Oleh Paul Sutaryono: Staf Ahli Pusat Studi BUMN, pengamat perbankan & mantan Assistant Vice President BNI
INDONESIA mulai resesi ketika pada 5 November 2020 Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa produk domestik bruto (PDB) terkontraksi (pertumbuhan negatif) 3,49% per kuartal ketiga 2020 menyusul kontraksi 5,32% pada kuartal sebelumnya. PDB diprediksi masih terkontraksi 2,2%-1,7% pada kuartal keempat 2020. Satu negara dikatakan resesi apabila PDB negatif pada dua kuartal berturut-turut. Bagaimana bank memitigasi resesi?
Bagaimana negara lain? Korea Selatan terkontraksi 1,10%, Amerika Serikat (AS) 2,80%, Rusia 3,40%, Prancis 3,90%, Jerman 4%, Italia 5%, Jepang 5,80%, India 7,50%, Inggris 8,60%, Meksiko 8,6%, dan Spanyol 8,70%.
Sementara negara ASEAN, Malaysia terkontraksi 2,70%, Singapura 5,80%, Thailand 6,40%, dan Filipina 11,50%. Namun, masih ada negara dengan PDB yang tumbuh positif, seperti Turki 6,70%, Tiongkok 4,90%, Taiwan 3,92%, dan Vietnam 2,62%.
Namun apakah bank dapat tersengat resesi? Ya! Apa bentuknya? Permintaan kredit makin tipis lantaran kapasitas produksi sektor riil amat rendah. Ada potensi lahirnya keengganan bank untuk menyalurkan kredit (credit crunch). Akibatnya, pendapatan bunga kredit (interest income) surut dan ujungnya laba akan jauh menyusut.
Lantas, apa saja langkah strategis bank dalam memitigasi resesi? Pertama, kita cermati dulu kinerja bank umum. Statistik Perbankan Indonesia menunjukkan kredit terkontraksi 0,94% dari Rp5.287,46 triliun per Oktober 2019 menjadi Rp5.237,76 triliun per Oktober 2020 atau naik dari terkontraksi 0,30% per September 2020.
Namun, dana pihak ketiga (DPK) tumbuh lebih subur (naik) 12,04% atau menjadi Rp6.305,14 triliun atau turun dari 12,70% dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Laba sebelum pajak terjun 26,65% dari Rp194,10 triliun menjadi Rp142,37 triliun. Bagaimana laba sebelum pajak menurut kelompok bank? Lima kelompok bank mengalami penurunan laba sebelum pajak diantaranya bank asing 17,99%, bank umum swasta nasional (BUSN) devisa 15,66%, bank persero 41,77%, dan BUSN nondevisa 49,66%. Hanya bank campuran dan bank pembangunan daerah (BPD) yang masih mampu menaikkan laba sebelum pajak masing-masing 18,94% dan 4,07%. Itulah sekilas pandang kinerja bank umum.
Kedua, pertumbuhan DPK yang kian subur itu menyiratkan bahwa masyarakat lebih memilih untuk menabung di bank daripada mengeluarkan dana untuk konsumsi rumah tangga. Celakanya, konsumsi rumah tangga juga terkontraksi 4,04% per kuartal ketiga 2020. Padahal, pengeluaran konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi tertinggi terhadap PDB, sekitar 57%.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga akan berlanjut pada kuartal berikutnya karena perubahan pola konsumsi masyarakat. Survei McKinsey menunjukkan 67% responden Indonesia kini lebih mempertimbangkan cara mengeluarkan uang dan 59% mencari langkah untuk lebih menyimpan uang ketika berbelanja. Terakhir, 56% beralih membeli produk yang lebih murah sehingga dapat menyimpan uang.
Kini, realisasi pengucuran dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) mencapai Rp481,6 triliun (69,28%) dari total Rp695,2 triliun (100%) per 14 Desember 2020. Karena itu, sisa dana PEN Rp213,6 triliun harus segera digelontorkan untuk menjadi penopang utama dalam mendorong sektor riil.
Pos dukungan UMKM dalam PEN dengan pagu Rp123,46 triliun itu akan lebih cepat terserap ketika disalurkan melalui bank yang bermain di segmen UMKM. Realisasi baru mencapai Rp106,25 triliun (86,06%).
Hendaknya penyaluran ke UMKM bukan hanya kepada bank BUMN dan BPD, tapi juga kepada semua bank umum. Hal itu sekaligus untuk mendukung Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/12/PBI/2015 yang mewajibkan bank umum untuk mengucurkan kredit minimal 20% ke UMKM dari total kredit. Mengapa UMKM? Lantaran UMKM mampu menyerap lebih dari 100 juta tenaga kerja! Alhasil, bank dapat menambah portofolio kredit dan UMKM kembali bergairah. Sekali dayung, dua pulau terlampaui!
Ketiga, menerapkan manajemen resesi. Apa langkah konkretnya? Bank wajib merevitalisasi penerapan manajemen risiko. Ringkasnya, tiap unit kantor bank perlu menilai ulang potensi risiko unit masing-masing. Nah, ketika terjadi risiko, bank dapat segera menutup risiko itu karena sudah diantisipasi sebelumnya.
Upaya itu sejalan dengan perkembangan bisnis dan lingkungan bisnis yang lebih mengutamakan produk dan jasa berbasis teknologi. Namun, makin tinggi penggunaan teknologi, makin tinggi potensi risiko teknologi yang tersimpan di dalamnya. Katakanlah, gagal sistem yang bisa merugikan nasabah. Hal itu bertujuan untuk menekan potensi risiko, baik risiko operasional, kredit, pasar maupun likuiditas.
