Jakarta – Industri financial technology (fintech) peer-to-peer (P2P) lending menjadi industri yang juga terdampak pandemi COVID-19. Namun, berbeda hal-nya yang terjadi dengan salah satu fintech lending di sektor agrikultur, yakni CROWDE.
“Tidak ada impact langsung yang merugikan dari sisi pertanian atau CROWDE. Tetapi, biasanya yang dikeluhkan oleh petani adalah customer dari business to businees/B2B atau pembeli dari perusahaan besar yang penyerapan sebelumnya bagus menjadi berkurang,” ujar VP Product & Tech CROWDE, Mirza Adhyatma dalam virtual conference, di Jakarta, Rabu 19 Agustus 2020.
Mirza menjelaskan, untuk mengatasi keluhan tersebut, CROWDE mencari B2B lain yang lebih kecil hingga memanfaatkan agen dari ibu-ibu di desa sebagai pembeli barang. Sementara itu, selama masa pandemi ini, CROWDE melakukan perubahan cara bisnis agar penyaluran pinjaman dan pembayaran tetap dapat berjalan, yakni dengan melakukan desentralisasi. Dimana, setiap harinya ada tim CROWDE yang mengawasi para petani. Hal ini membuat CROWDE dapat meminimalisir 40% risiko kegagalan kredit.
“Kami jadi hiperlokal. Disana ada tim kami, perwakilan CROWDE. Dan ternyata itu lebih baik, monitoring lebih bagus, bisnis development juga dapat mengenal petani lebih detail,” jelasnya.
Sebagai informasi, saat ini CROWDE telah beroperasi di beberapa wilayah, seperti Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Lombok, lalu rencana ekspansi ke Sulawesi dan Sumatera. Secara statistik, CROWDE telah menyalurkan pembiayaan sebesar Rp125 miliar, dan sudah memiliki 61 lender, 20 petani yang terhubung, serta 287 toko tani untuk penyaluran barang. (*) Ayu Utami