Oleh : Prosagama
Pengamat dari The Asia Economic and Capital Market Institute
Menangis. Teriak-teriak. Minta uang dikembalikan. Bahkan menuntut pemerintah yang mengembalikan. Oalah. Itulah fenomena yang terjadi, ketika pemilik dana investasi bodong merasa tertipu.
Di sisi lain, aparat penegak hukum tentu saja menciduk mereka yang menyelenggarakan investasi “tepu-tepu” itu. Tapi, apakah masalah selesai? Apakah nangis-nangis bisa mengembalikan dana? Apakah menjebloskan penyelenggara ke penjara akan mengembalikan dana yang sudah raib? Rasanya tidak. Uang yang “ditilep” penyelenggara sudah terlalu besar dibandingkan asset yang tersisa. Sering kali begitu.
Dalam realitasnya, yang namanya investasi “tepu-tepu” terus saja terjadi sejak beberapa dasawarsa lalu. Hanya “penampakan” modusnya saja yang bervariasi. Tapi, aneh bin ajaib, memang. Tetap saja banyak kalangan berminat ikut serta.
Keledai saja tidak mau terjatuh dua kali di lubang yang sama. Tapi ini, seperti musim hujan. Investasi bodong alias kosong terus bermunculan. Terus pula diminati. Entah kutukan apa yang melanda. Kok tergiur dengan investasi yang jelas-jelas tidak rasional itu. Di sisi lain, ada juga pertanyaan, dimana peran OJK selaku pemilik kewenangan terbesar dalam mengawasi sektor keuangan? Mungkin OJK akan menjawab ; “Itu investasi illegal alias tanpa izin. Bagaimana kami bisa mengawasi?”
Dalam beberapa kasus, OJK seringkali terlambat. Kehadiran OJK hanya menutup pas lagi rame-rame. Padahal, OJK punya bagian yang mengendus tikus investasi yaitu waspada investasi.
Okelah. Itu soal lain. Namun, masalah ini tentu harus dibedah. Bagaimana agar investasi ala “odong-odong” tidak terus bermunculan. Jawabannya sederhana. Investasi tidak mungkin terjadi jika tidak ada interaksi antara pemilik dana dengan penyelenggara. Artinya, ada penawaran dan ada permintaan atau respons. Coba kita lihat satu persatu.
Investasi hakikatnya mesti mengikuti kaidah akal sehat. Prinsip yang paling dasar ; bisnis model dan bisnis prosesnya memiliki kejelasan. Ada transparansi bagaimana dana yang diinvestasikan bisa berkembang. Contoh paling sederhana. Menempatkan dana di perbankan. Pemilik dana akan memperoleh pendapatan bunga.
Dari mana asal usul pendapatan bunga tersebut? Dari penyaluran kredit. Dari kegiatan itu, bank mendapatkan pembayaran bunga. Persentasenya lebih besar dibanding yang bank bayarkan ke para pemilik dana atau deposan. Selisihnya merupakan keuntungan bank. Pola seperti ini sangat jelas. Transparan. Nasabah tahu berapa jumlah dana bank. Berapa pula kredit yang disalurkan. Ke sektor mana saja dsb.
Apakah tidak ada resiko? Ya ada juga. Hanya saja, resiko yang membayangi tidak terjadi “ujug-ujug”. Kalau terjadi kredit macet, misalnya. Bank mesti menyiapkan pencadangan dan memperbaiki kredit macet tersebut. Hanya saja, jika jumlahnya signifikan, ya berbahaya juga. Pasti akan mempengaruhi kemampuan bank membayar bunga kepada deposan. Jadi pilihlah bank yang keren kinerjanya.
Bagaimana dengan investasi di pasar modal. Sebut saja membeli saham. Jika pembeliannya dilakukan berdasarkan analisa memadai, hasilnya juga memadai. Bukan membeli saham karena issue aau spekulatif. Prinsip sederhananya, belilah saham perusahaan/emiten yang fundamental-nya bagus. Dan size-nya besar. Seiring dengan penguatan fundamental, lazimnnya harga sahamnya juga akan meningkat. Investor bisa mendapatkan deviden. Atau kalau dijual lagi, investor bisa memperoleh gain. Harga jual saham lebih tinggi dibandingkan harga beli.
Simpulannya, mau tempatkan dana di bank atau di pasar modal, konsep berkembangnya dana sangat jelas. Bisa dideteksi. Juga resikonya. Bagaimana dengan investasi bodong? Apapun modusnya, biasa yang dijual adalah janji imbal hasil yang sangat muluk. Jauh di atas kelaziman investasi.
