Jakarta – PT Bank Mandiri (Persero) Tbk menyatakan, sebesar 11% debitur restrukturisasi kredit miliknya berpotensi untuk tidak dapat memperpanjang keringanan restrukturisasi hingga dua tahun kedepan sesuai dengan arahan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri Ahmad Siddik Badruddin menjelaskan, hal tersebut terjadi lantaran terdapat beberapa debitur yang dinilai tidak bisa melanjutkan usahanya kembali pada tahun 2021. Siddik bahkan menyebut 11% debitur restrukturisasi berpotensi menjadi kredit bermasalah atau non performing loan (NPL).
“Kita asumsikan jumlah yang akan (diperpanjang) direstru tidak akan terlalu banyak. Dari analisa, yang menurut kami tidak bisa bangkit lagi ada di kisaran 10-11%. Itu kira-kira yang akan kami antisipasi tahun depan yang mungkin di downgrade ke NPL,” kata dia saat konferensi pers, Senin, 26 Oktober 2020.
Oleh sebab itu, pihaknya memastikan akan melakukan analisis yang lebih mendalam terhadap kondisi para debiturnya meskipun OJK memberikan keputusan untuk memperpanjang kebijakan restrukturisasi kredit.
“Dengan asumsi penanganan COVID tidak lebih buruk dari yang ada sekarang. Walaupun ada PSBB, impact dari UMKM tidak terlalu besar. kita asumsikan jumlah yang akan direstru tidak akan terlalu banyak,” kata Siddik.
Bank Mandiri sendiri untuk total kredit yang direstrukturisasi sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11/POJK.03/2020 mencapai Rp116,4 triliun dari 525.665 debitur. Dimana Rasio Non Performing Loan (NPL) secara gross masih terjaga di level 3,33% secara konsolidasi.
Sebagai informasi saja, OJK memperpanjang kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit selama setahun atau sampe dengan 31 Maret 2022. Hal ini setelah memperhatikan asesmen terakhir OJK terkait debitur restrukturisasi sejak diputuskannya rencana memperpanjang relaksasi ini pada Rapat Dewan Komisioner OJK tanggal 23 September 2020 lalu. (*)
Editor: Rezkiana Np