Jakarta – Asuransi Jiwasraya seharusnya sedang sibuk melakukan transformasi digital saat industri keuangan dan perbankan Tanah Air tengah fokus berbenah menuju digitalisasi. Apa daya, di usianya ke-161, persis 31 Desember 2020 nanti, Nederlandsch Indiesche Levensverzekering en Liffrente Maatschappij (NILLMIJ), nama awal Jiwasraya, justru sedang limbung.
Awalnya semua terlihat sempurna, sampai Asmawi Syam, mantan Direktur Utama BRI, masuk sebagai nakhoda, dua tahun lalu. Sebagai bankir senior yang selalu menjadikan integritas dan prudential sebagai panglima, “sense of governance” Asmawi mengendus ada yang tak beres dengan laporan keuangan Jiwasraya. Dia lantas meminta audit ulang PriceWaterhouseCoopers (PWC) atas laporan keuangan Jiwasraya tahun 2017. Dari sinilah borok itu mulai terkuak.
Jiwasraya ternyata kapal megah yang keropos. Bahkan, bisa dibilang sudah lama roboh. Tapi, nyaris tak terlihat. Tak urung, Dahlan Iskan, saat itu Menteri BUMN, sampai tak melihat ada rayap-rayap yang tengah menggerogoti legacy Hindia Belanda bergelar “Sang Pelopor Asuransi Jiwa di Nusantara” itu. Dahlan bahkan memuji Hendrisman Rahim, dan Hary Prasetyo, sebagai sang penyelamat.
“Mereka harus kerja keras di dua sisi sekaligus: mencari jalan keluar atas beban Rp6,7 triliun, dan kinerja operasionalnya harus terus membaik,” tulis Dahlan Iskan dalam catatan Manufacturing Hope-nya bertajuk “Merdeka Rp6,7 Triliun di Usia 155 Tahun”.
Dahlan menulis pujiannya itu persis di hari Kemerdekaan ke-69 RI tahun 2014, saat usia Jiwasraya 155 tahun. Pujian ini sejatinya membuat beban Hendrisman dan jajaran direksi Jiwasraya semakin berat. Dengan pujian itu, berarti dia harus menjaga laporan keuangan perusahaan terlihat tetap ciamik, tanpa dukungan likuiditas dari pemerintah. Artinya, dia harus menambal laporan kuangan yang sejatinya telah mulai bolong sejak 2006.
Berdasarkan laporan keuangan pada 31 Desember 2006, ekuitas Jiwasraya negatif Rp3,29 triliun. Penyebabnya, nilai aset yang jauh lebih rendah dibandingkan kewajiban. Tahun 2007 BPK menilai disclaimer atau keuangan Jiwasraya tak dapat diandalkan untuk mendukung kewajiban manfaat polis. Dan, ketika Hendrisman menjadi nakhoda tahun 2008, laporan keuangan per 31 Desember 2008 mencatatkan defisit semakin lebar menjadi Rp5,7 triliun.
Setahun kemudian, defisit semakin membesar menjadi Rp6,3 triliun. Hendrisman meminta meminta suntikan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada Kementerian BUMN sebagai langkah penyelamatan, namun ditolak. Direksi pun mengambil langkah reasuransi atau menjual sebagian besar klaim polis kepada perusahaan asuransi internasional di Amerika Serikat untuk masa beberapa tahun.
Langkah ini cukup meredam kegundahan Hendrisman dan jajaran direksi Jiwasraya. Setidaknya, laporan keuangan terlihat klimis. Tahun 2013, misalnya, Jiwasraya mencatat, ekuitas perseroan surplus Rp1,75 triliun. Dan, bersamaan dengan itu, skenario reasuransi mulai tidak diperkenankan.
Hendrisman dan jajaran direksi pun mencari pendanaan di pasar dengan memasarkan produk bancassurance bertajuk “JS Saving Plan”. Produk saving plan itu dijual dengan bunga tinggi di atas bunga deposito. Dari sinilah Jiwasraya menyimpan “bom waktu”, yang kemudian meledak saat Asmawi masuk dan meminta PWC melakukan audit ulang keuangan Jiwasraya.
Produk JS Saving Plan ini simalakama. Dengan janji imbal hasil pasti di angka 9% hingga 13%, Jiwasraya langsung dibanjiri dana. Namun, di sisi lain, penerbitan JS Saving justru menambah beban kinerja keuangan. Selain imbal hasil tinggi, faktor yang menghancurkan kinerja keuangan Jiwasraya dari penerbitan JS Saving Plan karena pada akhirnya menjadi produk berskema ponzi atau gali lubang tutup lubang.
Skema ponzi terjadi karena kinerja pengelolaan investasi Jiwasraya tak mampu menutup tingginya janji imbal hasil. Sampai akhirnya di satu titik, Jiwasraya sudah tak mampu membayar pokok dan bunga investasi yang ditanam nasabah sampai saat ini.
Itulah kronologis kasus gagal bayar Jiwasraya yang akhirnya membawa Hendrisman Rahim, Direktur Utama Jiwasraya periode 2008-2018; Hary Prasetyo, Direktur Keuangan Jiwasraya periode Januari 2013-2018; Syahmirwan, mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya; Joko Hartono Tirto, Direktur PT Maxima Integra; Benny Tjokrosaputro, Direktur Utama Hanson International Tbk (MYRX); dan Heru Hidayat, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera, ke hotel prodeo dengan masa inap seumur hidup.