Ketika imbal hasil yang dijanjikan sangat tinggi, cuss, langsung bertabrakan dengan prinsip investasi. Kok bisa? Tanya diri Anda. Jika ada satu bisnis yang keuntungannya sangat menggiurkan, apakah Anda akan mengajak orang lain untuk turut serta? Boleh jadi tidak. Kecuali Anda masih bersaudara dengan malaikat bersayap yang baik hati. Dengan kata lain, jika Anda mendapatkan tawaran investasi dengan imbal hasil maha dahsyat, itu sama saja dengan Anda ditawari resiko maha dahsyat pula. High risk, high return. Sayangnya, investasi bodong tidak pernah men-deliver “high return”. Yang ada hanya “high risk”. Jadi, ketika ada tawaran “mengembang biakkan” uang tanpa transparansi mekanisme-nya, sangat mungkin, tawaran itu adalah investasi bodong.
Sebahagian Anda mungkin bilang, ada juga yang menikmati return tinggi di beberapa jenis investasi tersebut. Misalnya, “investasi” umroh first travel yang kondang itu. Sekalangan masyarakat tetap bisa umroh, hanya dengan membayar sekian juta rupiah. Padahal, biaya sebenanya berkali lipat. Jangan salah. Anda bisa berangkat umroh kala itu sebenarnya menggunakan dana setoran orang lain yang antriannya di bawah Anda. Nah, ketika peminat berkurang, setoran seret, kewajiban mengirimkan peserta umroh-pun terhenti. Modusnya adalah skema Ponzi. Itu istilah kerennya.
Dalam realitasnya, modus investasi bodong amat bervariasi. Tapi intinya, ada pengumpulan dana dari masyarakat. Lalu ditanamkan dalam berbagai bentuk. Hasil investasi itu dijanjikan setinggi langit. Malah ada yang menggunakakan pendekatan syariah pula. Tujuannya jelas, untuk menggugah emosi pemilik dana. Ada yang disebut kebun korma. Ada yang disebut rumah syariah lah. Pendeknya macam-macam jurusnya, tapi ujungnya sama. Mungkin pemilik dana berpikir. Jika ikut serta di investasi tersebut, selain mendapatkan manfaat duniawi juga langsung masuk sorga.
Ambil satu contoh. Penawaran investasi di kebun. Dulu ada yang namanya Qsar. Mungkin masih ingat. Penyelenggara menawarkan imbal hasil 20-24 persen setahun, dari dana yang ditawarkan. Menarik kan? Tapi coba pikirkan. Kalau imbal hasilnya sebesar itu, kenapa penyelenggara tidak pinjam uang ke bank saja, yang bunganya paling banter 10 persen. Jadi, kalau dilakukan sendiri, untung bersihnya masih sekitar 10-14 persen. Lalu kenapa penyelenggara investasi tidak pinjam ke bank? Karena tidak layak. Tidak bank-able. Tidak feasible. Atau memang sejak awal niatnya mau “nilep” uang masyarakat.
Lalu bagaimana menghindar dari jeratan investasi bodong. Kuncinya ada pada diri Anda sendiri. Gunakan rasionalitas. Pertama, tidak ada dalam investasi yang namanya berbagi keuntungan. Yang ada adalah berbagi resiko. Itu berarti jika ada tawaran imbal hasil tinggi, apalagi di luar kelaziman, Anda sedang dijerat masuk perangkap resiko. Kedua, jangan serakah. Jangan mudah tergiur pesona imbal hasil tinggi. Ketiga, lakukan checking, bagaimana penyelenggara investasi “mengembang biakkan” dana yang diinvestasikan. Ingat, ini jagad nyata. Bukan sulapan. Tidak mungkin ada hasil investasi, jika tidak jelas “underlyng” transaksinya.
Keempat, cek ke OJK, apakah penyelenggara investasi tersebut terdaftar atau tidak. JIka tidak ada namanya dalam list OJK, lupakan tawaran tersebut. Sudah pasti illegal. Kelima cari tahu siapa orang yang menjadi penyelenggara investasi itu. Mengelola investasi bukan pekerjaan sederhana. Dibutuhkan kompetensi mumpuni. Bahkan dibutuhkan jam terbang yang panjang. Nah, jika yang menyelenggarakan tak punya track record, tidak perlu merespons tawarannya. Termasuk mungkin ada yang pakai artis segala untuk meng-endors. Sejatinya, artis bukan ahli investasi. Artis jagonya bermain seni.
Oke, itu dari sisi pemilik dana. Bagaimana aspek pengawasan OJK? Benar, kalau perusahaannya tidak terdaftar, tidak mendapatkan izin OJK, investasi tersebut bisa disebut illegal. Lalu apakah OJK bebas tanggung jawab begitu saja?. Mestinya tidak.
OJK juga toh berkewajiban untuk melakukan “financial deepening” dengan cara-cara yang benar. Itu berarti masyarakat mesti diedukasi. Harus ada literasi program yang bertubi-tubi. Dari perkotaan hingga pedesaan. Mau ceramah kek, mau pasang iklan kek, mau meminta lembaga keuangan resmi turut serta melakukannya. Membuka hotline “Q & A” 24 jam dsb. Apa saja boleh. Semestinya literasi berlangsung terus, sehingga masyarakat umum mendapatkan pengetahuan memadai. Para pemilik dana, setidaknya akan berpikir dua kali, jika mendapat tawaran investasi yang menjanjikan imbal hasil tinggi. (*)