Bankir Panglima Corona

Bankir Panglima Corona

Oleh Awaldi, Direktur Operasional Bank Muamalat

ROMLI tidak pulang ke Jawa pada lebaran kali ini. Bagaimana dia mau pulang. Satu, justru jasanya sebagai security kompleks perumahan sangat dibutuhkan pada waktu lebaran. Banyak orang iseng yang menyebabkan keamanan kompleks perlu diperkokoh. Dua, kan Gubernur Anis sudah wanti-wanti, “awas aja kalau pulang kampung; bakal susah untuk masuk balik ibukota Jakarta!”.

Hari keempat lebaran kemaren saya pun sudah mengajak Romli untuk maen bulu tangkis. Pagi-pagi jam 6. Udara enak, tidak ada angin, matahari belum muncul. Kenikmatan mana lagi yang mau dicari. Saya saling smash, saling rally, saling maen netting. Disudahi dengan keringat basah di sekujur tubuh. Sepertinya bersamaan dengan berguguran dosa-dosa yang tidak perlu yang selama ini diperbuat.

Saya terduduk capek. Saya tawarin Romli 1 botol Aqua yang berisi kelapa muda, dibeli kemaren sore dan sudah ditarok semalaman di lemari es. Gluguk, gluguk, gluguk, bunyi air degan kelapa muda masuk kerongkongan sungguh nikmatnya. Sambil melepas penat, saya kasih lihat melalui hape kepada Romli hasil rekaman acara Halal Bihalal Bank Muamalat melalui zoom dengan seluruh karyawan seantero Nusantara dari Sabang sampai Marauke sampai Kuala Lumpur.

Dalam rekaman video itu, Dirut Achmad Kusna Permana, biasanya dipanggil AKP, berbicara panjang lebar mengajak seluruh kru bank untuk mari bersyukur bahwa tahun ini kita melakukan puasa dan lebaran di tengah-tengah pandemi corona. Pesan dari CEO itu didengarkan baik-baik oleh semua kru. Banyak yang menyetujuinya. Direksi lain ada yang menambahkan betapa perlunya kita selalu bersyukur.

Setelah mendengar rekaman itu, Romli menengok ke arah saya sepertinya hendak protes, “apanya yang mesti disyukurin?”. Sambil memasang muka tak enak, Romli terus berkicau bahwa puasa dan lebaran tahun ini dia tidak bisa kemana-mana. Tidak bisa sholat tarawih. Tidak bisa duduk di mesjid, iktikaf pada malam-malam lailatul qadr. Tidak bisa silaturahmi ke tetangga. Tidak bisa silaturrahmi ke rumah orang tua. Tidak ketemu temen-temen. “Apanya pak Haji, eh Gan, yang disyukurin? Bukannya puasa dan lebaran kali ini kita paling mengkerut?”, cetus Romli.

Saya hanya diam saja. Tidak mau buru-buru menjawab pertanyaan Romli, karena saya tahu dari nada bicaranya yang sinis dia tidak butuh jawaban. Ibaratnya pertanyaan itu pertanyaan retorika, seperti cara bertanya para juru debat politisi di tv hari-hari ini yang mempermasalahkan siapa yang tidak becus dalam penanganan pandemi corona di Indonesia. Saya mesti memberikan jeda yang banyak menunggu dia menarik nafas dalam-dalam. Saya memberikan jeda supaya bisa menyusun kata-kata bagaimana menjelaskan sesuatu yang rumit kepada Romli, pemuda kampung yang sekarang jadi security komplek.

Setelah air kelapa muda diminum habis, nafasnya Romli mulai teratur, saya baru buka suara pelan-pelan meyakinkan. “Romli dengerkan baik-baik ya”, saya sedikit serius. Romli dengan air muka belum berubah, masih galau, memandang dengan sudut matanya. Saya menjelaskan pertama bahwa apapun kejadian di muka bumi ini tidak bisa dielakkan. Istilah bahasa sononya, it is inevitable. Itu bukan kuasa kita. Kalau sudah terjadi ya terjadilah. Kita mesti menerimanya. Itu merupakan wujud rasa syukur yang menenangkan jiwa.

Kedua, bulan puasa corona ini kita mempunyai banyak waktu dengan diri sendiri. Selama ini kita mengabaikannya. Terlalu sibuk dengan urusan duniawi dan membantu orang lain. Mengerjakan tugas-tugas kantor. Bicara dengan orang lain. Bercanda dengan keluarga dan anak-anak. Pas malam habis dinner, badan udah capek. Berbaring di tempat tidur sambil nonton Netflix atau Youtube, dan tak sadar kemudian terbangun hari sudah pagi.

