Jakarta — Tidak bisa dimungkiri industri pariwisata menjadi sektor ekonomi yang paling terpukul dengan adanya pandemi Covid-19. Salah satu yang subsektor pariwisata yang remuk redam adalah perhotelan. Lalu bagaimana cara para pengusaha perhotelan bertahan?
Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mendatangkan beberapa narasumber untuk berbagi pengalaman dalam talkshow bertema “Protokol Kesehatan di Hotel dan Tempat Wisata” yang ditayangkan langsung pada Selasa (20/10/2020).
Memulai kisahnya, salah satu narasumber di industri perhotelan, Sona Maesana menyatakan, bahwa dengan adanya pandemi Covid-19 bisnis hotel merupakan subsektor yang paling cepat terpukul, dan paling lama recovery.
Hal tersebut sangat terpengaruh oleh kebijakan pemerintah untuk melakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam upaya menahan laju penularan dan penyebaran Covid-19. Dengan dibatasinya pergerakan manusia, aktivitas pariwisata seperti traveling yang biasanya sangat banyak dan sedang digandrungi masyarakat Indonesia mau tak mau mengalami terjun bebas.
“Meeting, wedding dll juga terbatas. Revenue turunnya juga lumayan terjun. Ini dampak paling utama. (Revenue) Turun bisa di atas 70%. Occupancy city sebagai acuan normal 50-60%, saat pandemi covid awal-awal bisa ada momen di bawah 10%. Jadi sangat terdampak,” terang Sona, yang adalah Direktur The Sunan Hotel Solo.
Namun untuk menang dalam perang menghadapi Covid-19 ini, kata menyerah adalah pantang. Bertahan dan mencoba bangkit untuk menjadi pemenang adalah satu-satunya pilihan.
Dalam menjaga bisnis perhotelan tetap berjalan di masa pandemi sekarang ini bukanlah pekerjaan mudah, tidak ada istilah gampang-gampang susah. Semua usaha dan kiat harus dilakukan dengan cermat, semua kanal yang bisa dimanfaatkan harus bisa dimaksimalkan.
Kanal digital menjadi pilihan paling tepat untuk tetap menggerakkan industri perhotelan. “Kami juga menggenjot (bisnis) secara digital, seperti membuat The Sunan Institute untuk seminar dan workshop secara digital,” sambung Sona.
Namun untuk menjalankan roda bisnis dan menjaga occupancy rate tetap tinggi memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Dengan adanya PSBB event-event yang biasa dihelat di fasilitas ruang serba guna hotel menjadi terbatas. Namun demikian, lagi-lagi seperti orang bijak bilang, selalu ada pelangi setelah hujan paling lebat sekalipun. Selalu ada peluang untuk bisa dimaksimalkan.
“Tapi di market wedding itu demand-nya masih terjaga walau skalanya lebih kecil. Kami coba virtual wedding dan itu jadi proyek percontohan di Solo. Lalu ada juga event Pilkada, kami dipercaya oleh Pemerintah Solo untuk menggelar event seperti debat dll tapi tetap memperhatikan protokol kesehatan dengan ketat,” ujar Sona.
Setali tiga uang, CEO Amithya Hotel Indonesia, Rucita Permatasari bilang, bahwa industri perhotelan memang menjadi bisnis yang mengalami pukulan paling telak kala pandemi Covid-19. “Amithya juga terdampak. Namun kami selalu mengikuti protokol kesehatan,” tukasnya.
Sementara untuk membangkitkan industri pariwisata dan perhotelan, perempuan kelahiran Surabaya ini sigap memberdayakan kanal digital dan bersandar dengan kecanggihan teknologi. “Sangat menggunakan media sosial secara kreatif untuk meningkatkan priwisata,” ucapnya.
Kesadaran bahwa Indonesia memiliki banyak destinasi wisata pilihan, dan Bali menjadi salah satu destinasi wisata paling digandrungi di Asia, Rucita giat menjalin kerja sama dengan pihak-pihak terkait dari beberapa negara, seperti Jepang, Malaysia, Inggris sampai Nepal untuk bersama-sama bertahan dan bangkit dari pukulan pandemi Covid-19.
“Di masa pandemi ini kesempatan kita untuk memberikan lebih baik lagi, dan menunjukkan manajemen perhotelan kita tidak kalah dengan negara lain,” tandasnya. (*)