Perbankan syariah memasuki babak baru ketika 3 bank syariah badan usaha milik negara (BUMN) merger menjadi Bank Syariah Indonesia. Bagaimana asa dan tantangan perbankan syariah di tengah risiko Covid-19 yang masih membara?
Oleh Paul Sutaryono
BAGAIMANA perkembangan perbankan syariah di Timur Tengah sebagai pusatnya? Aset perbankan Islam internasional pertama telah melebihi 778 miliar dollar AS (setara Rp 10.892 triliun dengan kurs Rp 14.000 per 1 dollar AS) pada 2014 dan CAGR 17% pada 2009 hingga 2013. Keuntungan global bank syariah diharapkan meningkat tiga kali lipat pada 2019.
Di 6 pasar perbankan Islam utama yakni Uni Emirat Arab, Qatar, Arab Saudi, Indonesia, Malaysia dan Turki, aset perbankan syariah diperkirakan mencapai 1,8 triliun dolar AS (setara Rp 25.200 triliun) pada 2019. Gairah pasar Islam di kawasan Teluk memberikan gambaran yang kuat untuk masa depan keuangan Islam (Abdullah Ashira, Abdulaziz University, Saudi Arabia, 2019).
Apa itu CAGR yang mencapai 17%? CAGR (compound annual growth rate) merupakan tingkat pertumbuhan tahunan investasi selama periode tertentu. Dengan bahasa sederhana, CAGR merupakan ukuran berapa banyak yang investor raih dari investasi selama interval tertentu. Hal itu salah satu metode paling akurat untuk menghitung naik atau turun pengembangan investasi dari waktu ke waktu.
Kemudian, sejauh mana perkembangan perbankan syariah Indonesia? Awalnya, terdapat 14 bank umum syariah (BUS): Bank Syariah Mandiri, BRI Syariah, BCA Syariah, BNI Syariah, Bank Muamalat, Bank Panin Dubai Syariah, Bank Mega Syariah.
Plus BTPN Syariah, Maybank Syariah Indonesia, Bank Syariah Bukopin, Bank Jabar Banten Syariah, Bank Victoria Syariah, BPD NTB Syariah dan Bank Aceh Syariah. Namun kini tinggal 12 BUS segera setelah Bank Syariah Mandiri, BRI Syariah dan BNI Syariah merger menjadi Bank Syariah Indonesia efektif 1 Februari 2021. Selain BUS, terdapat pula 20 unit usaha syariah (UUS).
Bagaimana kinerja BUS? Statistik Perbankan Syariah yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 24 Februari 2021 mencatat bahwa pembiayaan BUS tumbuh secara tahunan (year on year) cukup subur di “musim kemarau” 9,50% dari Rp 225,15 triliun per Desember 2019 menjadi Rp 246,53 triliun per Desember 2020. Hal itu jauh lebih subur daripada pertumbuhan kredit bank umum konvensional (BUK) yang justru mengalami kontraksi (tumbuh negatif) 0,84%. Padahal suku bunga acuan BI 7 Day.
Dana pihak ketiga (DPK) BUS pun tumbuh subur 11,72% dari Rp 288,98 triliun menjadi Rp 322,85 triliun tetapi lebih rendah dari DPK BUK 12,15%. Rasio kredit terhadap DPK (financing to deposit ratio/FDR) turun dari 77,91% menjadi 76,36% lebih rendah daripada loan to deposit ratio (LDR) BUK 82,54%. Namun FDR BUS dan LDR BUK masih dalam rasio ideal 78-92%. Itulah ilustrasi sekejab kinerja perbankan syariah hingga Desember 2020.
Aneka Tantangan
Lantas, apa saja asa dan tantangan perbankan syariah? Bagaimana kiat untuk menjawab tantangan tersebut?
Pertama, harus diakui bahwa pelaksanaan vaksinasi Covid-19 menjadi salah satu faktor utama dalam pemulihan ekonomi nasional. Terlebih ketika Presiden Joko Widodo telah menegaskan vaksinasi akan diberikan secara gratis kepada seluruh masyarakat. Anggaran vaksin mencapai Rp 34,23 triliun dengan rincian Rp 5 triliun untuk 2020 dan Rp 29,23 triliun untuk 2021. Sungguh itu kabar suka cita!
Pemulihan ekonomi itu juga akan memengaruhi industri perbankan nasional termasuk perbankan syariah ke depan. Untuk itu, keberhasilan vaksinasi itu amat diharapkan dapat melahirkan pemulihan ekonomi yang berbentuk V. Pemulihan ekonomi dengan bentuk V mengandung arti bahwa wabah menyebabkan ekonomi anjlok dengan pertumbuhan ekonomi menurun tajam dan pengangguran melonjak. Tetapi dalam waktu singkat, ekonomi akan tumbuh kembali pada posisi sebelum krisis.
Kedua, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memprediksi pertumbuhan kredit pada 2021 akan berkisar 5-6% sejalan dengan proyeksi PDB 5%. Bahkan Bank Indonesia (BI) memprediksi pertumbuhan kredit bakal lebih subur 7-9%.
Untuk menggenjot perbankan syariah, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir telah menuntaskan merger tiga BUS BUMN yaitu BRI Syariah, Bank Syariah Mandiri dan BNI Syariah menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI).
Dengan rata-rata total aset yang mencapai Rp 362,69 triliun, BSI digadang-gadang menjadi BUS papan atas di dunia. Sungguh, hal itu merupakan simbol optimisme tinggi bagi perkembangan perbankan syariah.