Saya tegaskan ke Romli, “pandemi corona membuat banyak pekerja dan bankir bekerja dari rumah, punya waktu tersisa banyak untuk merenung, refleksi diri, muhasabah, dan mengenal diri yang sesungguhnya”. Mendengar itu, Romli menegakkan badannya. Terlihat sedikit tegang. Dengan rasa jengkel Romli ngomong, “lho bukan kita sudah tahu siapa diri kita? Bukankan semua ini kepala, leher, perut, tangan, kaki, telinga, mulut, seluruh badan adalah diri kita sendiri?”.

Saya melirik ke arah Romli, saya tidak membantahnya. Mungkin tidak perlu. Mana tahu memang pikirannya bakal nggak nyampe-nyampe dengan apa yang saya ungkapkan. Seperti pemikiran Romli, itulah kesalahan terbesar kebanyakan di antara kita selama ini. Menganggap bahwa manifestasi yang tampak dalam bentuk badan adalah diri kita. Mengindentikkan tubuh ini dengan diri kemanusiaan (human being). Itu yang menyebabkan kita terperangkap. Terperangkap bahwa merasa apapun keinginan jiwa-raga mesti dipenuhi. Because it is me! Kita merasa itu permintaan dari diri sendiri, padahal bukan!
Saya jelaskan kepada Romli yang kelihatannya sudah tidak mau mengerti bahwa badan yang tampak ini tidak apa-apanya. Saya bilang, “jiwa raga manusia adalah perangkat yang sangat rentan”.

Badan yang rentan ini sekejap bisa tertular corona. Sekejap bisa sakit. Sekejap juga bisa “lewat” kembali ke asalnya, yaitu tanah bumi. Tubuh kita tidak ada apa-apanya, rapuh. This body is nothing!
Saya bilang kepada Romli, “tubuh dan badan yang rapuh ini, yang gampang diserang corona, bukanlah diri kita yang sesungguhnya.” Kita jangan terperangkap dengan kesedihan dan keputusasaan karena badan yang rapuh. Kita jangan menyerah karena Corona dengan gampang bisa meluluh-lantakkan tubuh dan jiwa. Akan tetapi kita juga jangan tunduk kepada kemauan badaniah. Kita harus menjadi panglima. Jangan mau terperangkap raga, jangan mau diperintah tubuh, jangan mau dikocok emosi jiwa. Kita lah yang jadi pemiliknya, kitalah yang menjadi tuan rumahnya. Kita yang memerintah tubuh-raga-jiwa.

Sambil berselonjor saya meneruskan, “bulan puasa memberikan kesempatan pada kita untuk menjadi panglima”. Kita yang bilang kapan boleh laper, kapan boleh makan. Kita yang bilang kapan boleh senang, kapan boleh sedih. Apa yang kita dengerin tidak harus segera dianggap kebenaran. Pujian orang lain tidak serta merta harus membahagiakan kita. Ejekan orang lain tidak serta merta menjatuhkan mental kita. Hal itu terjadi karena di bulan puasa kenikmatan ruhani didapetin dari diri sendiri, bukan dari dunia luar.

Romli tampaknya sudah tidak tertarik dengan apa yang saya omongin. Saya tidak peduli. Saya masih saja bersemangat menjelaskan. Saya bilang, “alasan ketiga kenapa kita mesti bersyukur puasa dan lebaran dalam situasi pandemi adalah karena corona memberikan setitik kebebasan”. Ganasnya virus memberikan kebebasan kepada kita dari hiruk pikuk dunia. Kita tidak perlu mencari kebahagian dari keramaian teman-teman di kantor. Kita tidak perlu mencari kesenangan dari berbelanja di mall. Kita tidak perlu menunjukkan kebanggaan dari memakai baju branded, tas ber-merk, mobil bagus keluaran terbaru, karena orang lain tidak melihatnya. Orang lain tidak memperdulikan apa yang kita pake. Harta, kekayaan, dan jabatan itu semua tidak berarti, bertekuk di bawah lutut Corona.

Saya terus menjelaskan bahwa puasa dan lebaran yang terjadi bersamaan dengan pandemi corona telah membebaskan. Membebaskan dari tipu daya badaniah. Membebaskan dari kepuasan palsu panca indera; kata-kata pujian, jabatan strategis, pangkat tinggi, mobil mewah, rumah megah, anak-anak cerdas, teman-teman yang baik.
Saya menutup obrolan dengan berujar, “itulah keindahan puasa dan lebaran di tengah pandemi corona”. Romli masih bingung. Saya sudah tidak peduli dengannya. Saya berjalan menuju rumah sambil menenteng kaos sport yang basah keringat. Dalam hati saya merasa benar dengan kata-kata yang saya sampaikan, tetapi dalam pikiran saya masih ragu apakah saya akan benar-benar bisa menjadi panglima bagi diri saya sendiri.(*)

Related Posts

News Update

Top News