Jakarta – Menko Polhukam Mahfud Md menduga telah terjadi korupsi di Yayasan Asuransi ABRI (Asabri). Hal tersebut disampaikannya menyusul proses audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap institusi yang menaungi para prajurit itu. Bila terbukti benar, ini kembali menjadi pukulan bagi perusahaan asuransi berplat merah dengan potensi kerugian Rp10 triliun.
“Saya mendengar ada isu korupsi di Asabri yang mungkin itu tidak kalah fantastisnya dengan kasus Jiwasraya. Di atas Rp10 triliun itu,” kata Mahfud Md di Jakarta, Jumat (10/1/2020).
Ia mengaku bakal segera memanggil Menteri BUMN Erick Tohir dan Menteri Keuangan Sri Mulya untuk mengetahui lebih lanjut apa yang terjadi di Yayasan Asabri yang bakal tentu memengaruhi kinerja PT ASABRI (Persero).
“Kalau memang ada masalah hukum ya kita giring ke pengadilan. Tidak boleh korupsi untuk orang-orang prajurit untuk tentara yang bekerja mati-matian meninggalkan tempat sesudah masa pensiunnya disengsarakan. Gitu ya. Dan itu kan haknya prajurit,” tutur Mahfud.
Kendati tidak hendak berspekulasi siapa oknum yang bermain dalam dugaan korupsi tersebut, Mahfud siap memantau dan menggiringnya sampai ke proses Hukum.
“Mari kita giring proses hukum ini supaya diungkap. Nggak usah berspekulasi si A terlibat, ini dari istana. Ndak ada itu. Pokoknya Presiden sudah memerintahkan gebuki semua yang korupsi itu jangan ditutup-tutupi, yakin lah. Jadi kalau orang yang selalu curiga ini terlibat ini terlibat, kasih ke saya. Saya nanti yang antarkan ke KPK atau ke kejaksaan,” tandasnya.
Dalam laporan tahunan yang ditampilkan PT Asabri di situs resminya tercatat jumlah pendapatan premi sebesar Rp1,39 triliun pada 2017. Adapun klaim dan manfaat yang dibayarkan ke peserta minus Rp1,34 triliun. Sementara investasi perseroan tercatat sebagian besar ditempatkan di saham mencapai Rp14,97 triliun dan disusul oleh deposito berjangka Rp1,59 triliun.
Sebelumnya, PT Asuransi Jiwasraya (Persero) telah lebih dahulu mencoreng nama BUMN dan industri asuransi dengan gagal melaksanakan kewajibannya yang membuat para pemegang polis dirugikan. Negara juga dirugikan dengan perkiraan awal sebesar Rp13,70 triliun.
Berdasarkan catatan Ororitas Jasa Keuangan (OJK), kasus Jiwasraya ini dimulai pada 2004, di mana perusahaan sudah memiliki cadangan yang lebih kecil dari seharusnya, insolvency mencapai Rp2,76 triliun. Pada 2006, laporan keuangan menunjukkan nilai ekuitas Jiwasraya negatif Rp3,29 triliun karena aset yang dimiliki jauh lebih kecil dibanding kewajiban.
Hingga 2008, defisit nilai ekuitas perusahaan semakin melebar menjadi Rp5,7 triliun dan Rp6,3 triliun pada 2009. Kemudian, langkah untuk re-asuransi membawa nilai ekuitas surplus Rp1,3 triliun per akhir tahun 2011. Pada 2012, Bapepam-LK memberi izin produk JS Proteksi Plan (produk bancassurances dengan Bank BTN, KEB Hana Bank, BPD Jateng, BPD Jatim dan BPD DIY). Sedangkan pada 2017, OJK memberi sanksi pada perusahaan karena terlambat menyampaikan laporan aktuaris 2017.
Hingga September 2019 sendiri, total ekuitas dari perusahaan asuransi tertua di Indonesia ini diketahui minus Rp23,14 triliun. Kerugian tersebut, merupakan buntut dari kesalahan investasi yang dilakukan perseroan pada periode sebelumnya. Diketahui, Jiwasraya menempatkan hasil investasinya jauh dari prinsip kehati-hatian, yang pada akhirnya nilai sahamnya anjlok dan berimbas pada menunggaknya klaim nasabah. (*)