Oleh Karnoto Mohamad, Wakil Pemimpin Redaksi Infobank
ERICK Thohir, Menteri BUMN, kerap memberi ultimatum kepada para direksi perusahaan BUMN untuk jangan merasa aman. Pihaknya menegaskan akan terus membongkar pengurus perusahaan BUMN seperti yang dilakukannya selama ini guna mengakselerasi kinerja BUMN. Dasarnya adalah key performance indicator (KPI). Namun, para petinggi di Kementerian BUMN juga sesungguhnya juga tidak boleh merasa aman. Sebab, kinerja Kementerian BUMN juga baru sebatas gonta-ganti pengurus BUMN.
Bongkar-pasang kursi pengurus BUMN yang masif setahun terakhir belum membuahkan kinerja yang memuaskan. Malah menciptakan kontroversi sehingga mudah menjadi sasaran tembak unsur-unsur politik. Makanya entah dari mana asalnya pun bermunculan aksi demontrasi yang menuntut pencopotan Erick Thohir dan wakil menterinya. Tak dipungkiri banyak orang yang merasa berkeringat memenangkan Joko Widodo (Jokowi) dan Ma’ruf Amin pada pemilihan presiden 2019 tak kebagian jatah. Maklum, pihak yang mendukung Jokowi pada 2019 lebih banyak dari 2014. Dari hanya lima parpol yang mendukung Jokowi pada pilpres 2014, meningkat menjadi sembilan parpol pada 2019. Itu belum termasuk pendukung dan para relawan politik. Semua yang merasa berkeringat sepertinya harus dibayar dengan kursi kabinet atau pengurus BUMN maupun anak cucu usahanya.
Masalahnya, jumlah kursi pengurus di BUMN berkurang karena adanya konsolidasi maupun holdingisisasi yang terjadi di BUMN. Misalnya di klaster perkebunan yang sebelumnya tersedia 38 kursi komisaris di PTPN kemudian menciut menjadi 30 kursi saja. Harapan mencari kursi pengurus di anak cucu perusahaan BUMN pun mengecil karena Kementerian BUMN juga sudah menutup 51 anak cucu perusahaan yang dianggap tidak relevan dengan core bisnis utama induknya.
Entah sebagai jalan tengah untuk mengakomodir atau bukan, Kementerian BUMN kemudian mengeluarkan Surat Edaran (SE) Menteri BUMN Nomor SE-9/MBU/08/2020 yang memperbolehkan direksi BUMN mengangkat staf ahli. Selain menganulir peraturan menteri-menteri BUMN sebelumnya yang melarang direksi mengangkat staf ahli atau staf khusus yang bersifat permanen, SE ini seperti menempatkan direksi-direksi BUMN yang ada saat ini ibarat bukan orang-orang yang ahli. Lagipula setiap direksi yang memimpin direktorat sudah memiliki kepala-kepala divisi yang menguasai bidang pekerjaannya maupun bisa menggunakan jasa konsultan.
Kendati gaji staf ahli dibatasi maksimal Rp50 juta, namun tetap menciptakan pos biaya baru di tengah masalah cashflow yang melilit sebagian perusahaan BUMN sehingga harus dibantu pemerintah. Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk BUMN sebesar Rp152,15 triliun yang digunakan untuk pembayaran utang dan subsidi, penyertaan modal negara (PMN), dan dana talangan untuk modal kerja. Pemberian dana talangan kepada perusahaan BUMN boleh jadi untuk menyelamatkan perusahaan yang sebelum ada pandemi COVID-19 kinerjanya sudah melemah dan tidak sanggup melewati krisis 2020.
Selama pemerintahan Jokowi terlihat bahwa BUMN banyak didorong mendukung agenda pemerintah ketika fiskal tidak kuat memikulnya, misalnya pembangunan infrastruktur yang diharapkan bisa menciptakan efek berantai dalam perekonomian. Karena penugasan dari pemerintah dijalankan dengan mengandalkan utang, maka perusahaan-perusahaan BUMN seperti yang ada di sektor konstruksi pun mengalami over leverage dan daya tahannya lemah ketika pandemi datang. Masalah di BUMN pun seperti berputar arah menjadi beban pemerintah yang kemudian harus menyuntikan PNM dan dana talangan kepada sejumlah perusahaan pelat merah. Jadi kalau kinerja perusahaan BUMN mudah rontok itu adalah konsekuensi intervensi pemerintah baik dalam penempatan pengurus maupun penugasan pekerjaan yang belum tentu proper secara bisnis.
Menurut Kajian Biro Riset Infobank bertajuk Rating 118 BUMN versi Infobank 2020, BUMN masih terus diwarnai perusahaan yang sakit-sakitan. Nasib perusahaan-perusahaan BUMN di kelompok duafa dan dianggap tidak strategis kesulitan mencetak turnaround karena tidak memiliki modal yang memadai atau mempekerjakan profesional terbaik yang tentu bayarannya mahal. Pada 2019 ada 22 perusahaan pelat yang merugi dan 11 perusahaan diantaranya mengalami negative networth, seperti Merpati Nusantara Airlines. DOK dan Perkapalan Surabaya, DOK dan Perkapalan Koja Bahari, INTI, Industri Gelas, Kertas Craft Aceh, dan Kertas Leces, ASABRI, Jiwasraya, Pengembangan Armana Niaga Nasional (PANN), dan Survei Udara Penas.
