Ari Nugroho, Redaktur Pelaksana Majalah Infobank
Keluarnya Peraturan Ototitas Jasa Keuangan (POJK) No. 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan konversi Bank Umum pada akhir 2019 menjadi babak baru dari cerita konsolidasi perbankan nasional. Salah satu poin penting dari beleid itu, sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 ayat 1, adalah OJK memiliki kuasa untuk memaksa bank melakukan atas dasar tindakan pengawasan oleh OJK.
Konsolidasi perbankan nasional melalui jalan yang panjang. Diawali dengan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang digagas Bank Indonesia (BI) pada 2004. Program ini dibuat dengan tujuan untuk memperkuat permodalan bank umum dalam rangka meningkatkan kemampuan bank pada bermacam aspek, mulai dari pengelolaan usaha dan risiko hingga memacu pertumbuhan kredit.
Ketika dirilis, API punya target dalam 10 hingga 15 tahun ke depan, akan mampu melahirkan struktur perbankan nasional yang optimal. Misalnya, ada 2 atau 3 bank yang memiliki modal di atas Rp50 triliun dan mampu bersaing secara internasional. Lalu, ada puluhan bank yang diharapkan akan punya kefokusan pada segmen-segmen tertentu sesuai kompetensinya masing-masing. Namun, dalam perjalanannya, apa daya, API menguap bagaikan mimpi. Tidak bisa dijalankan.
Upaya mengonsolidasikan bank dari regulator tidak berhenti meski API “padam”. Pada akhir 2012, BI kembali menerbitkan peraturan yang masih berkaitan dengan merger, akuisi, dan sejenisnya. Aturan itu adalah PBI No. 14/24/PBI/2012 tentang Kepemilikan Tunggal Pada Perbankan Indonesia (single presence policy/SPP). Peraturan ini menegaskan pemenuhan kewajiban ketentuan kepemilikan tunggal dilakukan dengan cara merger atau konsolidasi atas bank-bank yang dikendalikan satu pemilik dengan membentuk perusahaan induk di bidang Perbankan atau membentuk fungsi holding. Gampangnya, satu pemegang saham pengendali pada dua bank atau lebih mesti mengkonsolidasikan bank-bank itu.
Kebijakan soal kepemilikan tunggal ini berjalan beberapa waktu dan masih ada hingga hari ini. Dicatat, peraturannya, bukan implementasinya. Tapi, tampaknya akan mengalami perubahan atau bisa jadi tidak lagi dipakai sebab, OJK yang kini menjadi pengatur dan pengawas bank kabarnya punya rencana untuk melakukan “kreasi” pada kebijakan kepemilikan tunggal.
Selepas pengaturan dan pengawasan perbankan beralih dari BI kepada OJK, bank-bank umum dikelompokan berdasarkan modal intinya. Peraturan soal kegiatan usaha bank berdasarkan modal inti ini diterbitkan oleh OJK pada 2016, yakni POJK No. 6/POJK.03/2016 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank. Sejak adanya beleid ini, bank-bank dibagi berdasarkan modal, mulai dari di bawah Rp1 triliun hingga di atas Rp30 triliun.
Dan, yang terbaru, OJK merilis peraturan soal konsolidasi bank; POJK No. 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan konversi Bank Umum. Setelah beleid ini, OJK sedang mempersiapkan aturan lanjutan konsolidasi, yang salah satu poin pentingnya adalah soal modal minimum yang akan dinaikan menjadi Rp3 triliun dalam tiga tahun ke depan. Kabarnya, beleid ini akan dirilis dalam waktu dekat, kemungkinan di triwulan satu dan mulai berlaku tahun ini.
Kebijakan-kebijakan soal konsolidasi bank punya fokus masing-masing. Bahkan, sejumlah analis bank menyebut, kebijakan mencla-mencle. Kalau di departemen pendidikan, ganti menteri ganti kurikulum. Tapi yang ini, ganti ketua OJK, ganti aturan. Tapi, wajar lantaran disesuaikan dengan situasi saat ini.
Namun apakah ini memberi signal konsistensi atau memang di era OJK sekarang ini tidak ada bank yang mati atau sakit. Atau ketidakmampuan OJK mengawasi karena tidak ada bank yg sakit atau mati? Bagi bank besar yang mengambil bank kecil juga tidak ada artinya. Tapi, bisa jadi bank besar ambil bank kecil untuk dijadikan bank khusus seperti bank digital atau bank UMKM.
Di sisi lain, bank-bank yang tak mampu menyetor modal – berkaitan dengan kebijakan modal minimum Rp3 triliun, akan dicaplok asing yang tentu tidak membuat repot OJK karena memang kuat secara modal. Tapi bagaimana soal ketentuan batas kepemilikan saham asing yang sebelumnya 40%. Tapi, itu bisa di atasi jika dalam rangka penyehatan bisa sampai 99,9%. Artinya, kepemilikan asing akan bertambah. Dan sekadar catatan, berdasarkan data Biro Riset Infobank, hingga September 2019 ada 57 bank yang modalnya di bawah Rp3 triliun. (*)