Oleh Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank
KREDIT bermasalah dengan penyaluran kredit berhubungan erat. Makin besar kredit yang dapat disalurkan, makin kecil peluang non performing loan (NPL). Sebaliknya, makin seret kredit yang dapat disalurkan, makin besar risiko NPL. Dan, problem terbesar bank-bank sekarang ini ialah sulitnya menyalurkan kredit.
Saat ini juga yang menjadi soal penting ialah ketakutan akan adanya penambahan NPL gelombang ketiga. Disebut gelombang ketiga karena menunggu deadline restrukturisasi kredit di Maret 2022. Kredit bermasalah gelombang kedua terjadi pada Maret 2021 ini, dan itu pun masih punya peluang untuk direstrukturisasi. Dan, NPL gelombang pertama ketika awal sebelum pandemi COVID-19.
Menurut data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), angka kredit yang direstrukturisasi sampai dengan Januari 2021 – angka loan at risk (LAR) sudah lebih dari Rp1.282 triliun. Hitungan sederhana saja, jika LAR itu 20%-nya jadi NPL, maka akan terjadi penambahan NPL antara Rp200 triliun sampai dengan Rp220 triliun.
Sementara, pertumbuhan kredit tidak semudah bicara. Bank-bank sekarang ini bak menderita gangguan “prostat”, meski banyak minum tapi susah kencing. Kredit mengalami kontraksi 2,41% dan dana (DPK) tumbuh 11,55%. Itu artinya, bank banjir likuiditas – tapi tak mampu mengucurkan kredit.
Menurut Infobank Institute, ada enam alasan penting yang dikemukakan oleh perbankan; mengapa kredit sulit mengucur.
Satu, para bankir secara naluri selalu menjaga likuiditasnya. Ini tidak salah, karena pengalaman sejak krisis 1998/1999 dan 2008. Kedua krisis itu selalu membuat kering likuiditas bank. Jadi, cash is the king menjadi aliran atau mazhab setiap bank untuk berjaga-jaga likuiditas dan menahan kredit.
Dua, permintaan kredit yang rendah akibat sektor ekonomi yang tidak bergerak. Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengonfirmasi bahwa seluruh sektor ekonomi mengalami kontraksi, kecuali pertanian yang bergerak positif. Sektor manufaktur, transportasi, hotel, dan restoran terkena dampak terberat.
Tiga, risiko kredit mengalami peningkatan, meski secara angka (NPL) nett relatif rendah (1,19%). Persepsi risiko terhadap dunia usaha meningkat sejalan dengan naiknya LAR yang juga tinggi. Rasio LAR terhadap kredit perbankan mencapai 25%-30%. Bank-bank kelompok BUKU 3 dan 4 yang berperan dalam naiknya LAR ini.
Empat, penurunan daya beli masyarakat. Banyak pemutusan hubungan kerja (PHK). Bahkan, Jakarta yang memegang 18% perekonomian Indonesia saja tingkat penganggurannya mencapai 10%. Sektor konsumsi yang terkait dengan kredit KPR, kredit mobil, dan sepeda motor drop. Data BPS juga menunjukkan terjadi penurunan pendapatan per kapita.
Lima, pengucuran dana stimulus ke sektor koperasi, UMKM, dan korporasi belum mampu meningkatkan daya dorong permintaan kredit dari UMKM dan korporasi.
Enam, banyak korporasi besar yang melunasi pinjamannya – pelunasannya dipercepat. Angka pelunasan pinjaman yang dipercepat, menurut data OJK, sebesar Rp61,94 triliun, terdiri atas 116 debitur besar.
Jadi, ke depan bank-bank akan terasa berat. Satu sisi menghadapi risiko NPL dari LAR yang sudah mencapai 30%-35%. Sisi lain, risiko pemburukan kredit masih terasa besar, meski BI sudah mendorong dari sisi penawaran. Kebijakan loan to value (LTV) hingga 100 persen juga sudah, tapi masih saja bank sulit memberikan kredit.
Adanya “doping” berupa program penjaminan juga tidak otomatis membuat bank-bank obral kredit. Tentunya prinsip pemberian kredit dengan dogma 5C harus tetap dikedepankan – meski ada penjaminan. Jangan sampai memindahkan masalah ke lembaga penjaminan seperti tahun-tahun 80-an.
Boleh jadi saat ini ada perbedaan persepsi tentang risiko. Bahkan, BI sendiri merasa heran, kenapa bank-bank belum juga mau melempar kredit dan menurunkan suku bunga pinjaman. Jika demikian, sudah waktunya bank-bank membuat semacam purchasing managers index (PMI). Ada baiknya dicoba membuat indeks persepsi terhadap bank-bank, siapa tahu gap dalam memandang risiko ini benar.
Suka tidak suka – sekarang yang dihadapi ialah ancaman kredit bermasalah gelombang ketiga dengan celah kredit yang masih sempit. Sedia payung sebelum badai datang. Atau, siapa tahu ada bank-bank yang berani obral kredit untuk memperkecil persentase NPL. Kredit, kredit, siapa mau? Dilema. (*)
Ayo berlangganan Majalah Digital