Oleh Karnoto Mohamad, Wakil Pemimpin Redaksi Infobank
BANK-bank memasuki lorong gelap resesi akibat pageblug COVID-19. Bankir-bankir yang kinerja banknya sudah menunjukan tanda-tanda pelemahan sebelum badai COVID-19 datang harus bekerja ekstra keras. Tentu menjadi lebih sulit jika pemegang saham saham pengendali (PSP)-nya tidak memberi dukungan kepada banknya yang mengalami masalah solvabilitas maupun likuiditas.
Sebelum dilanda pandemi COVID pada Maret 2020, sebagian bank sudah mencatat kenaikan credit at risk, pencadangan yang minim, hingga tingkat profitabilitasnya yang menurun.
Menurut kajian Biro Riset Infobank bertajuk “Rating 110 Bank versi Infobank 2020”, kredit industri perbankan pada 2019 hanya tumbuh 7,77% atau pertumbuhan terendah sejak 2010, di mana ada 26 bank mencatat penurunan kredit. Meskipun non performing loan (NPL) secara industri masih aman, credit at risk menunjukkan tren naik sejak tahun lalu dan ada 17 bank mencatat NPL di atas 5%. Dari sisi perolehan laba, ada 55 bank yang labanya anjlok, enam diantaranya merugi, ditambah satu bank yang sudah menderita kerugian enam tahun berturut-turut.
Pageblug COVID-19 yang membawa dampak ekonomi sangat signifikan membuat kinerja bank-bank merosot. Jangankan menciptakan turnaround bagi bank-bank yang kinerjanya tahun lalu menurun atau merugi. Bank-bank yang sebelumnya berkinerja kuat dan tumbuh, sudah banyak yang mencatat penurunan laba pada semester satu 2020. Sampai akhir 2020, para bankir sulit menghindar dari tren penurunan laba akibat pandemi COVID-19. Pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal satu hanya 2,97% dan pada kuartal kedua pun terkontraksi hingga 5,32%.
Jika pada kuartal ketiga masih tumbuh minus maka ekonomi Indonesia akan mengalami resesi dan industri perbankan benar-benar akan memasuki lorong gelap dan risiko terjadinya kejatuhan bank kian meningkat. Perlu diingat, kegagalan sebuah bank pada saat krisis bisa memicu kepanikan publik terhadap sistem perbankan atau yang dikenal dengan istilah bank panic. Dalam situasi tersebut, bukan hanya terjadi flight to quality tapi bisa terjadi penarikan dana besar-besaran dari bank oleh masyarakat.
Makanya, mencegah jangan sampai ada bank gagal menjadi perhatian penting pemerintahan Jokowi yang sedang berjibaku memulihkan ekonomi nasional di tengah pandemic COVID-19 yang masih berlangsung. Bahkan, jauh sebelum COVID-19 atau sejak memimpin pada 2014, Jokowi sudah sangat khawatir dengan adanya bank gagal yang bisa menggoyang stabilitas sistem keuangan dan mengganggu stabilitas politik. Setali tiga uang, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang beroperasi sejak 2013 juga berusaha mencegah adanya bank gagal karena akan menganggu reputasinya dalam pengawasan bank dan OJK bisa dianggap gagal melakukan pengawasan bank.
Hanya saja, upaya mencegah timbulnya bank gagal tidak diiringi dengan langkah penyelesaian yang cepat terhadap bank-bank yang kurang sehat. Ada beberapa bank yang sampai bertahun-tahun mengalami masalah solvabilitas tidak selesai masalahnya karena PSP tidak kunjung menyetor tambahan modal dan investor baru tidak masuk. Opsi untuk ditetapkan sebagai bank yang tidak bisa disehatkan pun tidak dilakukan OJK karena akan mengganggu stabilitas keuangan dan reputasi OJK. Padahal kalaupun itu dilakukan dalam kondisi tidak krisis jauh lebih baik daripada dilakukan pada saat krisis. Begitu juga opsi penyelamatan oleh LPS bersama anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) lain yaitu Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Bank Indonesia (BI), dan OJK.
