Oleh Ida Bagus Kade Perdana
SETIAP orang pastilah sudah mengenal apa itu bank. Mengingat saat ini bank bertebaran ada di mana mana dari perkotaan nyaris keberadaannya hingga kepelosok desa. Bermula pada zaman rezim orde baru dengan diterbitkannya paket deregulasi perbankan 27 Oktober 1988 yang populer dengan sebutan Pakto 88. Sebuah kebijakan libralisasi perbankan yang membuka keran yang memudahkan syarat-syarat mendirikan bank.
Sehingga setiap orang dengan mudahnya bisa mendirikan bank dan menjadi bankir. Kala itu diatur salah satu ketentuan fundamental dalam Pakto 88 pembukaan keran izin pendirian bank swasta nasional dipermudah dengan hanya modal disetor Rp10 miliar sudah bisa mendirikan bank umum. Bahkan dengan modal disetor Rp1 miliar sudah bisa mendirikan bank mengingat pendirian bank perkreditan rakyat (BPR) syarat modal disetor minimum sebesar Rp50 juta. Pakto 88 merupakan liberalisasi perbankan membabat habis ketentuan yang menyulitkan pendirian bank merupakan aturan yang paling liberal sepanjang sejarah perbankan Indonesia.
Latar belakang lahirnya Pakto 88 sebagai langkah alternative yang dipilih setelah paska jaya jayanya boom industri migas dengan harga minyak yang tinggi di kisaran tahun 1970 s/d tahun 1980 tentunya yang membuat penerimaan pemerintah menjadi surplus. Merasa pergerakan perekonomian belum maksimal dengan mempertimbangkan kecederungan semakin meredupnya industri migas maka kemudian pemerintahan Presiden Soeharto menerbitkan beragam paket kebijakan. Maka dengan euphoria industri migas dengan harga minyak yang tinggi mulai mengarah menjadi sunset dengan terjadinya kemerosotan harga minyak. Mempengaruhi penerimaan pemerintah ikut merosot maka pemerintah kelimpungan untuk mencari sumber sumber penerimaan. Dengan mencari alternatif mesin mesin penggerak perekonomian lainnya, maka pilihannya jatuh pada sektor perbankan nasional. Maka digulirkanlah paket kebijakan 27 Oktober 1988 yang lebih populer dengan sebutan Pakto 88. Sebagai paket kebijakan deregulasi perbankan yang paling fenomenal diera pemerintahan presiden Soeharto dan menjadikan Pakto 88 sebagai angin segar dan menjadi anti klimak industri perbankan di Tanah Air.
Mempunyai bank sepertinya menjadi impian setiap orang merupakan profesi terhormat yang demikian menggiurkan dan banyak diminati orang terutama oleh kaum wanita. Bila bekerja di bank apalagi sebagai pemilik bank secara otomatis akan mendapat apresiasi dan penghormatan dari masyarakat, membuat prestise, harkat dan martabatnya terangkat naik. Makanya tidaklah mengherankan sejak terbitnya Pakto 88 banyak para pembisnis, pengusaha dan konglomerat berlomba lomba mendirikan bank. Menjadikan jumlah bank paling melejit di tahun 1994 menjadi terdiri dari 6 unit bank pemerintah, 166 unit bank swasta, 40 unit bank campuran dan 9.196 unit BPR. Dibandingkan posisi bulan September 1988 sebelum Pakto 88 Bank Indonesia (BI) mencatat jumlah perbankan nasional hanya 108 unit bank umum, terdiri dari 6 unit bank pemerintah, 64 bank swasta, 27 BPD dan 11 unit bank campuran. Dengan total kantor bank umum pada periode itu sebanyak 1.359 unit. Melonjaknya minat mendirikan bank yang membuat jumlah bank membengkak paska Pakto 88 terinfo juga berhasil melahirkan bank dengan jumlah mencapai 234 bank dengan pertambahan dana pihak ketiga (DPK) yang naik tajam.
Sudah barang tentu disamping bermotifkan untuk mengangkat derajatnya sebagai pengusaha maupun sebagai konglomerat yang disegani dan dihormati. Juga bermotifkan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar besarnya, faktor inilah yang kemudian menjadi dosa besar. Padahal dalam bisnis perbankan nasabah adalah raja berbeda pandangannya dengan bisnis pada umumnya yang senantiasa terfokus pada pencapaian laba. Dalam bisnis perbankan jika lebih memilih laba dari pada pelanggan, kita akan kehilangan keduanya. Dengan berorientasi dan terfokus pada laba seperti itu bank tumbuh bagaikan cendawan di musim hujan namun tidak disadari oleh para pengambil kebijakan tersebut. Sebab kemudian kebijakan pakto 88 tersebut bak jebakan batman dan sebagai bom waktu yang siap meledak setiap waktu dan bisa berubah menjadi boomerang yang bisa menghancurkan dirinya sendiri. Apalagi dengan bermunculannya kehadiran bank bank baru sejalan dengan adanya kemudahan izin mendirikan bank.
Sepertinya tidak diikuti dengan sistem pengawasan dan tingkat managerial perbankan yang memadai sehingga merupakan paket kebijakan yang dipaksakan yang tidak disertai dengan persiapan dan pertimbangan yang matang. Rupanya dilakukan secara tergesa gesa, dadakan sehingga tidak ada antisisipasi akan dampak negative yang kemungkinan timbulnya kerentanan baik dari faktor internal maupun faktor luar eksternal dikemudian hari, yang sering datangnya tiba tiba tidak terduga pengaruh ketidak pastian perekonomian global yang menimbulkan krisis. Apalagi pada masa itu banyak yang memanfaatkan pinjaman luar negeri dalam valuta asing dan tidak dilakukan pengamanan dengan cara melakukan lindung nilai (hedging). Sekaligus dalam upaya untuk menjaga dan mengendalikan risiko akibat fluktuasi nilai tukar. Hedging atau lindung nilai merupakan strategi yang bertujuan mengurangi dampak risiko bisnis yang tidak terduga kehadirannya, disamping tetap memungkinkan untuk memperoleh keuntungan dari hasil investasi tersebut.
Namun demikian seperti telah disebutkan diatas dengan bertambahnya jumlah bank membawa dampak positif yang bersifat jangka pendek dengan meningkat tajamnya DPK, semakin meningkatnya sistem pelayanan perbankan nasional dan berpengaruh positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi nasional. Menurut catatan BI pasca Pakto 88 memang pertumbuhan perekonomian nasional melesat diatas 6,5% dimana tahun 1989 menjadi 7,5%, tahun 1990 jadi 7,1% dan tahun 1991 menjadi 6,6% sedangkan sebelumnya tahun 1988 perekonomian nasional hanya tumbuh 5,8%. Dengan capaian ini patut diapresiasi paket kebijakan era Soeharto terbukti berhasil dalam mengangkat perekonomian nasional dan sebelum adanya Pakto 88 perbankan nasional sepertinya cenderung sulit berkembang. Namun kemudian dengan adanya Pakto 88 dengan membludaknya jumlah bank tidak terhindarkan menimbulkan tingkat persaingan yang cenderung tidak terhindarkan. Akan tetapi secara jangka pendek memang berdampak positif bagi perbankan tumbuh semakin lebih berkembang maju dan bank bank berusaha memperbaiki pelayanannya semakin menjadi prima. (KM)
*) Penulis adalah Ketua BANI Bali Nusra, Wakil Ketua Umum Kadinda Prov. Bali Bidang Fiskal Moneter dan Mantan Dirut PT. Bank Sinar Jreeng (sekarang PT Bank Mandiri Taspen/Bank Mantap).