Keempat, mengingat bank juga aktif dalam transaksi treasury, maka bank perlu esktra hati-hati dalam transaksi treasury, seperti placement, foreign exchange, dan money market. Pun kredit dan kerja sama dengan bank koresponden asing dalam valas. Ingat, transaksi teasury dan kredit valas menyimpan exposures yang bisa membengkak ketika nilai tukar rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS.
Kelima, untuk itu, semua transaksi valas wajib dilakukan lindung nilai (hedging). Lindung nilai merupakan salah satu strategi manajemen risiko untuk membatasi atau mengimbangi potensi kerugian dari fluktuasi harga. Salah satu kiat sederhana nan jitu dalam lindung nilai adalah dengan mengalihkan dari suku bunga mengambang (floating rates) menjadi suku bunga tetap (fixed rates).
Keenam, bank pun perlu berhati-hati dalam transaksi internasional (trade finance), seperti ekspor, impor, bank garansi, dan transaksi derivatif lainnya. Jangan sampai muncul kasus letter of credit (L/C) bodong. Selain itu, bank perlu meneliti ulang daftar bank koresponden utama luar negeri sebagai mitra bisnis dalam transaksi L/C. Ada kemungkinan telah terjadi perubahan besar mengenai kondisi bank koresponden asing di luar negeri sebagai akibat pukulan COVID-19. Akibatnya, bank itu tidak layak lagi menjadi mitra bisnis strategis dalam transaksi L/C.
Transaksi treasury dan trade finance itu telah memberikan kontribusi tinggi dalam pendapatan bank dari komisi (fee based income). Pendapatan itu menjadi penyeimbang utama dalam membentuk laba ketika pendapatan bunga kredit anjlok.
Ketujuh, mengerek tingkat efisiensi yang tersirat pada rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BO/PO). Celakanya, kini BO/PO memburuk dari 80,65% menjadi 86,27%, jauh di atas ambang batas 70%-80%. Itu berarti bank tidak efisien. Bandingkan dengan bank di ASEAN yang berkisar 40%-60%. Inilah tantangan serius!
Karena itu, OJK perlu menata kembali rasio tingkat efisiensi bank secara bertahap. Tahap pertama, ambang batas tingkat efisiensi ditetapkan menjadi 60%-70% pada semester kesatu 2021. Kemudian, tahap kedua, tingkat efisiensi menjadi 50%-60% pada akhir 2021. Hal itu akan mendorong bank untuk mampu menangkis resesi.
Ada beberapa kiat untuk menggenjot tingkat efisiensi. Bank perlu memanfaatkan teknologi informasi (TI) dengan menggali aneka produk dan jasa berbasis TI karena TI memberi banyak manfaat. Sebutlah, TI sanggup mengerek tingkat layanan, mempercepat antaran jasa, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas.
Apakah bank harus mengurangi pegawai untuk menaikkan tingkat efisiensi? Tidak! Bank cukup menerapkan pertumbuhan pegawai nol (zero growth) yang berarti ketika ada pegawai yang pensiun atau mengundurkan diri tak perlu diganti pegawai baru. Sarinya, bank wajib menggeber tingkat efisiensi dan menekan tingkat pengangguran.
Kedelapan, bank wajib meningkatkan kualitas kredit, lebih selektif dalam memberikan kredit, terlebih kredit valas. Hal itu bertujuan untuk menekan kredit bermasalah (non performing loan/NPL) yang cenderung melambung.
Coba amati NPL yang terus mendaki dari 2,53% per Desember 2019 menjadi 2,77% per Maret, 2,89% per April, 3,01% per Mei, 3,11% per Juni, 3,22% per Juli, 3,22% per Agustus, 3,14% per September, dan 3,15% per Oktober 2020. Inilah tantangan serius meski NPL masih di bawah ambang batas 5%.
Kenaikan Jumlah Penjaminan Simpanan
Kesembilan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) per November 2020 mencatat simpanan di atas Rp5 miliar mendominasi simpanan atau 48,5%. Lalu, disusul simpanan hingga Rp100 juta (13,9%), Rp200 juta hingga Rp500 juta (8,9%), Rp2 miliar-Rp5 miliar (8,7%), Rp500 juta-Rp1 miliar (7,7%), Rp1 miliar-Rp2 miliar (6,8%), dan Rp100 juta-Rp200 juta (5,5%).
Karena itu, perlu dipertimbangkan untuk menaikkan jumlah penjaminan simpanan dari Rp2 miliar menjadi Rp3 milar-Rp4 miliar per nasabah per bank. Hal itu bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan pasar terhadap perbankan. Persepsi positif itu penting sebagai resolusi konkret pada 2021.
Tidak ada kebijakan tentang resolusi yang berhasil tanpa adanya penjaminan simpanan penuh, paling tidak pada jumlah tertentu. Dengan demikian, penjaminan simpanan yang kokoh – yang mampu membayar simpanan yang diasuransikan segera setelah terjadi kegagalan bank – merupakan hal penting bagi sistem keuangan yang sehat (Thomas F. Huertas dalam Crisis: Cause, Containment and Cure, 2011).
Berbekal aneka langkah strategis demikian, bank sangat diharapkan tidak terdisrupsi resesi terlalu parah. (*)