisa bercerita soal hasil dari kebijakan penanganan krisis tahun 1997/1998 lalu.
Menurut catatan Infobank Institute dan data Biro Riset Infobank, dalam penanganan krisis oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Perusahaan Pengelola Aset (PPA) dan kontribusi dari bank-bank yang direkap dan diambil alih, jujur saja biaya krisis Rp647,13 triliun itu sejatinya sudah kembali. Jika memakai catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), biaya krisis tidak sebesar itu, tapi Rp621,44 triliun – tentu lebih besar lagi hitung-hitungannya. Bisa jadi, menurut catatan Infobank Institute, selisih terjadi karena ada kelebihan obligasi rekap yang dikembalikan.
Pada saat BPPN (2004) ditutup, dan sisa asetnya diserahkan ke PPA dan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), BPPN sudah menyumbang Rp188 triliun untuk membiayai APBN. Dan, BPPN ditambah setoran PPA Rp208 triliun. Atau, 33% dari biaya krisis yang dicatat BPK. Sejalan dengan itu, sampai saat ini — bank-bank yang direkap pun punya kontribusi dalam mengisi kas negara.
Bahkan, salah satu contoh adalah kontribusi BRI – dari ketika direkap Rp29,13 triliun hingga rights issue merupakan satu-satunya bank yang sudah menyumbang hampir dua kali biaya rekap bank pelat merah. Atau tepatnya, lebih dari 197% dari seluruh obligasi rekap yang diguyurkan ke seluruh bank pelat merah (BRI, Mandiri, BNI, dan BTN). Jika dibandingkan dengan biaya rekap BRI sendiri, maka BRI sudah mengembalikan hampir 20 kalinya.
Jumlah obligasi rekap yang diguyurkan adalah sebesar Rp282,319 triliun untuk menghidupkan kembali keempat bank pelat merah itu. Sementara, kontribusi BRI sejak krisis hingga sekarang sudah mencapai Rp556,3 triliun. Jika dibandingkan dengan seluruh biaya krisis versi BPK (Rp621,44 triliun), maka sejatinya BRI sudah menyumbang 90% dari seluruh biaya krisis itu. Tentu lain lagi jika memperhitungkan kontribusi BRI di 2021 ini. Luar biasa.
Bagaimana menghitungnya? Hitung-hitungannya dari penjumlahan dividen, dan pajak yang dibayar ke kas negara serta kapitalisasi pasar BRI. Jika tidak dilakukan rekapitalisasi tahun 1999 lalu, tentu negara tidak punya lagi BRI, atau bahkan ditutup karena posisi capital adequacy ratio (CAR)-nya rendah, di bawah ketentuan BI. Pemerintah pun memilih menghidupkan kembali BRI lewat obligasi rekap.
Menurut catatan Infobank Institute, sejak 1999-2020, atau sejak rekap, BRI telah menyumbang dividen dan pajak ke kas negara sebesar Rp193,6 triliun. Bahkan, dalam empat tahun terakhir, 2017-2020, pajak dan dividen yang disetor BRI mencapai Rp101,56 triliun. Makin tahun makin meningkat.
Sementara, kepemilikan pemerintah di BRI sebesar 56,815%, dan saat ini kapitalisasi pasar BRI mencapai Rp638,38 triliun. Jadi, dari kepemilikan ini saja, pemerintah punya saham bernilai Rp362,7 triliun. Jika ditambah dengan dividen dan pajak yang sudah disetor ke kas negara Rp193,6 triliun, maka secara total kontribusi BRI sebesar Rp556,3 triliun.
Artinya BRI sudah berkontribusi terhadap pengembalian biaya krisis tahun 1997/1998 sekitar 90% dari Rp621,44 triliun. Itu kontribusi minimal. Jika mau menghitung lagi pajak yang dibayarkan oleh karyawan dan debitur yang bisa dihidupkan oleh BRI tentunya lebih besar lagi.
Itu jika dikaitkan dengan biaya krisis, meski tidak berhubungan langsung, dan hanya menegaskan bahwa biaya penanganan krisis hasilnya bisa dilihat membaiknya bank, kontribusi ekonomi terhadap perekonomian dan penerimaan pajak.
Rights Issue yang Fenomenal
Harus diakui, BRI setelah 22 tahun direkap telah menjadi raksasa. Apalagi setelah rights issue dengan nilai jumbo Rp95,9 trililun, yang terdiri atas Rp54,7 triliun dalam bentuk partisipasi pemerintah berupa inbreng saham Pegadaian dan Permodalan Nasional Madani (PNM). Sisanya Rp41,2 triliun berupa cash proceed dari pemegang saham publik.
