Oleh: Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank Media Group
BAMBANG Soesatyo, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), beberapa waktu lalu mengusulkan hapus buku kredit macet UMKM. Alasannya, karena banyak UMKM yang terkena dampak COVID-19. Dalam kesempatan berbeda, sejumlah anggota DPR-RI juga mempertanyakan soal kredit bermasalah, jika tidak ada relaksasi kredit, berapa sesungguhnya, besarnya non performing loan (NPL) bank-bank BUMN.
Mengapa kali ini Bambang Soesatyo mengomentari pemutihan kredit UMKM? Ada dua hal, banyak pengusaha UMKM yang bangkrut, dan dominasi jumlah pelaku UMKM dengan daya serap tenaga kerja dunia usaha yang mencapai 97%. Meski, Bambang Soesatyo sering memberi komentar terhadap banyak permasalahan di luar kontek tugasnya sebagai Ketua MPR, pernyataan Bamsoet soal pemutihan kredit bagi UMKM yang terdampak COVID-19 tentu tidak main-main.
Serius, dan bisa menimbulkan banyak interpretasi bagi UMKM sendiri, tapi terhadap bank-bank BUMN, meski Bamsoet sendiri bicara ketika silahturahmi ke jajaran Direksi Bank BRI. Kata pemutihan kredit bagi UMKM bisa diterjemahkan macam-macam, tidak hanya bagi UMKM sendiri yang kena dampak. Tapi, juga kepada UMKM yang lancar.
Seperti, ketika awal-awal program restrukturisasi kredit lalu, banyak debitur yang memanfaatkan program restrukturisasi kredit ini. Banyak penumpang gelap dalam relaksasi kredit ini. Moral hazard terjadi, contohnya, debitur yang sudah macet sebelum COVID-19 coba-coba mendapatkan program restrukturisasi.
Juga, nasabah-nasabah yang sebenarnya lancar tiba-tiba memacetkan diri, meski tidak banyak yang seperti itu. Namun, cara “memacetkan” diri ini juga bisa terjadi jika pemutihan kredit macet UMKM ini umumkan secara terbuka. Siapa sih tak tergiur mendengar kata pemutihan kredit macet? Kredit lancar pun bisa dibuat macet dan akibatnya bank-bank kebanjiran kredit macet sektor UMKM ini.
Selama ini, karena program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), bank-bank BUMN telah menolong debitur UMKM yang terkena dampak COVID-19. Banyak cara, seperti penjaminan UMKM, subsidi bunga UMKM, KUR Super Mikro, dan bantuan produktif usaha mikro. Jumlahnya tidak main-main, Rp192,24 triliun, termasuk penyaluran kredit dalam rangka program penempatan dana pemerintah.
Sejak diluncurkan 16 Maret 2020 lalu, sampai akhir Desember 2020, menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), program restrukturisasi kredit perbankan telah mencapai nilai Rp971 triliun. Jumlah itu diberikan kepada 7,6 juta debitur. Rinciannya, restrukturisasi kredit UMKM mencapai Rp386,6 triliun (5,8 juta debitur). Sementara untuk non-UMKM (1,8 juta debitur) dengan nilai Rp584,4 triliun.
Dampak COVID-19 tidaklah ringan. Pertumbuhan kredit pun terganggu, karena rendahnya permintaah kredit. Tahun 2020 lalu kredit tumbuh minus 2,14%, dengan pertumbuhan dana masyarakat 11%. Itu berarti kondisi bank sedang banjir likuiditas, karena posisi loan to deposit rasio (LDR) di kisaran 82% yang sebelumnya pernah mencapai 94%, dan individu bank pernah mencapai 96%.
Selain Bambang Soesatyo, sejumlah politisi di DPR, salah satunya dari Fraksi Golkar Melchias Marcus Mekeng, Anggota Komisi XI, mempertanyakan berapa sesungguhnya NPL bank-bank BUMN, jika tidak ada program restrukturisasi kredit. Ia mencontohkan angka NPL bank-bank BUMN masih di bawah 5%. Misalnya, katanya, angka NPL gross Bank BNI yang masih di bawah ketentuan yaitu berada pada kisaran 4,3%. Dan, NPL nett yang jauh lebih rendah dari angka itu.
Program restrukturisasi kredit harus diakui telah menolong kinerja perbankan. Bayangkan, jika tidak ada restrukturisasi kredit ini, tentu angka NPL bank-bank juga akan terbang. Namun sejumlah bank telah mengambil strategi dengan manaikkan cadangan. Langkah menaikan cadangan ini untuk berjaga-jaga akan datangnya badai kredit setelah program restrukturisasi kredit ini selesai di Maret 2022 (diperpanjang).
Langkah penyelesaian kredit bermasalah di bank-bank, dan khususnya tetap diserahkan kepada mekanisme korporasi. Initinya, jangan diserahkan penyelesaian secara politik dengan tekanan politik. Bankir-bankir yang ada sekarang sebaiknya tidak diganggu oleh manuver politik. Atau tekanan politik yang bukan tak mungkin makin membingungkan bankir.
Soal hapus buku, atau besarnya pencadangan karena risiko, sebaiknya diserahkan pada masing-masing bank. Langkah melakukan restrukturisasi kredit yang baik adalah seperti ketika pertama melakukan pemberian kredit baru. Prinsip 5C dalam pemberian kredit bisa dilakukan dalam merestrukturisasi kredit. Jadi, tekanan politik tidaklah perlu dilakukan dalam menyelesaikan kredit bermasalah.
Bank-bank bisa menghitung sendiri risiko kreditnya, tidaklah perlu tekanan politik yang justru bisa menimbulkan moral hazard bagi debitur yang baik. Kata hapus buku bisa diterjemahkan berbeda di masyarakat yang masih tidak paham, antara “hapus buku” dan hapus tagih. Selama ini bank-bank sudah melakukan hapus buku sesuai ketentuan yang berlaku di perbankan.
Pengalaman, meski tidak ringan tekanan kepada perkreditan bank-bank, akan lebih berat jika para politisi “ikut campur” secara teknis dalam mengatasi kredit di bank-bank BUMN. Jangan sampai akan menimbulkan komplikasi kredit jika para politisi ikut campur dalam urusan kredit perbankan ini. (*)