oleh Agung Galih Satwiko
KRISIS keuangan global ke depan berpotensi berasal dari beberapa sumber, antara lain:
1. Pasar saham US
Menguatnya mata uang USD akan berdampak pada ekspor AS dan turunnya devisa luar negeri. Pelambatan ekonomi di pasar Negara berkembang mengurangi permintaan atas produk-produk AS seperti pesawat, otomotif, produk konsumen dan produk mewah (luxury products). Devaluasi mata uang Yuan dikombinasi dengan kapasitas berlebih di China membuat daya beli China menurun. Hal ini berdampak pada turunnya permintaan negara berkembang lainnya, dan pada akhirnya membuat permintaan akan produk AS semakin turun. Pada gilirannya tekanan terhadap likuiditas dan keuntungan korporasi meningkat, aktivitas M&A turun, stock buyback turun, sehingga harga saham AS akan turun dan berdampak pada harga saham global.
Selain itu peningkatan harga saham pascakrisis 2008 banyak dipengaruhi oleh likuiditas berlebih akibat tingkat bunga rendah dan QE. Jumlah obligasi Negara dengan yield di bawah 0% saat ini sudah mencapai USD7 triliun atau sekitar sepertiga dari keseluruhan jumlah obligasi Negara secara global. Meskipun koreksi yang terjadi pada awal tahun 2016 terhadap pasar saham global relatif sehat, namun hal tersebut dipandang belum cukup mencerminkan fundamental kesehatan korporasi mendatang. Outlook laba perusahaan masih akan tetap suram, yang mana saat ini belum tercermin sepenuhnya terhadap harga saham AS.
2. Pasar Utang
Sejak 2007 hampir tidak ada negara yang melaporkan penurunan rasio utang terhadap GDP. Utang yang meliputi utang Pemerintah, utang korporasi dan utang rumah tangga meningkat secara signifikan. Terdapat 14 negara yang dalam kurun waktu tersebut melaporkan kenaikan total utang terhadap GDP sebesar 50%. Dan lebih dari 20 negara di dunia saat ini memiliki total utang terhadap GDP lebih dari 200%. Utang Pemerintah (bonds maupun loan) telah naik lebih dari 100% sejak tahun 2007, yaitu dari USD25 triliun menjadi USD58 triliun. Government debt to GDP melampaui 100% di 10 negara, termasuk Jepang yang telah mencapai 240%. Dengan kombinasi pertumbuhan ekonomi yang rendah, tingkat bunga rendah, disinflasi, dan ketidaksinkronan antara pendapatan Negara dan belanja Negara, maka dikhawatirkan utang Pemerintah telah mencapai level yang tidak sehat (unsustainable).
Dalam kasus Indonesia, meskipun secara fundamental ekonomi Indonesia lebih baik (inflasi rendah, pertumbuhan ekonomi membaik, nilai tukar stabil menguat, defisit neraca berjalan pada level aman, cadangan devisa aman), Pemerintah perlu mewaspadai keseimbangan primer yang terus negatif sejak tahun 2012. keseimbangan primer menjadi negatif sejak 2012 dalam kisaran Rp52,8 triliun-Rp98,6 triliun per tahun. Hal ini tentu tidak sehat karena sebagian pembayaran bunga utang dilakukan dengan menerbitkan utang baru. Selain itu hal ini tentu berdampak pada meningkatnya pembayaran bunga utang. Bunga utang Pemerintah naik dari Rp100,5 triliun pada tahun 2012 menjadi Rp184,9 triliun pada APBN 2016 atau naik Rp84,4 triliun (84%) sejak 2012. Dalam persentase, rasio pembayaran bunga utang terhadap belanja Pemerintah pusat naik dari 10% pada tahun 2012 menjadi 14% pada tahun 2016.
3. Pengetatan Kebijakan Moneter AS
The Fed mengurangi dan menghentikan QE, bahkan menaikkan tingkat bunga Fed Fund rate pada Desember lalu. Hal ini berdampak pada likuiditas USD yang tidak bertambah sebagaimana saat QE, dimana likuiditas saat itu bertambah lebih dari USD1 triliun per tahun. Dampak berkurangnya likuiditas dolar terutama akan semakin terasa bagi pihak yang banyak meminjam dalam USD. Tingkat bunga yang rendah, nilai tukar USD yang belum sekuat sekarang, mudahnya likuiditas USD membuat peminjam di masa lalu mudah memperoleh utang atau menerbitkan obligasi dalam USD. Namun saat ini kondisinya berbeda. Penguatan USD membuat utang dalam USD nilainya meningkat jika diukur dalam mata uang lokal.
Sebagai ilustrasi, obligasi valas Indonesia yang terbit tanggal 15 April 2013 sebesar USD3 miliar, saat itu bernilai Rp29,1 triliun (kurs Rp9714/USD), kini bernilai Rp39,2 triliun (kurs Rp13.085/USD). Naik Rp10,1 triliun atau 34,7% dalam waktu kurang lebih tiga tahun. Hal ini tidak hanya dialami oleh Indonesia, namun juga negara lain yang meminjam dalam USD. Berdasarkan data Bank for International Settlement, utang dalam mata uang USD bagi nonbank di luar AS berada di level USD9 triliun (total sekuritas dan pinjaman), lebih besar 50% dibandingkan akhir 2009. Dan semua mengalami peningkatan besaran utang yang diukur dalam mata uang lokal.
Dengan kondisi pelambatan ekonomi global, turunnya harga komoditas, pelemahan nilai tukar mata uang lokal, pengurangan likuiditas USD, maka semua ini akan memperberat kondisi fiskal negara-negara tersebut. Belum lagi jika terjadi capital flight yang tentunya semakin memperburuk keadaan. Institute for International Finance (IIF) mencatat capital outflows dari emerging market tahun 2015 sebesar USD735 miliar, jauh lebih besar daripada tahun 2014 yang mencatat capital outflows sebesar USD111 miliar. Akibatnya nilai tukar dan harga asset di emerging market melemah signifikan.
Meskipun demikian, sejak awal tahun 2016 tampaknya capital outflow mulai berkurang cukup signifikan. IIF masih mencatat outflow dari emerging market, namun jumlahnya mulai berkurang. Pada bulan Februari 2016 misalnya, IIF mencatat net capital outflows dari emerging market hanya sebesar USD200 juta, net capital outflows terbanyak berasal dari Negara Amerika Latin yaitu sebesar USD2,7 miliar. Sebagian dana asing mulai kembali mengalir ke emerging market termasuk Indonesia. Sepanjang tahun 2016 sampai tanggal 4 Maret, dana asing neto yang masuk ke pasar SBN mencapai Rp32,16 triliun, sementara dana asing neto yang masuk ke pasar saham mencapai Rp3,8 triliun.
Investor asing bullish terhadap Indonesia karena persepsi terhadap ekonomi Indonesia yang membaik sebagai dampak dari akselerasi belanja pemerintah, paket kebijakan ekonomi, turunnya bunga acuan, dan kebijakan tax amnesty. Namun demikian, sebagaimana capital outflow yang massif terjadi pada tahun 2015, Pemerintah dan otoritas di Indonesia harus mengantisipasi potensi terjadinya sudden reversal dan mengelola ekspektasi investor agar tetap positif dalam jangka menengah panjang. (*)
Diolah dari berbagai sumber