Ada traumatik dari penyelamatan Bank Century pada 2009 yang berimplikasi secara politik yang penuh dengan upaya mengkriminalisasi kebijakan. Alhasil, selama ini anggota KSSK seperti saling menyandera dan saling menunggu bola. Ambil contoh konsep bank jangkar yang hilang kabarnya. Kemenkeu sebagai koordinator KSSK selama ini seperti menghadapi ego anggota lainnya yang dilindungi oleh undang-undang (UU) yang posisinya independen seperti dimiliki BI dan OJK. Begitu juga dengan LPS yang payung hukumnya memang memposisikannya seperti hanya menunggu “sampah” dari OJK.
Makanya, pemerintah saat ini sedang menyusun Perppu untuk menangani krisis keuangan dan kabarnya akan dikeluarkan pada bulan September ini. Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, mengatakan bahwa Perppu ini menjadi landasan hukum untuk menguatkan stabilitas sistem keuangan namun tidak menjelaskan secara detail isinya. Namun, ada beberapa skenario baru tentang bagaimana mengefektifkan peran KSSK yang beranggotakan Kemenkeu, OJK, BI, dan LPS.
Lalu apa saja yang akan direformasi dari lahirnya Perppu reformasi sistem keuangan? Ada empat skenario reformasi sistem keuangan. Satu, KSSK akan lebih kuat di mana Menteri Keuangan (Menkeu) tidak hanya sebagai koordinator, tapi lebih dominan. Misalnya, jika posisinya dua:dua dalam pengambilan keputusan, misalnya BI dan OJK tidak setuju, sementara Menkeu dan LPS setuju, maka keputusan diambil di mana ada Menkeu. Penegasan ini boleh jadi diperlukan untuk mempercepat pengambilan keputusan yang sangat dibutuhkan dalam penanganan krisis.
Dua, peran OJK berkurang dimana fungsi pengawasan bank dan industri keuangan non bank (IKNB) pindah ke BI. Koordinasi pengawasan mikroprudensial dan makroprudensial menjadi berada dalam satu atap. Pengawasan konglomerasi juga akan lebih mudah. OJK hanya mengawasi pasar modal saja. Dan, kabarnya masa tugas anggota komisioner OJK tidak secara bersamaan berakhir. Namun, dibuat bergantian untuk menjaga kesinambungan, seperti di deputi Gubernur BI.
Tiga, LPS akan ikut dalam pengawasan bank lebih awal. Sebenarnya hal ini sudah ada, tapi masih tetap tergantung hasil dari pengawasan OJK. Pendek kata, LPS akan lebih berperan di awal, dan bukan hanya menerima “sampah” bank sakit. Tidak hanya itu. Komisioner LPS yang tiga ex officio (dari BI, LPS, dan OJK) dan dua independen. Jadi, LPS perlu ditambah komisionernya, misalnya menjadi tujuh orang. Tidak lima seperti sekarang ini.
Empat, hal yang paling menarik adalah akan hilangnya pasal-pasal seperti independensi, baik di BI maupun OJK. BI, OJK, dan LPS akan masuk ke rumpun pemerintah dan harus mengikuti kehendak presiden. Konsekuensinya, presiden bisa memberhentikan Gubernur BI dan Ketua OJK. Juga, pemberhentian Deputi BI dan Komisioner OJK tidak perlu menunggu lima tahun. Tergantung kinerja dan selera presiden.
Jika empat skenario tersebut benar, maka terjadi perubahan drastis dalam pengawasan sistem keuangan dan menjadi langkah extra ordinary dalam menghadapi kondisi krisis yang ingin ditunjukkan presiden Jokowi. Perppu ini bisa menjadi langkah antisipasi untuk mencegah terjadinya porak-poranda di sektor keuangan. Namun, karena Perppu ini membuka pintu bagi penempatan dana talangan pemerintah di perbankan melalui LPS, maka beleid ini seperti mengeliminir UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) yang salah satu poinnya adalah agar uang negara tidak dipakai untuk membantu bank bermasalah.
Adalah wajar jika ada kalangan yang mengharapkan penyusunan Perppu ini tidak disusupi oleh kepentingan pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil manfaat dari dana talangan pemerintah melalui LPS untuk membantu bank bermasalah. Apalagi kalau ini menjadi opsi “bail out” terselubung yang membuka ruang-ruang lobi politik oleh pihak yang melakukan penyimpangan good corporate governance (GCG), moral hazard, dan kejahatan politik untuk mendapat dana talangan dari pemerintah. Di saat krisis selalu ada penumpang gelap di sana. (*)