oleh Paul Sutaryono
TAHUN 2019 boleh dikatakan sebagai tahun konsolidasi bank lantaran beberapa bank melakukan merger. Perlukah membangun budaya organisasi (corporate culture) baru dalam bank hasil merger? Apa fungsi budaya organisasi dalam meningkatkan kinerja?
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah merestui merger Bank Danamon Indonesia Tbk (Bank Danamon) dan Bank Nusantara Parahyangan Tbk (BNP). Merger itu merupakan tindak lanjut dari aksi korporasi The Bank of Tokyo Mitsubishi UFJ (MUFG Bank), Jepang yang sebelumnya telah menguasai Bank Danamon sebagai pemegang saham pengendali (40%) pada awal Agustus 2018.
Kemudian Bank Central Asia (BCA) bersama anak perusahaannya BCA Finance telah melakukan akuisisi seluruh saham Bank Royal Indonesia. Tak ketinggalan, Bank Dinar merger dengan Bank Oke sedangkan Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) merger dengan Bank Sumitomo Mitsui Indonesia (SMBC Indonesia). Terakhir, Bank Mitraniaga merger dengan Bank Agris.
Tujuan Merger
Menurut Bank Indonesia (BI), konsolidasi perbankan memiliki tiga tujuan, pertama, untuk meningkatkan economies of scale dan economies of scope. Dengan bahasa lebih bening, penggabungan beberapa bank akan menghasilkan sinergi dalam bentuk efisiensi biaya operasional untuk menghasilkan diversifikasi produk perbankan yang lebih baik.
Tujuan kedua adalah untuk meningkatkan kemampuan permodalan guna mendukung pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, konsolidasi amat diharapkan dapat mendorong bank untuk melakukan ekspansi kredit dengan lebih baik dan terjaga (sustainable). Pertumbuhan kredit yang subur bermanfaat untuk mendukung target pertumbuhan ekonomi.
Tujuan pamungkas konsolidasi adalah meningkatkan daya saing perbankan yang didukung oleh bank-bank yang maju dan sehat (sound) dalam menghadapi persaingan global (Paul Sutaryono, Infobank, 3 Mei 2019).
Sayangnya, bank-bank yang merger itu hanya bertujuan untuk memenuhi aturan kebijakan kepemilikan tunggal (single presence policy/SPP). Peraturan OJK Nomor 39/POJK.03/2017 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia itu menetapkan bahwa setiap pihak hanya dapat menjadi pemegang saham pengendali pada satu bank. Lugasnya, merger itu belum dilakukan untuk memenuhi tujuan konsolidasi perbankan tersebut.
Untuk itu, OJK akan meninjau kembali aturan itu untuk menjamin lahirnya sinergi merger. Ketika bank kecil itu tetap berdiri sendiri, maka pasti akan bermodal lebih perkasa dengan dukungan bank yang lebih besar itu.
Namun jangan lupa konsolidasi perbankan juga bermanfaat untuk memperkecil jumlah bank yang kini 115 bank. Makin kecil jumlah bank akan makin mudah bagi OJK untuk mengawasi bank. Apalagi OJK harus pula mengawasi banyak lembaga jasa keuangan nonbank seperti perusahaan perasuransian, pembiayaan (multifinance), pegadaian dan sekuritas. Belum ditambah lagi pasar modal.
Langkah Strategis
Oleh karena itu, manajemen perlu membangun budaya organisasi agar menghasilkan sinergi. Apa saja langkah strategis yang patut dipertimbangkan?
Pertama, budaya organisasi sering pula disebut budaya perusahaan atau budaya kerja. Apa itu budaya organisasi? Budaya organisasi merupakan nilai-nilai dan norma-norma bersama yang terdapat dalam suatu organisasi dan mengajarkan pada pekerja yang datang. Definisi ini menganjurkan bahwa budaya organisasi menyangkut keyakinan dan perasaan bersama, keteraturan dalam perilaku dan proses historis untuk meneruskan nilai-nilai dan norma-norma (Robert P. Vecchio, 1995).
Dalam merger sering diikuti penyatuan budaya organisasi masing-masing bank. Bagi dua bank yang bernaung di bawah satu pemegang saham pengendali yang sama, penyatuan budaya organisasi tidak memerlukan waktu lama. Contoh, merger Bank Agris dengan Bank Mitraniaga yang sama-sama di bawah Industrial Bank of Korea (IBK) dari Korea Selatan.
Pasca-merger bank lebih besar dengan bank lebih kecil biasanya menggunakan budaya organisasi bank lebih besar seperti BCA dengan Royal Bank dan BTPN dengan SMBC Indonesia. Tetapi merger dua bank atau lebih yang setara seperti Bank Dinar dengan Bank Oke dan Bank Mitraniaga dengan Bank Agris memerlukan budaya organisasi baru. Hal itu sebagai jalan menuju kinerja tinggi.
Kedua, budaya organisasi bank bisa berbeda tetapi budaya organisasi masing-masing bank memiliki kesamaan karakteristik. Menurut Michael Zwell (2000), ada beberapa karakteristik budaya organisasi seperti budaya yang dipelajari, norma dan adat istiadat adalah sesuatu yang umum di seluruh budaya, budaya kebanyakan bekerja secara tanpa sadar, sifat dan karakteristik budaya dikontrol melalui banyak mekanisme dan proses sosial.