Kronologis dan analisis yang ditulis secara mendalam, rigid, tajam, dan apik oleh Irvan Rahardjo dalam bukunya “Robohnya Asuransi Kami: Sengkarut Asuransi Jiwasraya, Warisan Belanda Hingga Absennya Negara”. Irvan adalah praktisi asuransi kelahiran Semarang, 12 Juli 1956, yang sudah 41 tahun makan asam garam industri asuransi nasional. Magister manajemen jebolan UGM ini pernah menjabat sebagai Risk Management Committee Komisaris Independen Asuransi SOMPO Indonesia (2015–2017) dan Komisaris Independen Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 (2012–2013).
Buku yang terbit bulan Desember 2020 ini semakin bernas dan berbobot karena Irvan berkolaborasi dengan Dr. H. Supardi S., Jaksa Utama Muda yang jadi koordinator penyidikan pada kasus korupsi Jiwasraya. Supardi pernah menjabat sebagai Direktur Penuntutan KPK tahun 2016-2018, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tahun 2018-2019, dan Koordinator Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus tahun 2019-2020. Saat ini, jaksa kelahiran Boyolali, 28 April 1971, itu menjabat Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Kaltim.
Membaca buku terbitan IPB Pers ini serasa hadir di pengadilan dan menjadi saksi bagaimana manajemen Jiwasraya bersiasat selama 10 tahun, mengotak-atik keuangan perusahaan agar tetap WTP. Wajar Tanpa Pengecualian. Penulis menilai, kasus gagal bayar asuransi Jiwasraya hanyalah puncak gunung es dari kerapuhan tata kelola industri asuransi di Indonesia. Kasus gagal bayar yang berujung pada tindak pidana ini telah melibatkan demikian banyak pihak.
Ada banyak aspek dimensi yang saling terkait dalam kasus ini, yakni aspek pidana, kerugian keuangan negara, dan tata kelola. Potensi kerugian keuangan negara dan tindak pidana tersebut timbul tentunya juga diakibatkan oleh pelanggaran prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG), yakni terkait dengan pengelolaan dana yang berhasil dihimpun melalui program asuransi JS Saving Plan.
Banyak pelanggaran prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi yang dilakukan oleh Jiwasraya. Investasi ditempatkan pada aset-aset dengan high risk untuk mengejar high return. Antara lain penempatan saham sebanyak 22,4% senilai Rp5,7 triliun dari aset finansial. Dari jumlah tersebut, 5% dana ditempatkan pada saham perusahaan dengan kinerja baik (LQ 45) dan sebanyak 95% dana ditempatkan di saham yang berkinerja buruk.
Selain itu, ada pula penempatan reksadana sebanyak 59,1% senilai Rp14,9 triliun dari aset finansial. Dari jumlah tersebut, 2%-nya yang dikelola oleh manajer investasi dengan kinerja baik (Top Tier Management) dan 98%-nya dikelola oleh manajer investasi dengan kinerja buruk.
Hasil persidangan membuktikan adanya kerugian negara lebih dari Rp16,8 triliun. Kerugian yang terjadi terkait penyimpangan dalam pengelolaan produk investasi JS Saving Plan selama 2008-2018 yang terdiri dari kerugian investasi saham sebesar Rp4,65 triliun, dan kerugian negara akibat investasi dari reksadana sebesar Rp12,16 triliun.
“Pelajaran yang dapat dipetik dalam kasus ini dalam pandangan saya adalah perlunya pengawasan yang ketat dalam industri yang membutuhkan kepercayaan sangat tinggi dari masyarakat,” tulis Irvan Rahardjo.
Irvan dan Supardi setidaknya menemukan ada lima kelemahan dalam tata kelola industri asuransi. Satu, pembiaran terhadap praktik tata kelola yang buruk di mana terjadi rangkap jabatan antara direktur keuangan dan investasi dengan alasan mengurangi beban biaya.
Dua, lemahnya pengawasan dalam investasi yang dilakukan. Tiga, aspek transparansi dalam pengelolaan keuangan. Empat, aspek literasi kepada masyarakat atau konsumen. Lima, tak ada lembaga khusus yang berfungsi sebagai penjamin dana nasabah.
Pelajaran yang lebih esensi dan fundamental dari kasus gagal bayar Jiwasraya adalah urgensi kembalinya industri asuransi ke fitrahnya, yakni proteksi. Memberikan proteksi finansial kepada pemegang polis. Bukan justru bersaing atau berebut kue dengan manajer investasi. (Darto Wiryosukarto)
PROFIL BUKU
Judul : Robohnya Asuransi Kami: Sengkarut Asuransi Jiwasraya, Warisan Belanda Hingga Absennya Negara
Penulis : Dr. H. Supardi S, S.H., M.H. dan Irvan Rahardjo, S.E., M.M.
Editor : Rizky Triputra
Penerbit : IPB Press
Desain : Makhbub Khoirul Fahmi
Korektor : Nopionna Dwi Andari
Halaman : 346 + 72 halaman
Terbit : Desember 2020