Jakarta – Maraknya penipuan berkedok penawaran investasi di tengah masyarakat melalui grup pesan singkat telah memakan banyak korban, namun hal yang serupa tetap saja terus terjadi. Tidak jarang, pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab tersebut menduplikasi dan mencatut atau mengatasnamakan penyelenggara fintech berizin untuk mengelabui masyarakat.
Pada bulan April lalu, OJK mencatat kerugian masyarakat akibat investasi ilegal mencapai Rp114,9 triliun sejak 2011 hingga 2020. Tindakan penipuan ini juga tentu saja sangat merugikan
penyelenggara fintech yang telah berizin.
Menanggapi hal tersebut, Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) menyatakan prihatin dan berinisiatif untuk memulai Kampanye Anti Fintech Palsu.
“Kami prihatin atas terjadinya penipuan
oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang mencatut atau mengatasnamakan penyelenggara fintech berizin untuk menipu masyarakat, mulai dari penipuan investasi yang tidak memiliki izin dan menjanjikan hasil keuntungan jauh dari harapan, atau bahkan tidak ada alias bodong, hingaa penipuan tawaran pinjaman oleh fintech lending illegal,” kata Ketua Umum AFTECH Pandu Sjahrir ketika membuka kegiatan Media Briefing dengan tema “WaspadaPencatutan Nama dan Logo Penyelenggara Fintech Resmi di Aplikasi Pesan Instan dan Media
Sosial”.
Menurut Pandu, melalui Kampanye Anti Fintech Palsu yang menjadi wadah sinergi bagi pemerintah/regulator, fintech startup, dan pemangku kepentingan utama lainnya di ekosistem keuangan digital Indonesia, dapat mencegah penipuan masyarakat melalui pencatutan nama dan logo penyelenggara fintech resmi pada berbagai aplikasi pesan instan dan media sosial.
Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika RI menyambut baik inisiatif Kampanye Anti Fintech Palsu ini.
Anggota Dewan Komisioner OJK
Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Tirta Segara juga mengingatkan kepada masyarakat agar lebih bijak dalam memilih instrumen investasi. Terlebih dengan iming-iming bunga tinggi yang diklaim tidak ada risikonya.
“Penipuan berkedok penawaran investasi melalui berbagai grup pesan singkat oleh fintech bodong saat ini tengah marak berlangsung. Kami menghimbau masyarakat agar selalu memastikan bahwa penawaran yang diterima memenuhi prinsip 2L, Legal dan Logis. Legal, berarti, memiliki legalitas dan izin penawaran produk dari lembaga yang berwenang; dan Logis, menawarkan keuntungan yang masuk akal,” kata Tirta.
Senada, Asisten Gubernur & Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia,
Filianingsih Hendarta menjelaskan saat ini jenis penipuan online dan kejahatan siber berpotensi semakin meningkat seiring dengan meningkatnya digitalisasi di sektor jasa keuangan, termasuk sistem pembayaran.
Bank Indonesia mengajak konsumen layanan keuangan digital untuk meningkatkan kewaspadaan atas potensi makin maraknya praktek penipuan ini.
“Kami menghimbau agar masyarakat selalu berhati-hati terhadap penipuan/informasi yang tidak benar
mengatasnamakan fintech berizin, selalu pastikan kebenarannya pada sumber yang resmi,” tutur Filianingsih. (*)