Selain itu, elemen budaya diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, menyesuaikan ada istiadat dan pola perilaku yang dapat diterima cenderung menjadi berhubungan dengan kebajikan moral dan superioritas dan seperti kebiasaan lainya, perilaku budaya adalah nyaman dan dikenal umum.
Ketiga, pakar lain Stephen P. Robbins (2003) mengemukakan ada tujuh karateristik budaya organisasi. Satu, inovasi dan pengambilan risiko: suatu tingkatan ketika pekerja didorong untuk menjadi inovatif dan mengambil risiko. Dua, perhatian pada hal detil: pekerja diharapkan dapat menunjukkan ketepatan, analisis dan perhatian pada hal detil. Tiga, orientasi pada manfaat: manajemen fokus pada hasil atau manfaat daripada sekedar pada teknik dan proses yang digunakan untuk mendapatkan manfaat tersebut.
Karakteristik empat, orientasi pada orang: keputusan manajemen mempertimbangkan pengaruh manfaatnya bagi orang dalam organisasi. Lima, orientasi pada tim: aktivitas kerja lebih berdasarkan pada tim daripada individu. Enam, agresivitas: orang cenderung lebih agresif dan kompetitif daripada bersikap tenang. Tujuh, stabilitas: aktivitas organisasi menekankan pada menjaga status quo sebagai lawan dari perkembangan.
Keempat, lantas, apa fungsi budaya organisasi? Menurut Robert Kreitner dan Angelo Kinicki (2001), ada beberapa fungsi budaya organisasi.
Satu, budaya organisasi memberikan anggota identitas organisasi, menjadikan perusahaan diakui sebagai perusahaan yang inovatif dengan mengembangkan produk baru. Identitas organisasi menunjukkan ciri khas yang membedakan dengan organisasi lainnya yang mempunyai sifat khas yang berbeda.
Dua, budaya organisasi merupakan komitmen kolektif, perusahaan mampu membuat pekerjanya bangga menjadi bagian dari perusahaan itu. Anggota organisasi mempunyai komitmen bersama tentang norma-norma dalam organisasi yang harus diikuti dan tujuan bersama yang harus dicapai.
Tiga, budaya organisasi meningkatkan stabilitas sistem sosial sehingga mencerminkan bahwa lingkungan kerja dirasakan positif dan diperkuat, konflik dan perubahan dapat dikelola secara efektif. Dengan kesepakatan bersama tentang budaya organisasi yang harus dijalani mampu membuat lingkungan dan interaksi sosial berjalan dengan stabil dan tanpa gejolak.
Empat, budaya organisasi membentuk perilaku dengan membantu anggota menyadari atas lingkungannya. Budaya organisasi dapat menjadi alat untuk membuat orang berpikiran sehat dan masuk akal.
Kelima, ingat bahwa budaya organisasi dapat menjamin kinerja tinggi perusahaan atau organisasi. Menurut Terrence E. Deal dan Allen A. Kennedy (2000), diperlukan aneka upaya untuk mencapai kinerja tinggi.
Upaya pertama, mempekerjakan orang tepat. Praktik mempekerjakan orang dalam jangka panjang dapat menjadi alasan keberhasilan organisasi. Microsoft hanya mempekerjakan orang yang sangat cerdas. Maka mereka menjalankan secara agresif teknik interview. Diyakini bahwa orang yang cerdas akan menggambarkan apa yang akan dilakukan dan lebih produktif.
Upaya kedua, memberi penghargaan pada orang yang tepat. Organisasi mempunyai banyak cara memberi penghargaan orang yang kinerjanya di atas atau di luar harapan. Rentangnya dapat dari sekedar menepuk punggung sampai pada pemberian bonus atau membayar biaya pelatihan.
Upaya ketiga, mempromosikan orang tepat. Menentukan siapa yang harus dipromosikan merupakan pekerjaan paling penting bagi manajemen. Dalam mempertimbangkan promosi, menemukan calon yang memenuhi kualifikasi adalah suatu keharusan.
Upaya keempat, mengusahakan insentif yang tepat. Menentukan bagaimana memberikan kompensasi yang adil merupakan masalah yang kompleks. Kunci aturan budaya tentang kompensasi adalah kejujuran. Upaya kelima, mengorganisasi untuk mendapatkan yang terbaik. Pimpinan puncak tak mungkin mengawasi semua aktivitas organisasi yang amat beragam. Pimpinan bebas untuk fokus pada kebijakan dan prioritas organisasi.
Upaya keenam, menetapkan standar kinerja. Standar kinerja tidak diartikan sebagai target finansial perusahaan yang diciptakan untuk memacu kinerja dan memonitor hasilnya. Tetapi merupakan serangkaian proses penganggaran dan perencanaan. Upaya ketujuh, melacak kinerja. Pekerja dalam lingkungan kinerja tinggi mengharapkan komitmen yang mereka lakukan. Mereka membutuhkan pengakuan atas usaha ekstra mereka.
Dengan budaya organisasi unggul, bank bakal mampu mencapai kinerja tinggi. Namun budaya organisasi bukan hanya untuk pegawai tetapi untuk semua dari manajemen puncak sampai pegawai terendah. Itu mutlak! (*)
Penulis adalah Staf Ahli Pusat Studi BUMN, Pengamat Perbankan dan Mantan Assistant Vice President BNI