Jakarta – Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Aviliani mengkritisi pembentukan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau sovereign wealth fund (SWF) yang bernama Indonesia Investment Authority (INA).
Dirinya berharap hadirnya LPI tidak menjadi beban APBN. Pasalnya, pemerintah telah berkomitmen memberikan modal awal sebesar US$5 miliar atau sekitar Rp75 triliun bagi LPI. Aviliani juga mengatakan, hasil pembangunan dari project investasi LPI juga harus memiliki dampak yang luas bagi perekonomian nasional.
“Sebenarnya yang ditakutkan adalah justru banyak proyek investasi yang dilakukan (LPI) tetapi proyek itu tidak menghasilkan multiplayer effect ekonomi atau tidak menghasilkan percepatan dalam pengembalian. Sehingga (LPI) nanti hanya menjadi beban negara bukan hanya beban APBN terhadap utang,” kata Aviliani melalui diskusi Indef di Jakarta, Rabu 3 Febuari 2021.
Menurutnya, Pemerintah harus mempertimbangkan Good Corporate Governance (GCG) dari kehadiran LPI. Pihaknya pun mendukung penuh kehadiran LPI untuk menunjang investasi, namun hal tersebut juga harus dibarengi oleh nilai tambah yang positif bagi negara.
“Kalau saya lihat proyek-proyek yang diutamakan (LPI) ini kan nanti adalah Bandara Kualanamu kemudian bandara lain. Nah itu juga harus diteliti bandaranya itu mana yang memang bisa menciptakan multiplier effect ekonomi,” tambah Aviliani.
Sebagai informasi saja, Pemerintah telah meresmikan pendirian LPI yang sudah diberikan suntikan modal awal Rp15 triliun. Modal ini bersumberkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2020.
Setelah itu pada tahun ini, modal tersebut akan ditambahkan secara bertahap dengan nominal keseluruhan mencapai Rp75 triliun untuk meningkatkan kapasitas dan kepercayaan investor terhadap LPI. Melalui modal tersebut, diharapkan LPI dapat menghasilkan laba yang sebagiannya disetorkan kepada pemerintah. (*)
Editor: Rezkiana Np