Pencapaian itu menjadikan rights issue BRI mencatatkan sejarah, terbesar di kawasan Asia Tenggara, menduduki posisi ketiga rights issue di Asia dan posisi ketujuh terbesar di dunia. Diketahui ada 28 miliar lembar saham yang diterbitkan pada rights issue BRI telah terserap seluruhnya, bahkan mengalami oversubcribed sebesar 153%.
Menurut Sunarso, Direktur Utama BRI, untuk mencapai pertumbuhan anorganik dan value creation selama pandemi COVID-19, BRI setidaknya telah melakukan tiga langkah korporasi besar. Satu, melakukan konsolidasi ke Bank Syariah Indonesia (BSI) – di mana valuasi saham BRI Syariah mengalami peningkatan lebih dari empat kali dibandingkan dengan sebelum konsolidasi.
Dua, membentuk anak usaha di bidang asuransi jiwa, BRI Life. Saat ini (2021) valuasi BRI Life telah meningkat mencapai Rp7,5 triliun – di mana sebelumnya BRI mengakuisisi BRI Life dengan angka Rp1,6 triliun di 2015. Di luar itu, BRI masih mendapatkan extra cash berupa access fee sebesar Rp4,4 triliun yang dibayar secara bertahap selama periode 2021-2024.
Tiga, seperti dijelaskan Sunarso, BRI telah melakukan aksi korporasi, yaitu penambahan modal lewat rights issue dalam pembentukan ekosistem Ultra Mikro – yang fenomenal mencapai Rp95,9 triliun. Holding Ultra Mikro ini, ditegaskan Sunarso, akan menjadi sumber pertumbuhan baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sejalan dengan misi BRI menjadi The Most Valuable Banking Group in Southeast Asia & Champion of Financial Inclusion, BRI terus melakukan pengembangan bisnis secara berkelanjutan. Bisa anorganik maupun organik, termasuk kepemilikan di Bank Agro (Bank Raya) – yang visinya menjadi bank digital terbesar di Indonesia. Diperkirakan, ke depan, Bank Raya sebagai bank digital akan memberi value tinggi kepada BRI (kapitalisasi pasar terus meningkat).
Bahkan, seperti dituturkan Sunarso, proses value creation tidak hanya memberi kontribusi kepada perekonomian, dan setoran ke kas negara. Akan tetapi, impiannya juga, suatu saat, minimal 1% saham BRI bisa dimiliki oleh seluruh insan BRILiaN – karyawan BRI. Semua itu baik untuk culture seluruh pekerja agar terus meng-create value bagi perusahaan untuk terus maju.
Selama 22 tahun perjalanan BRI setelah direkap dengan lima dirut, Rudjito, Sofyan Basir, Asmawi Sjam, Suprajarto dan Sunarso, kini BRI telah menjadi konglomerasi raksasa sektor keuangan dengan aset Rp1.450,9 triliun (Juni 2021). Ketika direkap tahun 2021 aset BRI hanya Rp31,014 triliun. Atau sudah naik lebih 47 kalinya. Sejak tahun 2017, BRI menjadi bank dengan aset terbesar.
Lebih membanggakan, BRI merupakan bank yang paling besar memberikan kontribusi kepada kas negara. Sejak 16 tahun lalu, BRI selalu juara laba di peta perbankan Indoesia. Langkahnya setelah rights issue dengan menjadi holding Ultra Mikro, diprediksi sejumlah ekonom, akan makin membesar, dan memberi kontribusi bagi perekonomian. Asetnya secara unorganic akan meningkat dengan perolehan laba yang meningkat denga strategi value creation yang dikembangkan.
Bayangkan saja! Menurut catatan Infobank Institute, sejak direkap 1999 hingga akhir tahun 2020 lalu (21 tahu), BRI sudah memupuk laba sebesar Rp290,51 triliun. Lebih membanggakan sebesar Rp556,3 triliun merupakan kontribusi BRI sejak direkap Rp29,13 triliun di 1999 lalu. Atau, mendekati 90% dari seluruh biaya krisis moneter tahun 1997/1998 termasuk BLBI yang dikeluarkan negara. Dan, jika memakai laporan keuangan tahun 2021, jangan kaget bahwa seluruh biaya krisis moneter hampir pasti sudah ditutup BRI sendiri.
Luar biasa! Selamat.