Kondisi 2020 dipastikan lebih berat. Per Juni 2020, tercatat ada 44 perusahaan BUMN menelan kerugian dengan total Rp35 triliun. Penyumbang kerugian terbesar adalah Pertamina yang labanya minus Rp10,88 triliun. Garuda Indonesia lebih parah. Selain merugi Rp10,30 triliun, perusahaan penerbangan ini menderita negative networth seperti dialami pada 1997 dimana utangnya lebih besar dibanding asetnya. Meskipun ada 59 perusahaan yang berhasil mencetak untung, namun sebagian memiliki kemampuan di bawah rivalnya dari sektor swasta. Misalnya Bank Mandiri yang labanya menurun 23,90%, BRI yang labanya merosot 36,80%, BTN yang labanya amblas 41%, dan BNI yang labanya anjlok 40%. Bandingkan dengan rivalnya di kelompok BUKU 4 seperti BCA yang hanya mencatat penurunan laba hanya 4,80%.
Perusahaan-perusahaan BUMN sebetulnya lebih memiliki pengalaman yang panjang dibanding rivalnya dari sektor swasta. Tapi tak dipungkiri ada banyak faktor yang mempengaruhi kinerja BUMN. Berbeda dengan perusahaan swasta yang sepenuhnya berorientasi kepada pasar, BUMN banyak berorientasi kepada kepentingan pemerintah sebagai pemegang saham. Jadi berbagai permasalahan yang terjadi di lingkungan BUMN sebetulnya menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah dalam membangun BUMN pasca-pandemi COVID-19.
Pengelolaan BUMN selama ini lebih sarat dengan kepentingan politik dibandingkan kepentingan ekonominya. Ingat, Presiden Jokowi memiliki janji politik waktu kampanye 2014 untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi 7% guna mengatasi kemiskinan dan pengangguran. Maka tidak heran lima tahun periode pertama banyak kelompok yang menentang Jokowi salah satunya tidak bisa mewujudkan janjinya. Di satu sisi, pemerintahan Jokowi sudah menggeber mesin fiskalnya untuk memacu pertumbuhan ekonomi hingga menggiring BUMN untuk mendukung program-program pemerintah ketika fiskal tidak kuat memikulnya, misalnya pembangunan infrastruktur yang diharapkan bisa menciptakan efek berantai dalam perekonomian.
Karena penugasan dari pemerintah dijalankan dengan menggunakan utang, maka perusahaan-perusahaan BUMN seperti yang ada di sektor konstruksi pun mengalami over leverage dan daya tahannya lemah ketika pandemi datang. Masalah di BUMN pun seperti berputar arah menjadi beban pemerintah yang kemudian harus menyuntikan penyertaan modal negara dan dana talangan kepada sejumlah perusahaan pelat merah. Jadi kalau kinerja perusahaan BUMN mudah rontok itu adalah konsekuensi intervensi dan penugasan-penugasan dari pemerintah yang belum tentu proper secara bisnis.
Di masa lalu, menempatkan BUMN untuk selalu mengikuti agenda-agenda pembangunan pemerintah telah meninggalkan catatan buruk karena BUMN akhirnya menjadi beban negara yang sebagian besar hidup dalam suntikan modal pemerintah. Makanya pasca Orde Baru muncul semangat reformasi BUMN dan upaya debirokratisasi dan depolitisasi digaungkan oleh Tanri Abeng, Menteri BUMN yang pertama. Sejumlah pemikiran besar sudah muncul seperti melakukan holdingisasi dan melahirkan superholding BUMN sekelas Temasek di Singapura. Bahkan, Presiden Jokowi pada awal memimpin sempat melontarkan pemikiran korporasi dengan membuat opsi adanya CEO asing di BUMN supaya tidak hanya menjadi jago kandang namun mampu menyerang negara lain.
Namun, BUMN adalah perusahaan milik negara yang mau tidak mau harus berada di antara pasar dan politik. Selalu saja ada godaan dari orang yang berkuasa secara politik untuk mengintervensi BUMN baik untuk tujuan mewujudkan janji politiknya maupun tempat “transaksi” politik balas budi kepada partai politik (parpol) maupun pihak yang sudah berkeringat dan mendukungnya dalam persaingan politik. Pemikiran mencari CEO asing di BUMN atau mendirikan superholding adalah pemikiran untuk kepentingan ekonomi. Sedangkan menjadikan BUMN untuk mengerjakan program-program pemerintah dan gonta-ganti pengurus BUMN adalah untuk kepentingan politik.
Bentuk-bentuk intervensi birokrasi dan politik selama ini dibungkus dengan bahasa agen pembangunan. Meskipun untuk tujuan pembangunan, intervensi ini tidak ada dasarnya dalam tata kelola korporasi apalagi di perusahaan-perusahaan BUMM yang sudah go public. Tanpa disuruh mengerjakan proyek-proyek pemerintah sesungguhnya BUMN sudah menjalankan peran agen pembangunan melalui distribusi pekerjaan kepada para vendor atau pemasok, penyerapan tenaga kerja, dan sumbangan pajak maupun deviden. Sumbangan pajak dan deviden BUMN mencapai Rp289 triliun pada 2018 dan Rp268 triliun pada 2019.
Para profesional yang memimpin sekarang perusahaan BUMN tentunya sudah tahu bahwa intervensi yang berlebihan bukanlah jalan yang baik untuk menjamin perusahaan BUMN tumbuh sustainable dan menjadi kompetitif untuk bersaing melawan konglomerasi swasta di pasar yang makin mengglobal. Tapi, apabila mereka berusaha memperbaiki jalan tersebut dan tidak sepaham dengan pemerintah sebagai pemegang saham, pastinya mereka akan disingkirkan. (*)