Standarisasi Kebijakan Kunci Perbaikan Ekspor Hasil Hutan

Standarisasi Kebijakan Kunci Perbaikan Ekspor Hasil Hutan

Jakarta–Pemerintah perlu mendorong perbaikan regulasi terutama dalam perlindungan terhadap daya saing industri dalam negeri. Pelemahan daya saing komoditas ekspor, bukan hanya berasal dari menurunnya permintaan dunia, namun disebabkan juga oleh lemahnya penerapan kebijakan yang mendorong daya saing industri dalam negeri.
Lemahnya penerapan kebijakan tersebut, telah mengancam daya saing ekspor industri hasil hutan Indonesia. Hal ini akibat adanya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomer 89 tahun 2015. Pasalnya, Permendag tersebut berpotensi mengikis kepercayaan Uni Eropa pada standar SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu), jika aturan tersebut tak segera di cabut.
Sebagaimana diketahui, pasar Eropa merupakan pasar yang sensitif, terutama untuk produk-produk berbasis Kayu. Jika sekali saja mencederai maka pasar Eropa akan berpengaruh pada pasar ekspor yang lain, serta bakal mencederai industri Indonesia, terutama industri kecil dan menengah.
Persoalan ini menjadi rumit akibat masalah klasik yang di hadapi pemerintah dengan banyaknya duplikasi perizinan di Indonesia, yang seharusnya tak perlu di rasakan pelaku usaha. Deputi Menko Perekonomian Bidang Perniagaan dan Industri, Edy Putra Irawady menjelaskan, masih banyak izin dan birokrasi yang membuat daya saing perdagangan kita tidak maksimal.
“Dalam blue print Asean standarisasi merupakan kesepakatan Asean. Standar kita sedang di dukung, namun hanya diartikan standar spesifikasi barang. Lupa kalau jasa ada standar, perizinan ada standar, birokrasi juga ada standar. Kembali kepada hasil hutan, sekarang yang sedang jadi sorotan ialah SVLK, kenapa ada penolakan, karena standar itu belum terbakukan,” ujarnya di Jakarta, Senin, 7 Maret 2016.
Di tempat yang sama Direktur Eksekutif Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), Liana Bratasida menambahkan, bahwa pemerintah perlu mempertahankan SVLK untuk mampu mempertahankan kinerja ekspor industri hasil hutan.
“Belakangan kita melihat pemerintah tak solid mengawal isu ini, dengan adanya permendag 89 tahun 2015, kami khawatir bahwa hal ini akan berdampak pada ekspor kita ke eropa. Kami berharap pemerintah menghormati perjanjian dan SVLK. Sebetulnya SVLK bagus, tak ada yang aneh bagi kami. Ada tidaknya SVLK semua perijinan harus dipenuhi, namun adanya SVLK kita bisa masuk ke negara lain dan sebetulnya bisa menjadi benefit bagi kita. Sangat disayangkan kalau kita mencederai perjanjian itu,” tukasnya.
Padahal, kata dia, industri hasil hutan khususnya industri pulp dan kertas menyumbang nilai ekspor sekitar US$5,6 miliar per tahun. APKI berharap pemerintah akan kompak mendorong ekspor produk hutan, sehingga ekspor Indonesia tidak tersusul Vietnam yang sedang bernegosiasi VPA dengan Uni Eropa.
Liana menambahkan, jika pemerintah tak segera bertindak, maka akan sulit bagi daya saing ekspor industri hasil hutan untuk dapat bersaing ke depannya. Apalagi biaya yang akan dikenakan akansemakin meningkat jika SVLK di tangguhkan.
“Saat ini pembeli dari eropa mulai meminta proses due diligent atau uji tuntas yang memakan waktu dan biaya. Untuk sekali pengiriman membutuhkan US$2000 hingga US$2500. Otomatis itu akan menambah biaya, dan dapat dibayangkan biaya yang harus di tanggung. Kalau pemerintah tidak merubah Permendag 89/2015 maka akan semakin lemah daya saing ekspor hasil hutan kita,” ucapnya. (*) Rezkiana Nisaputra

Related Posts

News Update

Top News