Waduh! Sudah Diduga Laba BNI Terjun Bebas

Waduh! Sudah Diduga Laba BNI Terjun Bebas

Jakarta – Laba Bank Negara Indonesia (BNI) sedang terjun bebas. Pada September 2020, bank yang dipimpin Royke Tumilaar dari Bank Mandiri, sebagai direktur utama ini susut 63,73% secara tahunan atau menjadi Rp4,34 triliun. Penurunan laba ini sebenarnya sudah diprediksi oleh para analis, karena seperti biasa setiap pergantian tim direksi selalu membuat cadangan yang lebih besar. Hal itu juga terjadi di BNI.

Terjadinya penurunan laba, oleh manajemen BNI diklaim sebagai bagian dari upaya BNI untuk memperkuat fundamental keuangan bank dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi di masa mendatang, yaitu dengan melakukan pembentukan pencadangan yang lebih konservatif sehingga rasio kecukupan pencadangan (coverage ratio) hingga triwulan III 2020 berada pada level 206,9% lebih besar dibandingkan triwulan III 2019 yang sebesar 159,2%.

Biro Riset Infobank mencatat, di kelompok The Big Four; Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, Bank Central Asia (BCA), dan BNI — yang juga sama-sama mengalami penurunan laba, penurunan laba BNI merupakan yang terdalam. Di triwulan III 2020, laba BRI, Bank Mandiri, dan BCA, masing-masing turun 42,94%, 30,73%, dan 4,20%. Turunnya laba para pembesar itu, seperti yang dialami sejumlah bank lain, utamanya disebabkan dampak pandemi Covid-19 yang mengganggu bisnis bank.

Di posisi September 2020, BCA menjadi bank pencetak laba terbesar, yakni Rp20,04 triliun. Disusul BRI dan Bank Mandiri masing-masing Rp14,15 triliun dan Rp14,03 triliun.

Turunnya perolehan laba BNI, sebelumnya sudah pernah diperkirakan oleh Infobank. Terlebih ketika bank ini melakukan pergantian direksi di 2 September 2020 lalu, dengan masuknya tim Mandiri. Menurut kajian Biro Riset Infobank, bankir-bankir Mandiri, terutama saat mulai memimpin suatu bank, sepertinya memiliki pola mengempiskan laba. Caranya, dengan pembentukan cadangan yang diperbesar. Harapannya, ke depan akan lebih ringan.

Rumus ini biasa dilakukan setiap terjadi pergantian direksi. Ada yang menyebut ini normal untuk memberi batas kinerja. Tapi, terkadang kritik para analis sering kali bahwa penurunan kolektibilitas merupakan tabungan yang akan dipetik di masa-masa mendatang.

Seperti pada 2005, ketika Bank Mandiri dipimpin Agus D.W. Martowardojo. Ketika itu laba Bank Mandiri kempis dari Rp5,25 triliun menjadi Rp604 miliar. Sebabnya, Bank Mandiri melakukan bersih-bersih kredit bermasalah. Cadangan dibentuk cukup besar sehingga menyusutkan laba.

Lalu, juga pada 2016 ketika Bank Mandiri mulai dipimpin Kartiko Wirjoatmodjo pada Maret. Di akhir 2016 laba Bank Mandiri secara tahunan menciut 28%. Tapi setahun kemudian, langsung melejit 46%.

Pola atau ilmu semacam ini boleh jadi akan digunakan bankir-bankir Bank Mandiri yang menjadi pucuk pimpinan, terutama di bank-bank BUMN. Di Bank Tabungan Negara (BTN), sepertinya sudah dilakukan oleh Tim Pahala N. Mansury, yang mengoreksi kualitas kredit BTN dengan harapan akan dipetik di masa depan.

Pahala yang berasal dari Bank Mandiri, mulai memimpin BTN pada November 2019. Kemungkinan besar ia mengikuti jejak seniornya dengan pola tadi, laba BTN di Maret dan Juni 2020, anjlok cukup dalam, masing-masing minus 36% dan minus 40%. Tapi di triwulan III atau September, BTN sudah memetik buah yang manis, labanya mengembang 39%, menjadi Rp1,12 triliun.

Nah, dengan analisis pola seperti itu, besar kemungkinan laba BNI masih akan “tiarap” hingga akhir tahun ini. Tapi, laba bank ini akan mulai mendaki di 2021. Kita lihat saja nanti. (*) Ari Nugroho

Related Posts

News Update

Top News