TAHUN 2017 McKinsey menyusun laporan riset bertajuk “The Transformative Power of Automation in Banking”. Firma konsultan keuangan global itu menyusun laporan tersebut setahun setelah perusahaan-perusahaan global melakukan uji-coba otomasi dengan memanfaatan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Uji-coba tersebut bertujuan melihat sejauh mana impact penerapan AI dan otomasi terhadap proses bisnis di perusahaan-perusahaan raksasa tersebut.
Hasilnya cukup mengejutkan, sekaligus menggembirakan. Berdasarkan penuturan para pelaku usaha, otomasi bisa dijalankan di 50%-70% pekerjaan. Otomasi juga mempercepat pengurusan proses transaksi (straight-through process/STP) yang memiliki daya dorong untuk meningkatkan efisiensi hingga 35%. Ujungnya, investasi bisa mendatangkan keuntungan di atas 100%.
Meski otomasi yang menjadi trigger dimulainya era Revolusi Industri 4.0 sudah diperbincangkan sejak 2011 di event Hannover Trade Fair, hasilnya baru benar-benar dirasakan setelah perusahaan-perusahaan raksasa global itu melakukan uji-coba langsung pada 2016. Tak berlebihan jika pada laporan risetnya, McKinsey memberikan rekomendasi bagi perusahaan-perusahaan untuk shifting ke digital dengan menerapkan otomasi. Otomasi secara masif akan terjadi “dalam waktu dekat”, demikian warning-nya.
“Waktu dekat” yang disinyalir McKinsey memang benar-benar dekat. Hasil uji-coba perusahaan-perusahaan raksasa global itu bak wabah yang dengan sangat cepat menyebar ke hampir semua industri, tak terkecuali perbankan. Di industri perbankan nasional, misalnya. Menurut riset Digital Competitiveness Index 2020 yang dirilis perusahaan modal ventura East Ventures, tahun 2016 jumlah kantor cabang bank masih sebanyak 32.846 unit. Dengan penerapan otomasi, dalam tiga tahun kantor cabang bank menyusut menjadi 31.207 unit.
Bank-bank nasional yang fokus pada layanan customer bergegas menerapkan otomasi dan digitalisasi. Hal ini memacu transformasi layanan perbankan, mulai dari model bisnis, proses, hingga produk dan jasa, yang berbasis pada layanan digital. Inilah yang lambat-laun men-disrupt peran kantor-kantor cabang bank. Ini bukan pilihan, tapi sebagai keniscayaan. Sebab, bank yang terlambat, apalagi yang tidak melakukan otomasi dan digitalisasi, akan tergusur karena kalah kompetisi, baik dari sisi biaya maupun manajemen risiko.
Pandemi Covid-19 semakin mengonfirmasi bahwa otomasi dan digitalisasi adalah sebuah keniscayaan bagi bank yang ingin survive dan terus bertumbuh. Ini pula yang dilakukan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk., bank terbesar di Indonesia. Bank yang kini dipimpin oleh Darmawan Junaidi itu selama ini fokus untuk pengembangan dan penguatan digital banking. Untuk tahun 2021, misalnya, Bank Mandiri telah menyiapkan anggaran sebesar Rp1,75 triliun untuk belanja modal (capital expenditure/capex) dalam rangka pengembangan digital banking.
Capex sebesar itu dialokasikan untuk tiga hal utama. Pertama, meningkatkan keandalan sistem layanan. Kedua, penguatan core banking melalui peremajaan. Ketiga, melakukan rekayasa ulang proses bisnis (Business Process Reengineering/BPR).
Bank Mandiri banyak melakukan business process reengineering, termasuk di antaranya melakukan underwritingdengan menggunakan teknologi AI maupun machine learning. Saat ini, hampir 90% dari aplikasi kartu kredit Bank Mandiri, dynamic currency conversion (DCC)-nya telah menggunakan mesin.
Sebagai salah satu bank nasional dengan customer base terbesar, Bank Mandiri telah memetik banyak benefit dari pemanfaatan dan pemaksimalan teknologi AI dalam proses internal. Di antaranya peningkatan efisiensi proses pengajuan kredit serta penawaran produk kepada nasabah potensial. Produk kredit yang ditawarkan di antaranya kartu kredit, kredit kepemilikan rumah (KPR), kredit serbaguna, maupun kredit individual/kredit tanpa agunan (KTA).
Pada produk kartu kredit, misalnya, Bank Mandiri setidaknya memetik empat manfaat dari pemaksimalan teknologi AI. Pertama, peningkatan waktu pemrosesan (turn around time/TAT) hingga empat kali lebih cepat dan kemampuan untuk melakukan persetujuan instan. Kedua, otomatisasi pengambilan keputusan hingga 90% dengan menggunakan rule-base engine. Ketiga, approval meningkat hingga 18%. Keempat, produktivitas operasi tumbuh hingga 125%.
Manfaat serupa juga didapat Bank Mandiri pada produk KPR dan KTA, serta pada proses penagihan (collection), kredit untuk usaha kecil menengah (UKM), dan proses bisnis di internal.
Dengan pemanfaatan teknologi AI, menurut Billie Setiawan, SVP Enterprise Data Management Bank Mandiri, mempercepat dalam mengambil keputusan nasabah mana yang eligible untuk diberikan kredit. Hal itu diperoleh setelah melihat kriteria khusus yang harus dipenuhi, seperti pola transaksi, pemasukan nasabah, dan potensi kualitas kredit nasabah, kemudian diolah dengan memanfaatkan teknologi AI, sehingga mendapat nasabah high priority.
“Inisiatif ini memberikan hasil yang cukup menggembirakan melalui peningkatan take up rate hingga 2-3 kali lipat dari sebelumnya,” ujar Billie.
Dari sisi operasional, pemanfaatan teknologi AI, sangat efektif dan efisien. Sebagai ilustrasi, sebelum memanfaatkan AI, dari target 100 nama calon customer, bisa menghabiskan waktu hingga sebulan, dan hanya 10 target yang akhirnya menjadi customer. Dengan memanfaatkan AI, target telah diseleksi hingga menjadi 40-50 nama potensial, dan dapat target 10 orang dalam waktu lebih cepat.
Melalui penggunaan AI, Bank Mandiri mampu menghitung potensi kelayakan, kemampuan, dan kualitas kredit dari nasabah berdasarkan historis data-data nasabah lain yang mirip secara perilaku dan pola finansial, sehingga menghasilkan leads pipeline yang lebih targeted dan high quality.
“Kami telah melihat dampak pada efektivitas dan efisiensi operasional di semua proses pinjaman ritel kami yang akan menjadi keunggulan kompetitif bagi Mandiri untuk menang di era digital,” ujar Minette Rivelina, SVP Business Process Management Bank Mandiri.
Lebih dari itu, pengembangan teknologi AI untuk meningkatkan layanan kepada nasabah ini, menjadi spirit bagi Bank Mandiri dalam memakmurkan negeri dan memajukan perekonomian Indonesia. (*)