Ketiga, selama ini didengungkan pangsa pasar (market share) BSI akan melesat tinggi. Apakah benar demikian? Oho, tidak semudah itu. Sejatinya, Indonesia dengan jumlah penduduk muslim terbesar merupakan basis nasabah (customer base) yang maha besar. Dengan bahasa lebih bening, peluang bisnis ekonomi syariah termasuk perbankan syariah amat besar.
Sayangnya, keunggulan bersaing itu belum dimanfaatkan dengan prima. Hal itu tampak dari total pembiayaan BUS Rp 246,53 triliun plus UUS Rp 137,41 triliun menjadi Rp 383,94 triliun per Desember 2020 yang “hanya” 7,33% dari total kredit BUK Rp 5.235,03 triliun pada periode yang sama.
Selama hampir tiga dasa warsa (30 tahun) setelah berdirinya Bank Muamalat pada 1 November 1991, pangsa pasar perbankan syariah terhadap perbankan konvensional masih di bawah 10%. Inilah tantangan serius!
Keempat, lalu bagaimana mengerek pangsa pasar? Ada jurus ampuh yakni memasang harga paling rendah mengingat pasar itu amat sensitif terhadap harga (price sensitive).
Mengapa? Karena pasar sangat sensitif terhadap harga dan harga yang rendah akan merangsang pertumbuhan pasar. Selain itu, biaya produksi dan distribusi turun sejalan dengan akumulasi pengalaman produksi. Lagi pula, harga rendah akan menepis persaingan (Philip Kotler, 2003).
Namun secara umum, BUS sudah semestinya mampu menyediakan pelbagai produk dan layanan baru untuk menciptakan nilai tambah (value added). Dengan demikian, aneka produk dan layanan BUS akan menjadi alternatif layanan perbankan syariah yang menawan bagi nasabah.
Kelima, untuk mampu memperluas pangsa pasar, bank perlu memanfaatkan kecanggihan tekonologi informasi (TI). TI dapat menggeber tingkat efisiensi dan tingkat layanan (service level).
Pemanfaatan TI itu juga bertujuan untuk menjawab perubahan perilaku nasabah (customer behaviour) sebagai akibat disrupsi Covid-19. Perilaku nasabah merupakan perilaku yang memperlihatkan nasabah dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi dan menghabiskan produk dan jasa yang mereka harapkan akan memuaskan kebutuhan mereka (Schiffman dan Kanuk, 1994 seperti yang dirujuk Ujang Sumarwan, 2004).
Alhasil, bank harus mengubah strategi bisnis untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan perilaku nasabah tersebut. Adaptasi menjadi syarat kunci untuk sanggup bertahan di tengah wabah. Sarinya, bank harus menyediakan aplikasi pembayaran non tunai (cashless payments) dan perbankan digital (digital banking).
Tetapi, upaya itu wajib dilengkapi dengan protokol kesehatan. Hal itu bertujuan untuk memperluas pangsa pasar dan menekan potensi risiko penularan Covid-19.
Keenam, BUS wajib pula menggenjot tingkat efisiensi yang terekam dalam rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO). Kini BOPO BUS memburuk dari 84,45% menjadi 85,55% walaupun lebih baik daripada BOPO BUK 86,58%.
Intinya, baik BOPO BUS maupun BUK masih di atas rasio ideal 70-80% yang berarti belum efisien. Padahal efisiensi tinggi merupakan jurus andalan dalam memenangi persaingan.
Monopoli Bisnis
Ketujuh, BSI amat diharapkan menjadi ujung tombak kemajuan perbankan syariah. Namun, sebaliknya BSI bisa menjadi ancaman bagi BUS yang bermodal cekak dan bahkan monopoli bisnis yang bisa melanggar UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Untuk menepisnya, BSI hendaknya tak menangani semua proyek raksasa. Tetapi pembiayaan proyek dibuat sindikasi sehingga risiko terbagi (risk sharing) dan BUS lebih kecil mendapat rejeki pula.
Pun BSI mestinya menjadi pionir dalam menurunkan tingkat bagi hasil sehingga pembiayaan kian terjangkau. OJK hendaknya lebih memprioritaskan untuk menyuburkan pertumbuhan perbankan syariah secara menyeluruh. Ini lebih mendesak dan penting untuk dipertimbangkan agar pangsa pasar pembiayaan kian besar di atas 10% terhadap kredit BUK.
Kedelapan, BUS wajib memperbaiki pembiayaan bermasalah (non performing financing/NPF). Sebab NPF naik dari 3,23% per Desember 2019 menjadi 3,13% per Desember 2020. Meskipun NPF itu di bawah ambang batas 5%, namun hal itu merupakan genta bahaya yang bisa menggerus modal.
Karena itu, BUS perlu mengerem pembiayaan ke sektor dengan NPF tinggi. Katakanlah, sektor industri pengolahan dengan NPF 8,75%, sektor listrik, gas dan air 6,87%, sektor perdagangan besar dan ritel 5,37%, sektor penyediaan akomodasi dan makan minum 4,79% dan sektor pertanian 3,95%. Demikian pula pembiayaan individual seperti kepemilikan ruko 7,52% dan apartemen 6,55%.
Kesembilan, milenial yang mencapai sekitar 85 juta orang dapat menjadi pasar target yang gurih. Untuk itu, diperlukan sosialisasi dan edukasi berbasis teknologi mengenai keunggulan perbankan syariah.
Tatkala aneka tantangan itu telah terjawab dengan jitu, BUS amat diharapkan dapat lebih tangkas dalam menangkap peluang bisnis. Sungguh, ini bukan mimpi!
*) Penulis adalah Staf Ahli Pusat Studi BUMN, Pengamat Perbankan, & Mantan Assistant Vice President BNI